logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

22. Sakit Yang Dipendam

Rumah Juragan Hasyim mendadak ramai, karena keributan yang melibatkan anak-anak dan menantunya. Kata-kata kasar dan makian terlontar dari pihak-pihak yang bertikai.
Juragan Hasyim diam menyaksikan dalam gamang, tubuhnya terasa lemas, dan jantungnya berdetak sangat keras, kepalanya terasa amat sakit, hingga mengakibatkan dia terjatuh pingsan, di sela-sela keributan, dan upaya memisahkan Amran dan Tohir oleh para tetangga dalam sebuah perkelahian.
Kali ini keramaian dan kepanikan bertambah dengan jatuh pingsannya Juragan Hasyim. Keributan pun terhenti, dan mereka beramai-ramai membawa tubuh Juragan Hasyim yang pingsan ke puskesmas yang tidak jauh dari kantor kepala desa.
Keributan, perang mulut dan adu argumen berpindah tempat ke kantor balai desa. Mereka sibuk saling tuduh dan saling menyalahkan satu sama lain.
"Ini semua gara-gara Kang Amran, yang serakah dan mau menang sendiri," sindir Ela, di sela-sela sedang menunggu bapaknya di periksa di ruangan puskesmas.
"Kalau bicara itu jangan sembarangan Ela, serakah apanya Akang, kamu juga dapat jatah tanah yang sama dengan akang!" sentak Amran, masih terbawa emosi.
"Ela tau Kang, Akang itu sering pinjam uang sama bapak, dan nggak pernah ganti!" sentak Ela tidak mau kalah, tidak takut dia, karena merasa ada suaminya Tohir di dekatnya. Sementara tetangga-tetangga yang lain yang ikut membawa dan mengantar Juragan Hasyim ke puskesmas hanya diam menyaksikan keributan mereka berdua.
"Kamu jangan sok merasa paling benar, ya, Ela. Bapak juga pernah cerita jika kamu juga punya hutang sama bapak yang belum dibayar!"
"Iya, tapi akang lebih banyak!" sentaknya tidak mau kalah.
"Sudah-sudah! Kalian ini macam orang tidak punya malu saja, orang tua sedang sakit, malah saling bongkar aib!" bentak Pak Kardi, Kades Desa Cibungah yang sedari tadi memilih diam saja mendengar keributan di samping kantornya.
Amran dan Ela lantas terdiam, tidak lagi bicara, hanya saling ngedumel saja, sementara keadaan bapak belum mereka ketahui, karena masih diperiksa dokter puskesmas.
÷÷÷
Risma sepagi ini, terdiam sendiri di sisi kolam renang, dia masih mengagumi keindahan pegunungan yang nampak jelas dari tempatnya berdiri. Halimun masih menutup samar pandangannya. Terlahir dan besar di desa ini membuatnya sudah terbiasa menghadapi dinginnya udara yang menusuk ke dalam kulit. Hembusan nafasnya mengeluarkan uap kehangatan dalam tubuh.
Ucapan syukur tidak henti-hentinya terucap di dalam hati, bisa berada dan tinggal di tempat semegah ini adalah keajaiban yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sepuluh menit yang lalu, suaminya Riswan baru saja meninggalkan rumah, siang nanti Bang Riswan sudah harus berada di Surabaya, menghadiri pertemuan dengan para kolega bisnisnya.
Risma sudah sangat memahami kesibukan suaminya di dunia yang baru ini. Semalam pun Bang Riswan sudah bicara dan memberikan dia pengertian tentang kesibukannya nanti, sembari berjanji jika diakhir pekan waktunya hanya akan dihabiskan bersama keluarga.
"Ris?" Emak sudah berdiri di sampingnya. Risma pun menoleh, lalu menggenggam tangan emak.
"Indah ya, Mak," ucapnya, pandangannya tertuju kepada gunung berwarna hijau menjulang yang ada di depannya. Kabut tipis masih menyelimuti sekitar.
"Emak seperti mimpi, Ris," katanya, tangan mereka tetap saling menggenggam.
"Risma juga sama, Mak. Seminggu yang lalu, Risma masih mengagumi keindahan rumah ini dari kejauhan, siapa yang bisa menyangka jika sekarang Risma malah menjadi bagian di dalamnya," ucapnya pelan.
"Assalamualaikum, selamat pagi Nyonya, Nenek." ucapan salah seorang pekerja wanita sedikit mengejutkan Risma dan Emak.
"Waalaikum salam," jawab mereka berdua.
"Maaf, Nyah, Nek, mau dibuatkan cokelat hangat dan roti bakar untuk sarapan sekarang," katanya, sedikit membungkukkan badannya.
Risma menoleh ke emak meminta persetujuan, dan emak pun mengangguk.
"Boleh, jika tidak merepotkan," jawab Risma.
"Tidaklah Nyah, tugas saya, 'kan memang melayani Nyonya," jelas pelayan itu.
"Terima kasih, yah," ucap Risma.
"Maaf, Nyah, mau di letakkan di samping kolam sini apa di dalam saja?" tanyanya lagi.
"Di sini saja yah, masih ingin melihat pemandangan dari luar sini," jawab Risma. Pelayan itu pun undur diri, untuk segera membuatkan cokelat hangat dan roti panggang untuk mereka berdua.
"Ris, duduk yuk, ada yang ingin emak sampaikan sama Risma."
"Ayuk, Mak." Risma lantas mengajak emak untuk duduk di sebuah kursi rotan yang tidak jauh dari kolam renang.
"Emak mau ngomong apa?" tanya Risma pelan. Emak terdiam, sepertinya ada keraguan di dalam dirinya untuk bicara.
"Mak? Emak mau ngomong apa?" tanya Risma sekali lagi. Mata emak terlihat berkaca-kaca, mengambil nafas dalam, lantas mengembuskan nafas perlahan.
"Emak ingin berpisah saja sama Bapak, Ris," jawabnya lirih. Risma masih belum yakin dengan apa yang dia dengar, lantas kembali memastikan.
"Apa, Mak?" ulangnya lagi.
"Emak ingin berpisah saja dengan bapak, Ris."
"Astaghfirullah, Mak ... Emak beneran?" tanya Risma lagi untuk lebih meyakinkan. Emak hanya mengangguk.
"Tapi kenapa, Mak?" dipegangnya tangan emak, erat. Perlahan ... mata emak yang tadi berkaca-kaca mulai mengalir air sebening kristal.
"Permisi, Nyah, cokelat hangatnya mau diletakkan di sini juga," ucap pelayan tersebut, menjeda pembicaraan antara Risma dan emak. Emak pun cepat-cepat menghapus air matanya.
"Iya, Mbak, taruh di sini saja," jawab Risma, setelah selesai pelayan pribadinya meletakkan makanan dan minuman, lalu langsung undur diri.
"Mak, sebenarnya ada apa sih, Mak?" tanyanya lagi, melanjutkan pembicaraan yang terputus.
"Emak cape, Ris, menghadapi sifat dan kelakuan bapak," jawabnya pelan. Kembali emak terdiam.
"Emak seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari Risma? Karena Risma yakin, ini bukan hanya tentang sifat bapak," ujar Risma, mencoba menebak isi pikiran emak.
"Bapakmu punya istri lagi, Ris," jelas emak. "Sudah lima tahun terakhir ini, Ris. Emak hanya menyimpannya sendiri, tidak bercerita pada siapapun." Suara emak sudah terdengar serak, menahan isak.
"Ya, Allah, Emak ...." Terkejut Risma mendengarnya. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Mungkin Risma tahu, bapak pun dulu pernah begitu saat Risma masih SMP, 'kan, dan ini sudah untuk yang ketiga kali, Ris, bapak seperti itu. Sakit hati emak, Ris." Air matanya kembali menetes.
"Setiap kali dia menikah lagi, bapakmu selalu memberi tahu, seolah-olah emak sudah tidak punya hati lagi, untuk bisa terus dia sakiti. Diamnya emak dianggap sebagai sebuah persetujuan oleh bapak," keluhnya. Sambil mengelap mata dengan ujung jilbabnya.
"Emak kurang sabar apa, Riss." Terisak-isak sembari mengelus-elus dadanya, seolah-olah ingin menghilangkan rasa sesak di dalamnya. Risma lantas memeluk emak erat, menangis bersama, yah, Risma memang tahu dan bisa merasakan sedari dulu, jika ibu kandungnya ini menyimpan luka dan kepedihan di dalam diam dan sifat mengalahnya.
"Emak salah, Ris, jika menyerah?" tanyanya lirih, setelah merenggangkan pelukan, menatap putrinya dengan rasa sakit yang terus dia pendam, dan Risma tidak sanggup menjawab pertanyaan emak.
"Emak boleh, 'kan, tinggal sama Risma?" bertanya pelan seperti memohon.
"Ya, Allah, Emak, boleh atuh, Mak. Rumah Risma, rumah emak juga," jawabnya, menjelaskan permintaan emak.
"Demi anak-anak agar tidak malu, emak bertahan, Ris. Walaupun bapakmu yang salah, tetap emak yang harus mengalah. Bapak selalu menginginkan emak untuk mengerti dia, tetapi sekalipun belum pernah bapak mau mengerti perasaan emak. Emak benar-benar, cape, Ris."
Risma benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Sedari kecil dia sudah sangat mengenal sifat bapak. Emosional, egois, dan selalu menganggap dirinya selalu benar. Berbanding terbalik dengan sifat emak.
"Ris."
"Iya, Mak."
"Emak tidak kepingin pulang, emak mau tinggal sama Risma dan cucu-cucu emak di sini, nggak apa-apa, 'kan?" Risma tersenyum.
"Risma, 'kan tadi sudah bilang, jika rumah Risma, rumah emak juga. Bang Riswan juga senang kok, jika emak mau tinggal di sini," jelas Risma lagi.
"Kita sarapan dulu ya, Mak. Ini cokelat dan rotinya sudah keburu dingin," ujar Risma, lantas menyuapi ibu kandungnya itu dengan irisan sepotong roti.
"Emak macam anak kecil saja, Ris, pakai disuapi segala," protes emak.
"Mak, kasih Risma kesempatan untuk membahagiakan dan merawat emak. Risma pun sudah bicara dengan Bang Riswan, ingin memberangkatkan emak pergi haji, dan Bang Riswan langsung setuju.
"Ya, Allah, Rismaa ...." Emak langsung berdiri, dan memeluk tubuh putrinya. Tangisnya kembali terisak-isak. Ini adalah hal yang paling membahagiakan yang pernah dia dengar seumur hidupnya. Menunaikan ibadah haji ke Mekkah, dan kebahagiaan emak itu mengalir kesendi-sendi tubuh Risma. Satu impiannya akan segera terwujudkan. Memberangkatkan emak ke Baitullah.
Selepas sarapan, Risma berencana untuk mengunjungi rumahnya di kampung. Ada beberapa barang-barang penting yang ingin dia ambil di sana. Risma pun sudah meminta ijin kepada Riswan suaminya, tentang hal ini, dan dia setuju-setuju saja.
Sebenarnya, Riswan sudah persiapkan semua kebutuhannya juga anak-anaknya di rumah megah ini. Lemarinya pun sudah penuh terisi dengan pakaian-pakaian baru yang dibeli suaminya. Risma hanya ingin mengambil buku tabungannya, dan berencana memberikan sembako yang masih banyak menumpuk di rumahnya kepada tetangga sekitar lingkungan tempat tinggalnya dulu.
Dengan ditemani dua orang bodyguard, Risma mulai mengunjungi rumahnya yang dulu dengan kendaraan yang sudah Riswan persiapkan. Tadinya Risma ingin pergi sendiri saja ke kampung dengan berjalan kaki. Tetapi kepala pengurus rumah tangga, Bude Ajeng tidak membolehkan, karena Tuan Riswan sudah memerintahkan seperti itu.
Emak menolak untuk diajak ikut serta, beliau sudah tidak ingin lagi kembali ke desa, apa lagi sampai bertemu bapak, dan rencananya setelah selesai mengambil buku tabungan di rumah, Risma akan langsung ke kota kabupaten, untuk membeli semua keperluan emak. Risma sebenarnya saat ini dalam kondisi serba salah, di satu sisi dia tidak ingin jika orang tuanya sampai berpisah, tetapi di sisi lain, dia pun tidak mungkin memaksa emak. Risma berada dalam dilema.
Kendaraan yang ditumpanginya sudah sampai di sisi jalan untuk menuju rumahnya yang dulu. Saat tadi melewati rumah keluarga besar, dia sempat melihat banyak orang sedang berkerumun, dan Risma tidak ada keinginan untuk ke sana, bukankah bapak pernah bilang, jika dia bukanlah siapa-siapa lagi dalam keluarga itu.
'Aku sudah terbuang' bisik Risma, di dalam hatinya.

Bình Luận Sách (59)

  • avatar
    HasimHasbi

    novelnya gak ada kelanjutan

    19/07

      0
  • avatar
    AlfarizkiAzka

    aska

    15/07

      0
  • avatar
    TynnaNeng

    novel yang bagus

    29/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất