logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

3: Kalimat Fitri

Aku menyampingkan tubuh dan meletakkan sebelah tangan ke pipi, berusaha tidur di sebelah Fatimah yang sudah sedaritadi terlelap. Awalnya mataku terpejam dan terlelap. Banyak waktu yang terlewat, kumandang azan membangunkanku. Setelah tubuhku terperanjat, kulihat Fatimah sudah beranjak keluar dari kamar mandi setelah mengambil air wudhu’.
Fatimah beribadah terlebih dahulu, aku menyusul setelahnya.
Aku mandi pagi dan kembali meminjam pakaian Fatimah. Setelah itu keluar dari kamar, melirik jam sudah pukul setengah enam. Kutemukan Mas Fahmi baru saja kembali dari Masjid, senyum merekahnya menyambut pagiku. Setelah melantunkan salamnya yang kujawabi, Mas Fahmi berkata hangat, “Pagi, Nadia.”
Aku mengangguk, “Pagi, Mas.”
Mas Fahmi berlalu ke kamarnya. Aku memperhatikan punggungnya yang menjauh dan masuk kedalam kamarnya.
“Assalamualaikum.” Sebuah salam datang dari ambang pintu yang terbuka.
“Walaikumsalam--” jawabanku seketika terhenti, saat mendapati Fitri yang pulang pagi sehabis menginap dari Pesantren.
Fitri sama terkejutnya melihat kehadiranku di rumahnya. Setelah kemaren dia berdiri di antara banyaknya santri yang menyorotku pergi, tentu tak disangkanya aku bisa ada di rumahnya. “Kenapa kamu ada di sini?” Langkah Fitri mengentak, menatapku tajam, “Kenapa kamu di sini!?”
Aku gelagapan, “A-aku ....”
Fitri menarik lenganku. “Keluar! Keluar dari rumahku, sekarang!”
Wajar dia sejarah itu, meskipun terkesan berlebihan.
Fitri ingin menyeretku paksa untuk mengusirku. Tapi kali ini, kelakuannya dihentikan oleh Mas Fahmi. “Fitri! Apa-apaan kamu?” Mas Fahmi mendekat dan melepaskan cekalan tangan Fitri di lenganku.
“Kenapa perempuan itu ada di sini?” Fitri bertanya sinis, menyorotku muak.
“Fitri ... apa salahnya jika Nadia ada disini?” Mas Fahmi balik bertanya. “Nadia sudah menjadi bagian keluarga kita, setelah menjadi istri Fattah, berarti--”
Sebelum kalimatnya disudahi, Fitri langsung memotong. “Kak Fattah sudah menalaknya kemaren!”
Mas Fahmi tertegun. Kulihat punggungnya menegap dan terlihat kaget. Sepertinya tidak menyangka, padahal kami belum genap dua hari menikah.
“Kalau begitu, aku akan mengembalikan Nadia ke rumah Fattah. Setidaknya tiga kali suci, masa iddah harus dijalani. Nadia tidak boleh meninggalkan rumah suaminya--”
“Talak tiga!” Fitri mengacungkan tiga jemarinya, menghentikan ujaran kalimat Mas Fahmi.
“Kenapa?” Tentu heran, Mas Fahmi terlihat kebingungan.
“Kakak tanya kenapa?” Tatapan Fitri menajam ke arahku. Kali ini terang-terangan menunjukku, “Karena perempuan itu ternyata sudah tidak suci!”
Aku tertunduk lemas. Mas Fahmi melirikku, entah apa yang terbersit di pikirannya saat mengetahuinya. Mungkin, sama halnya dengan Mas Fattah dan semua orang, Mas Fahmi akan balik membenciku. Dan memandangku rendah sebagai perempuan kotor.
Saat Fitri menegaskannya, Bu Fahma dan Fatimah berada di satu ruangan yang sama dengan kami. Aku tidak berani menatap wajah mereka, pasti mereka menatapku jijik sekarang.
“Wajar bagi Kak Fattah untuk menceraikan perempuan pezina ‘kan? Dan kenapa juga perempuan pezina itu ada di sini?” Cemoohan, hinaan, sifat merendahkan. Fitri seperti meniru perkataan dan gelagat Mas Fattah.
Berawal dari Mas Fattah, melintas di pikiran banyak orang dan keluar dari mulut Fitri. Setelah ini, mungkin akan menyusul dari mulut Mas Fahmi, Bu Fahma dan Fatimah. Membayangkannya membuatku putus asa.
“Jaga mulut kamu, Fitri.”
Aku tak salah dengar? Aku menoleh kaget ke wajah Mas Fahmi.
Mas Fahmi terlihat berusaha menenangkan diri dan menahan amarah, tatapan dinginnya menghunus tepat ke wajah Fitri. “Nadia bukan perempuan pezina. Jaga omongan kamu.”
“Mas membela perempuan itu?” Fitri kembali menunjukku. 
“Jelas-jelas Nadia perempuan pezina, Mas! Sebelum Mas Fattah menyentuhnya dia sudah tidak suci! Sebelum Mas Fattah, sudah ada lelaki lain yang menjamahnya! Masih mau membelanya?” Jari telunjuk Fitri menunjuk-nujuk tepat ke wajahku. Sikap kelancangan itu membuat Mas Fahmi meraih jemarinya dan nyaris meremuk jari telunjuk adiknya.
“Jangan fitnah, Fitri. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”
“Fitnah?” Fitri tertawa mencemooh, “Itu kenyataannya.”
“Kamu memiliki bukti?”
“Mas Fattah menalaknya semalam di depan Pak Kyai, Bu Nyai, Mbak Annisa, Azzam dan beberapa santri sudah menjadi bukti jelasnya.” Dengan kasar, Fitri menarik kembali jemarinya dari remukan tangan Kakaknya. “Sebaiknya usir dia dari sini!”
Aku pasrah, tubuhku lemas. Baru saja aku melangkah mundur dan hendak membungkuk, berpamitan untuk meninggalkan rumah mereka. Penegasan Mas Fahmi, membuat langkahku terhenti dengan punggung yang kembali menegap. Aku ingin menangis karena perkataannya yang menyentuh relung hatiku.
“Nadia tidak akan keluar dari rumah ini. Kemaren dia terpaksa pergi dari ‘rumahnya’, sekolah sekaligus tempatnya pulang--pesantren tempat Nadia selama ini berusaha dan menuntut ilmu. Mulai sekarang, rumah ini akan menjadi rumah dan tempat pulang Nadia yang baru.” 
Keputusan Mas Fahmi tak dibantah Bu Fahma termasuk Fatimah. Hanya Fitri yang terlihat tidak terima, tentu enggan jika rumahnya menjadi tempat pulang baru bagiku yang dianggapnya kotor.
“Kalau begitu ....” Fitri menggertakkan gigi, “Rumah ini, bukan lagi tempat pulang untukku!” 
Fitri berbalik dan meninggalkan Mas Fahmi, keluar dari rumah. Mas Fahmi tidak mengejar ataupun menghentikan langkahnya, dia hanya berdiri di tempat dengan kepala yang mendongak sejenak ke atas. Menghirup napas sedalam mungkin, lalu merunduk dan menghembuskannya.
“Nadia ....” Mas Fahmi berbalik, menatapku teduh.
Kukira dia akan membahas perkara semalam dan meminta kejelasan, namun ternyata yang dia bahas hanyalah perkara lain. Yang membuat kekosongan di hatiku selama bertahun-tahun, kembali dilengkapi oleh kalimat dan sambutannya kepadaku.
“Aku tau kamu tak memiliki tempat pulang maupun keluarga. Pesantren satu-satunya tempat tinggal kamu selama ini, dan keluarga kukira kamu akan membangun bahtera rumah tangga, membentuk keluarga kecilmu bersama Fattah. Setelah kamu mendapatkan kedua hal tersebut, semalam kamu malah kehilangan semuanya. Tempatmu pulang--pesantren, dan pendamping hidupmu--Fattah.”
“Tapi, Nadia ... hari ini aku akan mengganti kedua hal yang sudah membuatmu kehilangan. Pertama, rumah ini akan menjadi tempatmu kembali, tempat yang terbuka saat menerimamu, tempatmu pulang. Kedua, kamu adalah saudari kami, kamu bagian dalam keluarga kami. Kami keluargamu, Nadia. Jadi kamu tidak sendirian.”
Aku menangis sesegukan, mengangguk kuat. “M-makasih ... M-mas ....”
“Seharusnya aku yang berterimakasih, Nadia ....” Mas Fahmi melepaskan sorbannya yang melingkar di leher dan bahunya, lalu mengalungkannya ke leherku. Meraih ujung sorbannya digunakannya untuk menyapu pipiku yang basah oleh air mata.

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất