logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4: Keluarga Gus Fattah

Karena kehadiranku Fitri benar-benar menolak untuk kembali ke rumahnya, sudah lebih dari tiga minggu. Mampir untuk menemui Ibu, Kakak dan Adiknya saja tidak. 
Fitri membuktikan perkataannya, selagi aku masih berada di sini, rumah ini bukan lagi tempat Fitri kembali, bukan tempatnya pulang. Sedangkan Mas Fahmi hanya pulang dan menginap di hari sabtu dan minggu, selebihnya dia menginap di apartemen dan sesekali mampir ke rumah. Sepertinya pekerjaan dan dakwah benar-benar menyibukkan kesehariannya. Dan menyewa satu apartemen di kota lebih mempermudahnya.
Orangtua Mas Fahmi masih lengkap. Hanya saja, Ayahnya jarang pulang ke rumah. Mas Fahmi memiliki hubungan kerabat dengan Mas Fattah dari pihak Ayahnya. Jika membahas Dik-beradik Mas Fahmi, mereka terdiri dari empat bersaudara.
Mas Fahmi anak kedua, sedangkan anak tertua aku hanya tahu namanya tanpa pernah melihat wajahnya, itu ‘pun hasil curi-curi dengar dari bahasan para santriwati selama aku masih mondok. Namanya Mas Fauzan, tiga tahun lebih tua dari Mas Fahmi, tengah menuntut ilmu di Mekkah dan memang jarang bisa menyempatkan diri untuk pulang. Sehingga itulah, aku tidak pernah melihatnya.
Selebihnya, kedua adik perempuan Mas Fahmi; Fitri dan Fatimah.
Sedangkan Mas Fattah, terdiri dari lima bersaudara. Anak tertua, Mas Fatih. Kesehariannya disibukkan dengan berdakwah dari satu negara ke negara yang lain, memuslimkan banyak orang yang berhasil dibuatnya membacakan dua kalimat syahadat untuk masuk ke dalam islam. Benar-benar prestasi dan jihad yang membuat banyak orang terkagum, dia adalah panutan dan kebanggaan kebanyakan santri wa santriwati di Pondok Pesantren. Tapi meskipun, sudah berumur matang, dia mengatakan belum ada kesiapan untuk menikah. Sangat disayangkan, karena berbondong wanita lokal dan luar negeri mendamba untuk dipersunting olehnya.
Dan Mbak Annisa, adik Mas Fattah. Yang baru saja menikah 3 minggu disusul aku dan Mas Fattah. Berita baiknya, Mbak Annisa begitu subur hingga sekarang usia kandungannya sudah menginjak usia 2 minggu. Dia menikah muda, sama sepertiku. Menikah dengan salahsatu santri di pondok pesantren, yang sebenarnya merupakan anak bungsu dari Pemuka Agama terkenal.
Mbak Annisa pantas mendapatkan suami yang sempurna. Nama suaminya, Razaq. Meskipun sebelum menikahi Mbak Annisa, Razaq pernah mengajakku menikah. Aku pikir waktu itu dia tidak terlalu serius, dia hanya membicarakannya secara pribadi. Tidak seserius saat dia menemui keduaorangtua Mbak Annisa untuk meminang putri mereka. Dan aku memang menolaknya, karena aku ragu menerimanya dan sudah mendambakan lelaki lain.
Aku senang, Razaq sepertinya tidak tersinggung dengan penolakanku. Seminggu setelah dia mengajakku menikah, dia membawa keduaorangtuanya untuk menemui keluarga Mbak Annisa untuk meminang Mbak Annisa. Dan diterima dengan antusias. Aku turut berbahagia untuk mereka. Apalagi begitu cepat dikaruniakan momongan.
Adik kedua Mas Fattah bernama Azzam. Yang masih menginjak bangku aliyah. Sedangkan si bungsu, Cicil. Gadis mungil berparas elok berumur 10 tahun, dia sangat manja kepada Mas Fahmi dan Mas Fahmi memang sangat memanjakannya.
Kukira setelah menerima Mas Fattah. Aku akan hidup bahagia dan dikaruniakan anak-anak seperti Mbak Annisa dan Razaq. Tapi semua itu hanyalah fantasi belaka, di pertengahan malam pertama, suamiku langsung menarik dirinya menjauh dan menatapku jijik. Bahtera rumah tangga yang kudambakan, langsung hancur-lebur. Dan dibuktikan di keesokan harinya.
“Argh.” Melamun panjang, memikirkan Mas Fattah di tengah-tengah memotong wortel.  Pisau tajam melukai ujung jemariku. Aku mengibas-ngibaskan telapak tanganku yang perih, Fatimah mendekatiku dan bertanya cemas, “Ada apa, Mbak?”
“Jariku ....” Aku meringis. Dengan hati-hati, Fatimah meraih jemariku dan mengelapnya dengan tisu. Lalu setelah itu mengobatinya dan membalutnya dengan plester.
Aku berterimakasih, senang mendapatkan perhatian Fatimah yang benar-benar menganggapku selayaknya saudari perempuannya sendiri. Mas Fahmi tidak berbohong, aku benar-benar dianggap sebagai saudari dan keluarga oleh mereka. Sedari 3 minggu terakhir, aku tidak bisa berhenti dibuat terharu oleh mereka. Meskipun Fitri menolak kehadiranku.
Dan entahlah dengan Mas Fauzan. Apakah dia akan seperti Mas Fahmi, Fatimah dan Bu Fahma, atau malah sependapat dengan Fitri yang menatapku sebelah mata dan tentunya enggan menganggapku sebagai saudari apalagi keluarga.
Aku langsung keluar dari dapur untuk menyambut Mas Fahmi mengekori langkah Fatimah yang mendekatinya lebih dulu. Yang tak kusangka di hari selasa seperti ini, dia akan pulang awal. Padahal jadwalnya kemari, pada hari sabtu dan minggu. Selebih itu, jika benar-benar disibukkan oleh dakwah dan pekerjaan, dia jarang pulang dan hanya bermalam di apartemen.
Salam Mas Fahmi disambut oleh kami berdua. Fatimah langsung menyalami tangannya, sedangkan Mas Fahmi hanya memberikanku sebuah senyuman.
“Kenapa Mas pulang?” Fatimah bertanya, terlihat sedikit heran. “Tumben, nggak sibuk.”
“Entahlah,” Mas Fahmi menggaruk tengkuk. Dia melirikku, seperti ragu untuk menyebutkan sebuah nama. “F-fattah mendesakku untuk pulang ke rumah hari ini juga, dia ingin berkunjung, ada hal penting yang perlu dia bicarakan kepada kita sekeluarga. Karena desakannya, aku terpaksa menunda rapat klien dan beberapa pengajian hari ini.”
“Hal penting apa?” Fatimah terlihat penasaran.
“Aku juga tidak tahu.” Mas Fahmi mengangkat kedua bahu sekilas, mendekati meja dan menuangkan air ke dalam gelas. Ditenggaknya segelas air sekaligus, lalu meletakkan cangkir kosong ke tempat semula.
Mas Fahmi melirikku, lalu menghembuskan napas merasa bersalah. “Nadia, jika kamu tidak mau bertemu dengan Fattah ... kamu boleh bersembunyi saja di kamar. Lebihbaik Fattah tidak tahu tentang kehadiranmu di sini. Agar tidak ada permasalahan lain, aku tidak mau siapapun menyinggung dan menjelekkanmu lagi.”
Aku mengangguk. “Baiklah, Mas.” Dan Mas Fahmi tersenyum.
“Mama dimana?” Wajah Mas Fahmi berbalik dan menoleh ke arah Fatimah.
Fatimah menggerakkan dagu ke sudut lorong, “Lagi ngaji di kamar.”
“Aku harus kasih tahu kalau Fattah dan ‘keluarga’-nya akan datang hari ini, kira-kira ....” Pandangan Mas Fahmi turun ke arloji di pergelangannya, “duapuluh menit lagi.” Manik cokelatnya kembali melirikku, “Biarkan aku menyelesaikan tugas memasak Nadia.”
“Tidak, Mas. Tidak.” Aku menggelengkan cepat, dengan tangan melambai menolak. “Biar aku saja.”
“Kamu ke kamar saja, Nadia ... berat bagimu jika harus bertemu Fattah ... ya ‘kan?”
“Tidak pa-pa, Mas. Aku di dapur saja, memasak. Aku hanya akan di dapur.” Aku mendesak untuk menyelesaikan masakanku. Akhirnya Mas Fahmi pasrah dan berhenti memaksaku. Setelah itu, aku kembali ke dapur dan lanjut memasak sup. Sedikit kesusahan memotong wortel karena telunjukku sebelumnya sempat terluka, tapi aku berusaha menyelesaikannya.

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất