logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5: Lamaran Untuk Fitri

Ternyata kurang dari 20 menit, Mas Fattah bersama keluarganya sudah datang ke kediaman keluarga Mas Fahmi. Aku bisa menebaknya dari deru mobil di halaman, membuatku refleks mendekat ke jendela dan mengintip. Mas Fattah dan keduaorangtuanya turun dari mobil, lalu pandanganku membelalak menemukan Fitri yang menggandeng tangan mungil Cicil.
Awalnya aku berusaha menampik pemikiran lain, tapi melihat Fitri dan Mas Fattah berjalan bersisihan seperti sepasang kekasih membuatku cemburu. Mereka, bersama Cicil dan keduaorangtua Mas Fattah masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam.
Mas Fattah, Fitri dan keluarganya dipersilahkan masuk oleh Bu Fahma.
Setelah itu aku memaksakan diri untuk menguping, mengabaikan janjiku kepada Mas Fahmi. Tapi aku akan waspada agar kehadiranku tidak diketahui oleh Mas Fattah dan keluarganya, andai jika Fitri tidak membeberkan kehadiranku.
Kuintai mereka yang berkumpul di ruang tamu. Mas Fattah duduk di sebelah Fitri yang Cocok menjadi pembatas di antara mereka, sedangkan keduaorangtua Mas Fattah mulai mengajukan niat anaknya hingga menghadirkan mereka kemari. Yang saat itu juga, membuat hatiku hancur-lebur.
“Bu Fahma, Nak Fahmi. Kehadiran kamu di mari, yaitu meminta restu agar Fattah menikah dengan Fitri.”
Mas Fahmi dan Bu Fahma sepertinya terkejut, begitupula Fatimah. Sedangkan aku tersudut ke dinding, berlinang air mata. Yang berusaha kutahan, sambil membekap mulut.
“Kami sudah membicarakannya kepada Fitri semalam. Dan Fitri menerima lamaran Fattah, meskipun kita masih bisa dikatakan kerabat keluarga, hendaknya Bu Fahma dan Nak Fahmi menerima niat baik kami agar Fattah menikahi Fitri. Kami percaya, Fitri adalah menantu terbaik dan paling tepat untuk Fattah.”
Mas Fahmi terlihat keberatan, kulihat wajahnya keras dengan kepalan yang mengerat di atas paha.
Baru saja Mas Fahmi ingin menolak keras, tangan keriput Bu Fahma langsung menyentuh pundaknya, mengusapnya lembut, membuat Fahmi urung berkata dan bungkam. Digantikan oleh Bu Fahma, yang saat melihat pancaran kebahagiaan diwajah Fitri mau tak mau harus menerima pinangan tersebut dan memberikan restu. Mau bagaimanapun juga, yang menjalaninya adalah Fitri. Karena Fitri menyetujuinya dan sepertinya memang mendambakan Mas Fattah, jawaban Bu Fahma dipaksakan hanya satu; menerimanya.
“Baiklah. Bagaimana dengan resepsinya, kapan akan diselenggarakan?” Bu Fahma langsung menuju ke inti.
“Secepatnya.” Tandas Mas Fattah, terdengar yakin. Seyakin saat dulu dia melamarku.
“Baiklah, secepatnya.” Dan pernikahan tersebut hanya menunggu hitungan hari.
.
.
Mereka akan makan siang di sini. Itu yang diberitahu oleh salahsatu ART kepadaku, pesan yang disampaikan dari Fatimah.
Setelah dibantu beberapa ART dan menyiapkan hidangan di meja makan, aku segera berlalu ke kamar, senantiasa menyeka air mata yang terus meleleh di sudut mata. Aku masih meratapi masa depan, dimana Fitri dan Mas Fattah akan segera menikah. Padahal belum genap tiga minggu, aku berpisah dengan Mas Fattah. Dia sudah mencari pengganti lain, dan orang itu Fitri.
Ah, tahu diri kamu, Nadia. Fitri itu cantik, agamis, pintar dan tentunya perawan. Sedangkan kamu? Suci saja tidak. Mana mungkin bisa menyandang status istri untuk seseorang sesempurna Mas Fattah.
“Mbak.” Fatimah membuka pintu kamarnya, lalu setelah itu menutupnya. Dihampirinya aku yang terduduk di tepi ranjang, bersimpatik melihat air mataku. “Mbak mendengarnya, ya?”
Aku mengangguk lemah.
“Mbak,” Fatimah berjongkok di hadapanku, lalu menggunakan ujung jilbabnya untuk menyeka air mataku. “Jangan nangis lagi, ya Mbak. Aku juga tidak menyangka, Mas Fattah melamar Mbak Fitri. Tapi, sedari dulu aku tahu, Mbak Fitri memendam perasaan yang dalam untuk Mas Fattah. Dia pernah kudapati menangis semalaman saat Mbak menikah dengan Mas Fattah. Aku tahu ini nggak adil untuk Mbak ... tapi sebelumnya juga nggak adil untuk Mbak Fitri ....”
“Nggak pa-pa.” Aku menggeleng, menangkap punggung tangannya yang menyeka air mataku. “Aku ikhlas, kok. Fitri adalah yang terbaik untuk Mas Fattah. Aku ikhlas.”
Fatimah memelukku, berhasil membuatku teralihkan dari rasa kecewa dan luka yang kudapatkan. Karena pelukan seorang saudari, aku bisa mengikhlaskan segalanya.
.
.
Di luar kamar, tepatnya di ruang makan, keluarga Mas Fattah dan keluarga Mbak Fitri semakin memperat hubungan keluarga dengan makan siang bersama. Fitri terlihat heran karena tidak mendapati aku di sekeliling rumah, senyum senangnya tersungging, dikiranya aku sudah terusir karena Fitri selama berminggu-minggu enggan pulang disebabkan aku. Jadi angannya dipenuhi, Mas Fahmi dan keluarganya lebih mengutamakannya daripada diriku.
Mas Fahmi tidak begitu selera menikmati santapan di atas meja. Dia berdeham singkat, menarik perhatian. Dan mulai membuka mulut, “Akan diadakan seperti apa resepsinya?” Bahasnya, sambil mengedarkan pandangan.
“Aku ingin pernikahan yang sederhana saja, diselenggarakan di Pesantren bersama para santri.” Fitri menyahut dengan senyum malu-malu.
“Tepatnya kapan?” Mas Fahmi kembali bertanya, kali ini menatap Mas Fattah.
“Secepat mungkin.” Tandas Mas Fattah sekali lagi.
“Waktu tepatnya?” Sahut Mas Fahmi.
Mas Fattah merasa seperti didesak, lalu menjawab. “Untuk persiapan, acaranya diundur seminggu atau duaminggu kedepan, sedangkan ijab kabul ... aku mengajukan besok.”
Seisi ruang makan menoleh takjub, sedangkan aku yang kembali curi-curi dengar hanya bisa meremas dada kiri dengan lafaz Tuhan untuk menyabarkan diri.
“Besok?” Mas Fahmi mengangguk-angguk, mendengus pelan. “Oh, baiklah.”
Mas Fattah baru saja hendak membuka mulut, yang langsung dipotong. “Lebih cepat lebih baik? Itu yang mau kamu katakan, iya ‘kan?” Mas Fahmi bangkit berdiri lalu pergi menjauhi ruang makan, “Padahal kamu baru saja beristri.” Sungutnya terdengar geram, lalu meninggalkan ruangan. Sontak satu ruangan kaku, terutama Fitri dan Mas Fattah.
Bu Fahma segera menyusul langkah Mas Fahmi.
Di ruang tamu, menahan lengan anaknya. “Fahmi.” Tegurnya, menyalahi kelakuan Fahmi sebelumnya. “Jaga omonganmu. Jangan bersikap seperti itu, karena yang akan menikah yaitu adikmu.”
Mas Fahmi mendesah lelah, memutar badan menatap Ibunya. “Fahmi entah kenapa nggak senang, kalau punya saudara ipar semacam Fattah. Cukup menjadi sepupu saja.”
“Fahmi!” Bu Fahma meninggikan suara. “Ada apa denganmu?” Tanyanya heran.
Mas Fahmi menahan gejolak emosi, lalu setelah itu mendengus. “Dia menalak Nadia hanya dalam semalam,” lalu menatap lekat Ibunya. “Bisa jadi ‘kan, dia ikut menalak Fitri hanya dalam semalam juga?”
“Fahmi, jaga prasangkamu.” Bu Fahma terus menegur.
“Tapi semua pilihan jatuh kepada Fitri, karena Fitri memang bebas untuk memilih.” Mas Fahmi mendesah lelah, terlihat begitu keberatan.

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất