logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Kecurigaan

Setelah ngobrol banyak dengan Mbak Sarah, tak terasa sudah waktunya berangkat kerja. Aku dan Mbak Sarah berangkat bareng menggunakan motor matic miliknya. Jarak rumah Mbak Sarah ke pabrik kira-kira lima ratus meter, jika menggunakan motor, mungkin hanya dua sampai tiga menit saja.
Berbeda dengan aku dan Gita yang selalu berangkat kerja dengan berjalan kaki. Bisa sampai sepuluh menit nyampai pabrik, tapi kami enjoy, ngobrolin mantan juga gak terasa sudah sampai. Jadi ingat Gita lagi ....
Akhirnya tiba di sebuah bangunan besar, tempat aku mengais rezeki demi membantu Ibu. Bapak sudah meninggal dunia, tentu saja selama ini Ibu yang kerja keras, banting tulang demi ketiga anaknya. Aku mempunyai dua adik yang masih sekolah, membuatku harus bekerja keras. Memutar otak supaya bisa mengirim uang ke kampung dan untuk makan serta keperluanku di sini.
Seperti biasa, hiruk pikuk suasana pabrik sudah sangat menyatu dalam sanubari. Eeaak!
“Makasih, ya, Mbak,” ucapku tulus.
“Sama-sama,” jawab Mbak Sarah sembari melepas helm.
“Ya sudah, aku duluan, Mbak.”

Belum sempat aku beranjak. Mbak Sarah memanggil, “Peni, tunggu!”
“Iya, Mbak? Ada apa?” tanyaku kembali menghadapnya.
“Nanti istirahat kita ke warung Bang Kumis, kita cari petunjuk di sana. Nanti kita ketemu di depan gerbang, ya?” bisiknya. Seketika kujawab ‘Oke’ seraya mengacungkan jempol.
Kami berpisah, pekerjaan kita berbeda. Aku masih di bagian Cutting atau pemotongan, sedangkan Mbak Sarah di bagian Finishing. Secara mungkin karena sudah bekerja cukup lama, katanya hampir tujuh tahun. Sebelum ia menikah.
Aku melangkah menuju tempat kerja, kemudian berpapasan dengan Alya. Gadis cantik yang juga teman akrabku dengan Gita. Terlihat ia seperti menunggu seseorang.
“Peni!” Ia berlari kecil menghampiriku.
“Gita, mana?” ucapnya seraya celingukan mencari Gita. Aku menghela napas berat, sesak rasanya, tapi ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, takut berita ini menyebar tanpa alasan yang jelas.
“Peni!”
“Hah? Gi-gita lagi sakit, jadi gak berangkat kerja,” jawabku sekenanya. Maaf, Al. Aku terpaksa bohong, ucap batinku.
“Oh gitu, mudah-mudahan Gita cepet sembuh. Pulang kerja aku jenguk dia, ya?”
“I-iya, Al,” jawabku ragu-ragu. Biarlah nanti kuceritakan saja di kontrakan, lagian istirahat nanti aku dan Mbak Sarah, kan, mau nyari petunjuk dulu di warung Bang Kumis.
Sudah waktunya kami bekerja. Diproses Cutting ini, kami melakukan pemotongan bahan baku sebelum dibentuk menjadi upper sepatu. Bahan baku yang berupa kain atau pun kulit (leather) dipotong membentuk pola-pola yang telah ditentukan sebelumnya.
Peralatan yang diperlukan dalam proses ini menggunakan mesin potong (cutting Machine) dan alat potong yang disebut dengan cutting dies yang bentuk dan ukurannya telah dibuat sesuai dengan pola-pola potongan yang akan dikerjakan.
Hari ini kerjaku berantakan, aku tak fokus melakukan beraktivitas karena memikirkan Gita. Hingga dimarahi habis-habisan oleh kepala sekolah, eh! Kepala divisi, atau kepala kelompok di bagian aku bekerja.
Entah kenapa pikiranku tak bisa fokus bekerja. Aku mengusap wajah kasar, lalu pergi ke toilet. Cuci muka supaya kembali segar.
Setelah buang air kecil, aku mencuci tangan dan muka di salah satu washtafle, lalu mematut diri di depan cermin, sembari mengelap wajah. Tiba-tiba ....
Sekelebat bayangan membuatku terlonjak kaget. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah, tidak ada siapa pun. Hanya ada aku di sini, mungkin ini cuma perasaanku saja. Di toilet wanita ini ada enam kamar kecil dan empat washtafle di dekat pintu keluar.
Aku kembali melanjutkan aktivitas di depan cermin.
Lagi, bayangan tadi kembali membuatku terlonjak. Seketika bulu kudukku meremang.
“Siapa?” Hening.
“Ada orang di situ?” tanyaku lagi, yang entah kepada siapa aku bertanya. Masih hening, tidak ada yang menjawab. Lalu, apa tadi?
Tiba-tiba dari arah belakang ada yang menepuk pundakku. Aku tercekat, napasku memburu, aliran darah seperti berhenti mengalir, badan terasa kaku. Ya Allah, ampuni aku ya Allah ... ingin sekali menangis dan berteriak. Namun, tenggorokan terasa kering. Bismillah, kuberanikan diri menoleh.
“Innalillahi!” ucapku sambil melotot mendapati seseorang di depanku.
“Hehehe ....” Suara kekehannya membuatku geli. Si Udin ternyata! Kutu kupret! Untung aku baik. Kalau tidak sudah tak bonding itu mulutnya, dasar mulut kriting! rutukku dalam hati.
“Lagi ngapain, Mbak?” tanya laki-laki berbaju OB itu.
“Lagi makan bakso!” ucapku ketus. Lalu pergi meninggalkannya. Masih terdengar kekehannya yang khas, sangat menyebalkan.
Sialan!
Pukul 12:00. Waktunya istirahat, aku bergegas keluar menemui Mbak Sarah, bersiap melakukan eksekusi. Saat keluar, ternyata Mbak Sarah sudah lebih dulu menungguku di depan gerbang, buru-buru menghampirinya. Tanpa membuang waktu, kami langsung meluncur ke TKP.
***
Tiba di warung ‘Pondok Bakso Bang Kumis’. Seperti biasa, warung itu tak pernah sepi pengunjung. Hari ini terlihat lebih ramai dari sebelum-sebelumnya saat aku datang. Bahkan, beberapa orang rela antre untuk bisa menyantap bakso Bang Kumis.

“Ckckck ... gile benerr! Makin hari makin rame aja ni warung,” ucapku sembari geleng-geleng kepala. Kami masih di depan warung, karena begitu ramainya warung Bang Kumis. Sampai-sampai yang jual nggak kelihatan.
“Iya. Kamu curiga, gak, sih? Warung Bakso aja bisa seramai itu?” bisik Mbak Sarah.
“Curiga kenapa, Mbak?” tanyaku polos. Kaya anak SMP, hehehe.
“Ih! Kamu, nih. Emang kamu gak ngrasa? Warung Bang Kumis itu—“ ucapnya pelan, lalu mendekatkan mulutnya pada telinga kananku, “kayanya makai apa gitu, pesugihan mungkin,” bisiknya. Seketika mataku melotot.
“Astaghfirullah ...,” ucapku lirih. Sejenak aku berpikir, apa yang dikatakan Mbak Sarah ada benarnya. Memang gak wajar, baru sebulanan jualan sudah rame gini. Aku, sih, mikirnya karena murah dan memang baksonya enak.
“Ssstt! Nanti saja kita bahas, Mbak. Takut ada yang denger, gak enak. Lagian waktu kita gak banyak.” Mbak Sarah mengangguk tanda setuju, lalu kami menyelinap di sela-sela antrean pembeli.
Kami duduk di kursi paling pojok, setelah memesan dua bakso dan dua es teh manis, dekat Mas-mas kasir yang gantengnya gak ketulungan. Bikin jantung senam aerobik saat berada di dekatnya. Mau nyoba? Jangan, pasti gak kuat. Biar aku aja. Eeaak!
“Peni! Kamu ngapain, sih?” Pertanyaan Mbak Sarah membuyarkan lamunanku.
“Innalillahi! Hiiiy ....” Aku terlonjak. Baru sadar kalau sedari tadi aku menciumi lap meja yang kebetulan tertinggal di meja tempat kami akan makan. Mungkin salah satu pelayan lupa membawanya setelah membereskan dan mengelap meja bekas pengunjung lain.
Mbak sarah dan beberapa pengunjung lain ikut tertawa. Duh Gusti, gara-gara ngebayangin Mas-mas kasir, jadi hilang akal gini. Malu-maluin!
Kulihat Mas-mas kasir yang entah namanya siapa itu tengah menahan tawa sembari menghitung beberapa lembar uang, sesekali melirikku. Mungkinkah dia juga melihatku tadi? Auto menghilang.
Tak lama pesanan datang. Baru saja akan makan, tiba-tiba Mbak Sarah memberiku kode. Mengerlingkan mata, lalu menunjuk ke arah belakang menggunakan ibu jarinya. Aku mengangguk paham, tujuan kami memang hanya ingin mencari tahu. Ada apa di dalam warung ini, jika di sini tidak ada yang mencurigakan. Mungkin di belakang, seperti saat Gita pergi ke toilet sebelum akhirnya menghilang.
Aku beranjak, lalu menghampiri salah satu karyawan untuk meminta izin ke toilet. Saat ini aku tak berani menghadapi Mas-mas kasir, masih malu. Kemudian, karyawan itu mengantar dan menunjukkan letak toiletnya. Tak lupa mengucapkan terima kasih.
Tanpa membuang, waktu langsung saja aku meng-eksekusi tempat ini. Menuju toilet yang sempat ditunjukkan pelayan tadi. Kubuka pintunya, kosong! Tidak ada yang mencurigakan. Aku kembali keluar, lalu menyapu setiap sudut di ruangan ini. Hanya ada peralatan dapur, berbagai bumbu masak tergeletak rapi di sana.
Apa aku hubungi lagi nomor Gita, ya?Oke, aku coba. Siapa tahu ponselnya sudah aktif, pikirku. Kuambil ponsel di saku celana, kemudian mencari nomor Gita lalu menekan tombol panggil.
Namun ... Sial! Masih tidak aktif. Aku mondar-mandir tak karuan. “Ah! Sudahlah, memang tidak ada apa pun.” Aku menyerah.
Kuputuskan mengakhiri penyelidikan tiada guna ini. Namun, baru saja melangkah. Aku baru tersadar jika ada pintu tertutup di ujung ruangan ini, tepatnya sebelah kanan dari toilet. Mungkin itu pintu belakang warung ini, tapi bukankah tepat di belakang warung ini adalah rumah Bang Kumis sendiri? Ya, ini sangat mungkin jika Gita berada di sana bukan? Mengingat semalam saat kuhubungi nomor Gita aku bisa mendengar suara ponselnya di dalam warung ini.
Tanpa ba-bi-bu aku pun dengan cepat melangkah mendekati pintu itu. Semakin dekat dan semakin penasaran.
Jantungku terasa berdetak lebih kencang bersama dengan suara-suara aneh yang kudengar di dalam sana. Masih samar, entah suara apa di balik pintu itu.
Aku meraih gagang pintu, bersiap membukanya.
“Hei, Bocah!”
“Eh, kodok-kodok ....” Suara bariton mengejutkanku. Seketika menoleh ke sumber suara, tak kusangka Bang Kumis tengah berdiri tegap dengan tatapan mengerikan. Kedua tangannya terlihat mengepal, seperti akan meninjuku.
Tiba-tiba kaki terasa gemetar, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Baru kusadari, ternyata Bang Kumis lebih seram dari apa pun.
“Sedang apa kamu di sini, hah!?” tanyanya sembari melotot.
“Nyari kodok, eh!” Refleks aku menutup mulut. Karena sudah asal nyeplos, masih terasa gemetar. Bahkan kini seluruh tubuhku sangat lemas demi melawan rasa takut ini.
“Cepat pergi dari sini!” titahnya. Ia terlihat garang dan menyeramkan. Membuatku bertambah takut.
“Sa-saya gak akan pergi sebelum saya menemukan teman saya!” jawabku menutupi rasa takutku.
“Halah! Ngeyel banget dibilangin! Cepat pergi!” Lagi, ia hanya terus menyuruhku pergi. Bukannya takut, kini rasa penasaranku begitu membuncah. Bukankah ini saatnya aku beraksi demi mencari petunjuk? Ya, aku harus berani. Bantu aku, ya Allah ....
“Bang Kumis, sebenarnya saya cuma mau cari teman saya, namanya Gita. Kemarin dia makan di sini dan pamit ke toilet, tapi sampai sekarang dia belum pulang. Siapa tahu dia kekunci di sini, atau Bang Kumis melihatnya?” jelasku, tanpa basa-basi bertanya padanya. Aku sedikit menyelidik pada raut wajahnya yang terlihat gugup.
“Saya tidak melihatnya! Sudah sana pergi!” Masih sama. Entah kenapa ia menginginkan aku untuk cepat pergi. Seakan sesuatu takut diketahui olehku.
“Semalam, saya mendengar ponsel temanku berbunyi di dalam warung ini, sangat yakin sekali. Dan saya rasa Gita ada di dalam ruangan ini!” Aku menunjuk pintu di mana aku berdiri tepat di depannya.
“Cepat pergi atau mau kuseret, hah!?” bentaknya lagi, bertambah marah.
“Kalau begitu terpaksa saya akan lapor polisi, biar warung ini digeledah dan Bang Kumis segera ditangkap!” ancamku. Gemas dengan sikapnya, apa dia tidak bisa sedikit saja lembut pada orang lain? Untung orangtua, kalau tidak sudah kuplintir ususnya.
“Dasar bocah bodoh! Silakan saja melapor polisi, memangnya punya bukti? Hahaha ....” Dengan santainya laki-laki berKumis tebal itu menanggapi ancamanku. Seperti tak gentar dengan apa yang kuucapkan.
“Baik! Secepatnya akan kucari bukti itu!” jawabku tak mau kalah. Ia tersenyum sinis. Kemudian ia berusaha menyentuh tangan dan bersiap menyeretku. Buru-buru kutepis. Kemudian bersiap pergi dengan tatapan kami yang sama-sama saling menantang, bagai petarung yang siap untuk berperang.
Lihat saja nanti, akanku buat kau menyesal menganggapku bocah bodoh! Aku membatin dengan perasaan yang teramat jengkel sembari terus melangkah ke luar. Entah kenapa sekarang aku semakin yakin, jika Bang Kumis itu bukan manusia normal pada umumnya. Ia punya rahasia besar, dan aku akan berusaha mengungkapnya. Itu pasti!

Bình Luận Sách (523)

  • avatar
    LeongNancy

    Bab 1 , karangan yang sangat luar biasa !

    22d

      0
  • avatar
    AngelaAngela

    cerita ya bagus

    27d

      0
  • avatar
    bang joker

    woww ceritanya sngt baguss🥰

    06/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất