logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5. Senja di Langit Hitam

Setiap perbuatan akan menjadi pelajaran buat yang menuai. Baik, buruk tergantung cara menyikapinya.
***
["Oke, kalau itu maumu. Enggak jadi masalah, tapi siap-siap untuk tidak lulus sekolah karena ….!"] Anton mengancamku dengan sesuatu yang tidak aku ketahui dan sadar. Apa itu?
Jantungku langsung berdegup kencang tidak karuan. Anton merahasiakan apa, ya? Jangan, jangan, oh tidak! Kenapa semua ini menjadi simalakama untukku. Nikmat sesaat derita untuk selamanya.
"Karena apa, hah!" Aku berusaha menantang ancaman Anton.
Anton langsung mengirim sesuatu dan ternyata, oh my good. Ini tidak mungkin! Anton manusia licik! Semuanya direkam, lalu dijadikan senjata untuk merayu dan mengancamku. B*doh sekali diriku, hingga tidak tahu akal bu-l-us Anton yang terselubung.
"Apa maksudmu, hah! Silakan, jika ingin disebar, toh bukan aku saja yang malu dan hancur, tapi dirimu juga ikut, bukan?" Aku berusaha untuk balik mengancamnya dengan sisa kekuatan dan keberanian yang kumiliki.
Anton bukannya meminta maaf, lalu mengurungkan niatnya itu. Dia malah mengirim emot tertawa, seakan tidak ada masalah dengannya.
["Khanza, Khanza … kamu pikir, aku b*doh apa dengan menampakkan wajah asliku saat menyebarkan, nanti? Woy, sadar! Mudah bagiku untuk menyamarkan identitasku yang pasti dirimu terlihat jelas di sana. Ha-ha-ha."] Anton sangat bahagia di atas penderitaan aku.
Keegoisan kadang melupakan apa yang pernah didapatnya. Pengorbanan tidak selalu dibalas dengan penghargaan, terkadang hal yang menyakitkan menjadi imbalan untuk balasannya.
"Jahat! Ini balasanmu setelah merenggut, apa yang kumiliki, hah!" Aku meluapkan amarah dengannya. Emosi yang tidak bisa lagi ditahan dan melupakan resiko setelah ini.
["Tenang, Sayang. Asal kamu menuruti apa yang aku mau, semua terkendali aman! Gimana? Semua ada di tanganmu, Khanza."] Anton semakin beringas memaksaku untuk menuruti keinginannya.
Dilema kini menyerang hati antara ingin menghindar atau menurutinya. Jika menghindar maka aku harus siap dengan ancamannya dan jika menuruti aku tidak bisa terlepas dari keegoisannya. Sungguh masalah sulit yang harus dipilih.
"Oke, aku, akan ke apartemenmu seperti yang kamu mau, tetapi tidak sekarang." Terpaksa aku memilih menuruti keinginannya karena taruhan yang menjadi pertimbangan aku memutuskan untuk menemuinya.
["Santai, tapi jangan pernah coba-coba untuk berbohong! Jika itu terjadi, maka tanggung sendiri akibatnya, ingat itu!"] Anton kembali mengancamku.
"Iya." Balasan singkat untuknya.
Selesai inbox dengan Anton. Aku menyusun rencana untuk menjebak Anton. Bagaimana cara untuk melenyapkan semua file itu. Supaya terlepas dari jerat yang membelenggu jiwa. Namun, semua itu tidaklah mudah, harus hati-hati dan perjuangan ekstra.
***
Senja turun begitu cepat. Belum sempat merasakan sinar mentari tahu-tahu sudah berganti senja. Ibu dan Ayah belum terdengar sampai di rumah. Aku tidak tahu mereka pulang atau tidak karena keluar, masuk, pergi sesuka mereka.
Ibuku wanita karir yang menyandang predikat terbaik di tempatnya bekerja, sehingga dia dipercaya untuk mengurus anak cabang perusahaan di luar kota. Itulah sebabnya Ibu jarang ada di rumah. Sementara Ayah bekerja di perusahaan berbeda, tetapi karirnya tidak kalah saing oleh Ibu. Tinggallah aku di rumah bersama Mbok Lis dan ART lainnya.
Keluargaku bukanlah keluarga agamis. Ayah atau Ibu tidak pernah mengajari aku tentang agama, terkecuali di sekolah.
Hidup terasa bebas, tetapi tidak nyaman karena sering dihantui perasaan bimbang dan gundah.
Jujur aku iri melihat teman-temanku dekat dengan orang tuanya. Bercanda bersama, saling berkeluh kesah, dan terlihat rukun bersahaja. Membuat damai jiwa yang membutuhkan tempat bersandar, sekedar meringankan beban hati.
Namun apalah daya kenyataan tidak seperti itu. Aku harus hidup bersama mereka yang bukan saudaraku, tetapi sangat sayang dan selalu ada untukku. Meski itu memang pekerjaan yang harus mereka jalankan. Uang tidak selamanya bisa membahagiakan manusia. Namun, tanpa uang manusia pun tidak bisa apa-apa karenanya semua bisa didapat dengan mudah.
"Khanza, hari ini Ayah dan Ibu harus pergi ke luar kota selama satu minggu. Ingat! Tugasmu harus fokus sama pelajaran, setelah lulus SMA nanti, Ayah akan menyekolahkan kamu ke University of Combridge Inggris, jurusan bisnis dan ekonomi." Ayah sudah tidak marah lagi setelah 24 jam tidak melihatku.
Aku kaget mendengar ucapan Ayah barusan. Setelah lulus SMA akan lanjut ke Inggris? Sungguh bahagianya bisa sekolah di sana. Bisa sambil jalan-jalan, kuliner, dan dugem bersama teman bule. Ah! Itu hanya hayalan aku saja.
Pagi ini Ibu dan Ayah akan bersiap untuk pergi. Baru satu hari di rumah, mereka sudah bersiap pergi lagi. Kadang aku berpikir untuk apa mereka pulang, toh di rumah hanya numpang tidur, makan, dan minum sejenak. Namun, apa daya diriku untuk protes.
"Iya, Yah." Aku hanya menjawab sekedarnya sambil menikmati sarapan pagi dan membayangkan kuliah di luar negeri. Asyik, pastinya.
Hari ini jadwal ke sekolah untuk melihat hasil ujian sekolah(UAS). Apa ada yang harus diulang atau tidak. Sementara hasil ujian nasional(UN) belum tahu kapan diumumkan.
Ibu sibuk dengan handphonenya. Dia lebih mementingkan karir ketimbang perasaan anaknya. Andai aku bisa meminta waktu untuk diulang, ingin rasanya aku kembali menjadi bayi, tetapi tidak ingin lahir dari rahim ibuku. Biar bisa merasakan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Sungguh durhaka sekali diri ini.
"Ayah, tidak mau tahu nilaimu harus tetap tinggi dari sebelumnya!" Ayah selalu menekanku untuk meraih nilai yang tinggi, memuaskan untuknya, tetapi tidak pernah bertanya sekalipun tentang perasaanku saat mereka pergi meninggalkan diri ini, hingga sekian waktu.
Aku hanya mengangguk saja tanpa berkata. Mungkin itu lebih baik daripada mulut yang menjawab. Setelah sarapan selesai, Ayah menyuruh aku ikut satu mobil dengannya bersama Ibu. Hari ini pertama kalinya sekolah diantar mereka. Senang? Tentulah senang, tetapi sayang kenapa baru sekarang. Ah! Mungkin diriku saja yang kurang bersyukur.
Mobil melaju kencang dengan kecepatan sedang, memecah jalan yang ramai lalu lalang berbagai macam jenis kendaraan. Lima belas menit akhirnya sampai juga di sekolahan. Aku segera turun dari mobil setelah bersalaman dengan Ibu dan Ayah. Meski mereka berbeda tempat kerja, tetapi sering berangkat bareng walau kadang bisa juga berangkat sendiri-sendiri.
***
Aku langsung menuju kelas saat tiba di sekolahan. Teman-teman cewekku sudah menunggu, mereka langsung menyambutku dengan hangat, setelah bercepeka cepiki ala anak muda sekarang.
"Khanza, gimana kabar kamu, sekarang?" Lisa teman sebangkuku langsung memeluk tanpa berbasa basi. Sambil mengamati tubuhku. "Khanza, kamu kaya melar, deh? Badan, kamu berisi, buah dada juga montok, banget? Kaya lagi hamil aja." Ucapan Lisa mengagetkanku.
Apa benar ya yang Lisa ucapkan barusan. Soalnya sudah satu bulan terakhir ini tamu bulanan aku belum datang. Jangan, jangan? Tidak ini tidak, mungkin!
"Masa, sih? Perasaanku biasa aja, Lis. Mungkin lama kagak ketemu, jadi perasaanmu aku tambah berisi." Aku berusaha untuk menutupi kegugupan yang hampir saja bisa dibaca oleh mereka.
"Yang dibilang Lisa itu benar, Khanza. Kamu, kelihatan berisi, buah dadamu juga kelihatan montok banget, tau! Kaya emak-emak lagi bunting. Ha-ha-ha-ha," tawa meledek pecah menambah kekhawatiranku, tetapi aku harus bisa menjaga sikap agar mereka tidak curiga. Bahaya jika sampai terdengar guru. Bisa-bisa aku di keluarkan sebelum menerima ijazah.
"Ih! Kalian ngomong apaan, sih? Jangan bicara begitu, nanti kalau kedengaran Ibu atau Pak guru, gimana? Kalian, bahagia kalau aku dikeluarin sebelum menerima ijazah? Gara-gara ucapan kalian yang belum tentu benar. Masa iya orang berisi sama buah dada montok, hanya orang hamil saja yang bisa, begitu?" Aku berusaha menyakinkan mereka atas peradugaannya.
"Udahlah, kagak usah dibahas lagi soal itu, mah! Yang penting kamu sehat, kan?" Lisa mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya mengangguk saja untuk menjawab pertanyaan Lisa. Namun, pikiran ini tetap tidak tenang, masih membayangkan kalau itu benar. Apa yang mereka ucapkan itu memang aku rasakan. Terutama di bagian dadaku semakin merekah, bahkan ukuran BH yang biasa dipakai sudah tidak muat lagi.
Lisa membuyarkan lamunanku. Dia terus mengajakku bicara tentang keinginannya lanjut ke universitas ternama di daerah seribu sungai, yaitu Kalimantan. Ya, Lisa akan merantau di sana, ikut bersama kakaknya. Aku hanya mendengarkan saja, sedangkan pikiranku masih melayang seputar badan berisi.
Saat asyik ngobrol tiba-tiba Anton memanggilku untuk menghampirinya. Aku pun pamit terhadap Lisa dan teman-temanku untuk keluar sebentar bersama lelaki itu.
Anton menarik tanganku dengan kasar, lalu mengajakku ke tempat yang sepi dan seperti biasa ada udang dibalik batu.

Bình Luận Sách (218)

  • avatar
    NendenKucrit

    cerita ini sangat menarik dan mudah di pahami

    31/05/2022

      3
  • avatar
    ttSatria

    🤗🤗

    18d

      0
  • avatar
    FearlessIant

    cerianya menarik

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất