logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

2: Kebaikan Mas Fahmi

Entah apa yang Mas Fahmi pikirkan saat itu, malah membawaku ke rumahnya. Tanpa bertanya, kemana dia harus mengantarku pulang. Seakan dia mengetahui, selain di Pondok Pesantren yang sudah kutinggal secara sukarela, aku tidak memiliki tempat pulang samasekali. Orangtuaku sudah lama meninggal karena perampokan, sebab sudah tidak memiliki siapapun makanya aku dikirim ke Pondok Pesantren, yang bisa menjadi rumah sekaligus sekolah untukku. Tapi aku telah kehilangan kedua hal dalam satu tempat.
Aku yang berstatuskan janda yang ditalak tiga suaminya, tentu mengundang tanya bagi penghuni rumah saat Mas Fahmi membawaku ikut serta. Belum lagi penampilanku, baju terbuka yang dirobek paksa namun badan tertutup oleh jubah lain Mas Fahmi. Untuk penutup kepala malah memakai surban Mas Fahmi yang aroma maskulinnya memanjakan hidungku secara langsung. 
Entah kenapa, aroma khasnya ini ... aku menyukainya.
“Fahmi? Kenapa istri Fattah bersamamu?” Ibunda Mas Fahmi bertanya bingung, menatapku yang membuatnya bertanya-tanya. Mulai dari kehadiranku, terutama penampilanku. Jubah dan sorban Mas Fahmi di tubuhku, tentu menjadi sorotan mereka.
Mas Fahmi seakan memohon pengertian, “Ma, izinkan Nadia untuk menginap di rumah kita malam ini.”
“Apa maksudmu?” Seakan protes, Ibunda Mas Fahmi kembali bertanya. “Pulangkan dia ke rumah suaminya. Apa-apaan kamu membawa istri orang kemari? Bisa mengundang fitnah, Fahmi.”
“Ma,” Mas Fahmi menyentuh lengan Ibunya, memohon kesediaan mereka untuk menerimaku malam ini saja. Dibawanya Sang Ibu ke lain ruangan, lalu kembali meminta izinnya. 
“Ada banyak hal yang tentunya Nadia alami, tapi kita tidak bisa memaksa untuk menanyakannya saat ini. Aku tahu, sepertinya sesuatu terjadi di pesantrennya Fattah yang berimbas ke Nadia. Setidaknya, untuk malam ini izinkan Nadia untuk mengistirahatkan diri, besok aku akan mencari tahu. Sebenarnya, apa yang terjadi? Sampai-sampai Nadia kutemukan berkeliaran dalam keadaan terguncang?” Wajah Mas Fahmi memelas memohon iba, agar mereka mengasihaniku.
Setelah mempertimbangkannya, akhirnya Bu Fahma, Ibundanya Mas Fahmi mengangguk setuju. Setelah mendapat izinnya, keduanya kembali ke ruangan semula yang kutempati ditemani salahsatu adik perempuan Mas Fahmi yang masih SMA.
“Nak Nadia.” Bu Fahma memanggil lembut, menghampiriku dan menarik lenganku dengan sopan, “Kamu pasti lelah. Hari sudah gelap. Oh, ya sudah salat maghrib?”
Aku menggeleng samar. Karena keributan yang terjadi antara aku dengan Mas Farhan sebelum dia menalakku, aku tidak sempat beribadah. Tapi untungnya, ibadah lain sebelum Maghrib malam ini sempat aku kerjakan.
Bu Fahma tersenyum tipis. “Mandi dan bersihkan dirimu. Setelah itu wudhu’ dan beribadah. Jika kamu lapar, Ibu masak banyak malam ini, niat awalnya untuk menyambut kehadiran Fahmi. Tak disangka, bukannya datang sendirian, dia juga bawa kamu. Setidaknya, kemungkinan besar semua makanan bisa dihabiskan, tidak akan mubazir.”
Aku mengangguk, dengan pelan mengiakan, “Baik, Bu.” 
Bu Fahma denganku memang cukup akrab, meskipun jarang mengobrol. Hanya saja jika kami bicara, pasti bisa panjang-lebar. Kami mengenal satusama lain, semenjak Mas Fattah melamarku. Aku dikenalkan kepadanya oleh Ibunya Mas Fattah.
“Fatimah,” panggil Bu Fahma kepada anak gadisnya. “Antar Nadia ke kamarmu. Pinjamkan dia baju dan mukenah. Malam ini, izinkan Nadia tidur di kamarmu juga. Kamu tidak keberatan, ‘kan?”
Fatimah mengangguk tanpa protes. “Ya, Ma.”
Oleh Fatimah, aku dibawa ke kamarnya. Digeledahnya lemari jumbo yang berisi banyak jenis pakaian syar’I, gamis dan hijab. Dipilihnya salahsatu gamis yang lebih menyerupai gaun tidur be-rok dan berlengan panjang, lalu hijab yang berwarna senada. 
“Yang ini, Mbak?” Fatimah mempertanyakan persetujuanku.
Tentu aku harus sadar diri. Tanpa perhitungan, karena aku yang meminjam, kuanggukkan kepala. Aku menerimanya, saat Fatimah menyerahkannya.
“Terimakasih, Fatimah.”
Fatimah mengulas senyum tipis, “Tak perlu berterimakasih, Mbak. Lagi pula, jika Mbak benar-benar ingin berterimakasih, jangan ke saya. Tapi ke Mas Fahmi. Dia sampai berkenan membawa Mbak kesini. Saya sepemikiran dengan Mas Fahmi, sepertinya sesuatu memang menimpa Mbak, dan saya tidak berhak untuk bertanya jika Mbak keberatan untuk menjawab.” 
Fatimah melangkah menuju balik pintu, mengambil handuk dan menyerahkannya kepadaku.
“Mandilah, Mbak. Setelah itu beribadah. Setelah selesai semuanya, kita makan bersama-sama di luar. Mama sama Mas Fahmi tentu sudah menunggu.”
Bergegas, aku ke kamar mandi yang satu ruangan dengan kamar Fatimah. Kuguyur air ke seluruh tubuhku dan membersihkan diri. Setelah mandi, aku berpakaian dengan baju yang dipinjamkan Fatimah kepadaku. Aku sempat mengambil wudhu’ sebelumnya, lalu melaksanakan ibadah Maghrib.
Kulepas mukenah setelah salam dan doa. Bangkit berdiri, aku menghadap cermin. Memperhatikan wajahku yang terpantul di sana, dan mulai memakai hijab langsung milik Fatimah. Wajah Fatimah memang lebih tembem daripada wajahku yang terkesan mungil, tentunya jilbabnya kebesaran di wajahku. 
Terbersit ingatan, aku mengambil bros Mas Fahmi pemberian Cicil yang ada di jubahnya yang tadinya kugunakan sebagai tutup kepala. Dan aku memakainya, untuk menyesuaikan ukuran jilbab dan kepala.


Saat aku berbalik, kudapati Fatimah yang mencolek krim pelembab wajah lalu mengolesnya ke pipiku, dengan perlahan mengusap dan meratakannya. 
“Kulit Mbak kering, pakai ini biar lembab dan lebih terawat.” Aku terenyuh oleh sentuhan jarinya. Dari sebelah pipi, beralih ke pipi lain, menjelajahi dagu dan keningku. Rasa sejuk meresap di wajahku, setelah itu Fatimah mengoleskan krim pelembab yang sama ke bibirku yang pucat.
“Jangan heran, ya Mbak. Ini juga bisa digunakan di bibir.” Beritahunya, saat aku kebingungan.
“Oh, ya?” Aku terkekeh.
“Iya.” Fatimah mengangguk antusias. Lalu menutup wadah krimnya dan kembali meletakkannya ke atas meja.
Setelah itu, Fatimah menatap wajahku lagi. “Mbak cantik, ya.”
Aku tersipu. “Syukron untuk pujiannya ....” Aku senang jika dipuji oleh perempuan secantik Fatimah. Dalam urusan wajah, aku memang bisa dikategorikan lumayan, tapi jika dibandingkan dengan Fatimah dan adik-adik Mas Fattah dan Mas Fahmi yang lain, mungkin aku kalah tanding.
 Terutama Cicil, yang baru berumur 10 tahun, tapi kecantikan awalnya sudah terlihat jelas. Apalagi, jika dia sudah menjadi perempuan dewasa setidaknya lima tahun kemudian. Pasti cantik sekali.
“Pantasan Mas Fattah memilih Mbak. Bukan hanya cantik, tapi juga salehah. Tipikal istri idaman.” Fatimah terlihat tak heran. Sedangkan aku, setelah nama Mas Fattah kembali diungkit, raut wajahku sontak berubah. Awalnya berangsur bisa menikmati suasana di rumah ini, mendadak kembali teringat kejadian beberapa jam yang lalu, membuatku sesak dan rasanya ingin kembali menangis.
Fatimah sepertinya menyadari perubahan rautku. Kini, dia memberanikan diri bertanya. “Sebenarnya apa yang terjadi, Mbak? Mbak dengan Mas Fattah bertengkar, ya? Sampai-sampai Mbak keluar dari rumahnya?” Tanyanya bertubi, dengan mata penuh selidik.
Aku tertunduk. “Lebih dari itu.”
Melihatku yang terguncang, Fatimah berubah pikiran untuk mendesak. Lalu mengalihkan pembicaraan. “Mari, Mbak. Kita makan. Sepertinya Mas Fahmi dan Mama sudah menunggu.”
Aku mengangguk, setelah mengusap sudut mata. Kuraih sorban Mas Fahmi yang tergeletak di atas meja, lalu membawanya bersamaku mengikuti langkah Fatimah menuju meja makan. Di sana Mas Fahmi tengah menikmati makan malam, bersama Bu Fahma yang menemaninya makan. Penampilan Mas Fahmi sudah berganti, dari Jubah dan Kopia menjadi pakaian santai di rumah. Kaus oblong hitam dan celana panjang di atas mata kaki.
“Makanlah, Nak Nadia.” Bu Fahma mengambilkan piring dan menaruh nasi di atasnya, lalu mengambilkanku lauk.
Aku menerima sodoran piringnya, lalu berusaha makan dengan lahap.
Mas Fahmi melirikku sejenak, lalu berkata. “Makan yang banyak, Nadia.”
Aku menoleh dan mengangguk, kembali mengunyah dan menelan hasil kunyahanku.
Fatimah duduk di sebelahku dan menikmati nasi dan lauk yang sama. Iseng, gadis itu berkali-kali menambahkan lauk dan nasi ke atas piringku ingin melebihi beban perutku. “Biar kenyang sampai besok.” Kekehnya, sambil mengulum senyum.
Aku tersenyum pasrah, pundakku melunak. Kembali menyendok nasi, aku berusaha menghabiskan semua makanan di atas piring tanpa bersisa.
“Jika kamu kenyang, aku minta sisanya.” Mas Fahmi menyendok nasi dan lauk dari piringku dan memindahkannya ke piringnya, lalu lanjut makan dengan lahap.
Aku tersenyum lebar. Berhenti fokus makan, aku malah memperhatikan Mas Fahmi.
“Awas mata.” Mas Fahmi mengingatkan, aku langsung membuang muka ke kolong meja makan.
Mas Fahmi tertawa. Kembali mengambili lauk dan nasi di atas piringku, terus memindahkannya ke piringnya.
“Fahmi.” Bu Fahma menegur. “Jika kamu masih lapar, masih banyak nasi dan lauk lain di atas meja. Jangan menganggu Nadia makan.” Kecamnya, membuat Fahmi menggaruk kepala.
“Maaf, Ma. Tanpa bantuanku, Nadia tidak bisa menghabiskannya sendirian.” Tertawa lagi. Tawa lembut Mas Fahmi membuatku terpana. Mas Fahmi memang hobi-nya tersenyum dan tertawa, selain karena ibadah, mungkin memang karena tabiatnya. Suka bercanda dan berkepribadian menyenangkan. Sebelumnya, aku mengenalnya seperti itu. Orang sebaik dia, memang pantas untuk bisa tertawa bahagia.
Setelah makan, aku mengembalikan sorban milik Mas Fahmi.
Senyuman manis Mas Fahmi kembali tersungging, lalu mengalungkan sorban yang kukembalikan ke lehernya, “Makasih Nadia.”
“Harusnya aku yang berterimakasih, Mas.”

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất