logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

AKU KAMU

Part 5
Dering ponsel Devan yang berbunyi, membuat Adiba membuka matanya kembali, padahal ia baru saja akan tidur untuk beristirahat agar kelalanya tidak pusing lagi.
Devan bergegas mengambil ponselnya yang ia letakan di nakas, tertera nama mama di layar ponselnya.
[Assalamualaikum, Ma!]
[….]
[Iya, Ma! enggak apa-apa, mama duluan aja. Nanti devan sama Adiba langsung ke apartemen.]
[….]
[Iya, nanti kita mampir ke rumah bunda dulu.]
[…..]
[Iya, hati-hati! Waalaikum salam.]
Adiba melirik Devan, mencari tau siapa yang menghubunginya. Samar-samar ia mendengar Devan menyebut nama mamanya, membuat ia tau kalau yang menelpon itu adalah mamanya Devan.
Devan yang tau kalau Adiba sedang menguping, menoleh pada Adiba yang sedang berbaring di ranjang.
"Enggak usah pura-pura tidur, saya tau kalau Mbak sedang menguping pembicaraan saya 'kan?"
"Aku enggak nguping, kok! Suara kamu aja yang berisik, makanya aku bisa mendengarnya," jelas Adiba.
Devan menghampiri Adiba, lalu ia duduk di sisi ranjang dan menatap Adiba yang terlihat kesal.
“Maaf, kalau suara saya berisik dan mengganggu Mbak Diba," papar Devan, "tadi, mama telepon dan memberitahu kalau mereka semua mau pulang duluan,” jelas Devan.
Adiba mengangguk, ia tidak masalah jika orang tuanya akan pulang lebih dulu, yang terpenting mereka tidak tau kalau ia sedang sakit.
“Iya, tidak apa-apa,” ujar Adiba.
"Mbak, enggak jadi tidur? Suara saya berisik ya?” tanya Devan.
Devan benar-benar merasa tidak enak pada Adiba, karena dirinya Adiba jadi terbangun.
“Enggak, Aku belum tidur, Van!” jawab Adiba.
"Mbak harus istirahat supaya cepat sembuh," Devan menghampiri Adiba lagi.
Devan menatap Adiba yang berbaring di ranjang, membenarkan posisi tidur Adiba agar lebih nyaman lalu ia duduk di sisi ranjang.
"Aku tunggu di sini sampai Mbak tidur," papar Devan.
"A--Aku enggak bisa tidur, Van!" jelas Adiba gugup.
Adiba sedang menetralkan jantungnya yang terus saja berdegup sangat kencang karena ulah Devan, baru sekarang Adiba merasakan hal seperti ini, sebelumnya ia tidak pernah, bahkan dengan Riza saja jantungnya selalu berdetak dengan normal.
“Mbak Diba!" panggil Devan, membuat Adiba tersadar dari lamunannya.
"Astagfirullah! Devan, kamu ngagetin aja, deh!" Adiba terkejut, "ada apa sih?" tanya Adiba.
Devan menatap Adiba, ia merasa gugup ingin mengatakan hal ini pada istrinya, tapi ia harus mengatakannya sekarang juga, ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya pada Adiba.
"Boleh enggak, kalau saya panggil Mbak Diba nama aja? Tadi, orang tua kita menegur saya,” pinta Devan dengan ragu, ia takut kalau Adiba akan marah dan menolak permintaannya itu.
Adiba sudah menduga, kalau orang tuanya pasti mempermasalahkan hal ini, memang benar seharusnya Devan tidak memanggilnya dengan panggilan mbak, dia 'kan suaminya, walaupun usianya lebih muda darinya, tetap saja dia itu tidak boleh memanggilnya seperti itu.
“Boleh,” jawab Adiba singkat.
“Mbak serius? Kalau keberatan juga enggak apa-apa, saya panggil Mbak Adiba aja, seperti biasa,” papar Devan.
Adiba menyentuh tangan Devan, lalu ia menatap suaminya yang terlihat meragukan ucapannya, mungkin dia juga takut jika Adiba akan marah padanya.
“Boleh kok, Van! Panggil Adiba aza, tapi-- ” Adiba menggantung ucapannya, membuat Devan menatap Adiba.
“Tapi kenapa?” tanya Devan penasaran.
Bukannya menjawab pertanyaan Devan, Adiba malah tersenyum dan ikut menatapnya, Devan yang ditatap seperti itu oleh Adiba menjadi salah tingkah dan grogi, ia bahkan sangat penasaran dengan apa yang ingin Adiba katakan kepadanya.
“Bisa enggak, kalau kamu bicara jangan pake' saya! Itu terlalu formal, Devan," pinta Adiba.
"Memangnya kenapa? Bukanya saya sudah biasa bicara seperti itu?" tanya Devan.
"Kalau kamu ngomong saya itu, membuatku merasa seperti berbicara dengan atasanku di kantor, Devan!” jelas Adiba.
Devan membulatkan matanya, ia tidak menyangka kalau Adiba bisa merasa seperti itu, tapi dia juga merasa senang karena secara tidak langsung Adiba mengakuinya sebagai suaminya. Devan juga merasa lega, karena Adiba membolehkan ia memanggil nama pada Adiba dan Devan juga mengiyakan permintaan Adiba.
“Jadi, kita ganti panggilannya aku kamu, ya?” tanya Devan memastikan.
“Iya,” pungkas Adiba.
“Enggak panggil sayang aja?” goda Devan tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.
"Jangan mulai, deh!" Adiba berdecak, membuat Devan tertawa puas karena sudah berhasil membuat istrinya kesal.
Adiba terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan, hingga tepukan Devan menyadarkan Adiba dari lamunannya.
“Aku nanya kamu, tapi enggak dijawab, kamu lagi mikirin apa, sih?” tanya Devan.
“Maaf, Maaf! Tadi tanya apa, ya?” Adiba menatap Devan.
“Aku tadi tanya sama kamu, tentang pernikahan kita!” tutur Devan.
Adiba menyernyitkan dahinya, ia masih belum mengerti dengan apa yang Devan katakan padanya, tadi mereka tidak sedang membahas pernikahan, kenapa sekarang Devan menanyakan hal itu.
“Maksudnya, gimana?” tanya Adiba menyernyitkan dahinya.
“Maksudnya, pernikahan kita gimana, kita tetap melanjutkan pernikahan ini 'kan!” jelas Devan.
“I--Iya, kita lanjutkan,” ujar Adiba sedikit ragu.
Setelah mendengar jawaban Adiba, Devan merasa lega, sedangkan Adiba sibuk memikirkan apakah dia bisa menjadi istri yang baik untuk Devan, laki-laki yang sama sekali tidak ia cintai.
“Syukurlah!” ujar Devan.
“Maksud kamu, Syukur itu untuk apa?” tanya Adiba bingung.
“Maksud aku itu, aku bersyukur karena kamu mau melanjutkan pernikahan ini. Dari dulu aku itu punya mimpi menikah hanya sekali seumur hidupku, Diba!” jelas Devan.
Mendengar ucapan Devan, membuat Adiba sedikit tersentil, lalu ia menatap Devan dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Dulu, aku juga gitu, Van! Impianku itu menikah hanya sekali seumur hidupku, dengan orang yang aku cintai dan aku sayangi,” papar Adiba dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Maaf ya, Diba! Karena aku menikahi kamu, kamu tidak bisa mewujudkan impianmu," Devan menundukan wajahnya.
Adiba mengubah posisinya menjadi duduk, agar ia bisa lebih dekat dengan suaminya, ia merasa bersalah pada Devan karena telah berkata seperti itu, padahal Devan sudah menyelamatkan hidupnya dengan cara menikahinya.
"Kamu enggak salah apa-apa, justru kamu telah menyelamatkan hidupku, kalau saja kamu tidak menikahiku, pasti aku dan keluargaku akan menjadi ejekan tetangga," jelas Adiba.
"Jadi, kamu menerimaku sebagai suami kamu 'kan?" tanya Devan memastikan lagi dan Adiba mengangguk sebagai jawaban iya.
Keduanya masih saling menggenggam, meskipun masih ada rasa canggung diantara mereka, tapi mereka mencoba menepisnya dan bersikap biasa saja.
Setelah beberapa menit, Adiba melepaskan tangan Devan dari genggamannya, lalu ia membawa Devan ke dalam pelukanya.
"Ajari aku agar aku bisa mencintai kamu, Devan!" pinta Adiba, "Aku ingin bisa mencintai kamu sebagai suamiku, Devan!" sambung Adiba.
Devan tersenyum di dalam pelukan istrinya itu, ia benar-benar merasa sangat bahagia mendengar permintaan Adiba barusan.
"Aku akan berusaha membuat kamu jatuh cinta kepadaku, hanya aku yang akan kamu cintai," Devan membalas pelukan Adiba, "Aku juga akan mencintai kamu sepenuh hatiku selamanya,"
sambung Devan semakin mengeratkan pelukannya.
***

Bình Luận Sách (106)

  • avatar
    Samuel Jamrud

    mantap

    5d

      0
  • avatar
    Rinakurniahapsari

    bagus....

    28/08/2023

      0
  • avatar
    AlmaNeng

    sangat menyenangkan

    13/07/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất