logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Pertengkaran Sengit.

Aku terlelap di samping Kinan, hingga adzan subuh berkumandang. Di dapur, Ibu telah berkutat dengan peralatan masaknya untuk menyiapkan sarapan.
Kinan masih terlelap, sedangkan Ibu sudah mengerjakan banyak hal sedari subuh. Setelah sholat kubangunkan Kinan agar mau membantu Ibu di dapur.
"Kinan, bangun! cepat bantu Ibu di dapur!" ujarku sambil menggoncang tubuhnya.
"Apa seh Mas? Ganggu orang tidur saja!" ucapnya sambil kembali menarik selimut.
"Cukup Kinan! Belajarlah untuk mengerti tanggung jawab mu sebagai seorang Istri! Jangan semua Kamu limpahkan pada Ibu!" bentakku membuat Kinan bangkit dari tidurnya dan melempar bantal ke arahku.
"Kalau Kamu tak suka dengan yang ku lakukan, baik Aku akan pergi dari sini!" teriaknya membuatku kehilangan kesabaran.
"Pergilah! Jika itu bisa membuatmu bahagia!" ujarku menantangnya.
"Jaya! Jangan sembarangan bicara!" bentak Ibu yang ternyata telah berdiri di ambang pintu.
"Sudahlah Bu, Kinan tak bahagia hidup bersama Kita. Biarkan Dia kembali pada keluarganya! Jangan menahan kebahagiaan orang lain Bu!" ucapku membuat mata Ibu berkaca-kaca. Sedangkan Kinan, dengan cueknya berlalu melewati Kami, menuju dapur dan memakan sarapan yang telah di masak oleh Ibu.
Melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan, segera ku ambil piring di depan Kinan dan membantingnya ke lantai, hingga pecah tak beraturan. Mata Kinan melotot, terkejut dengan apa yang ku lakukan.
"Astaghfirullah, Jaya!!! Hentikan, Nak. Sabar! Jangan ikuti nafsu setan!" ujar Ibu sambil mengelus punggungku, berharap amarahku mereda.
"Kamu sengaja menguji kesabaran ku, Mas! Laki-laki miskin, belagu Kamu Mas!" teriak Kinan memancing amarah ku.
"Sedari awal Kamu sudah tahu kalau Aku miskin. Kamu ingat, lima tahun yang lalu, Kamu menjebakku dengan minuman perangsang, agar Aku menodaimu. Kamu juga memaksa untuk menikah dengan ku. Kamu sadar kalau ambisimu saat itu menyebabkan Ayahku meninggal!" bentakku tak membuat Kinan surut, bahkan amarahnya makin menjadi.
"Sekarang, Aku menyesal hidup bersama mu! Aku juga menyesal telah meninggalkan kemewahan keluarga ku hanya demi laki-laki miskin seperti mu!" teriaknya dengan wajah memerah menahan amarah.
"Maafkan Jaya, Nak Kinan. Dia hanya sedang emosi. Pikirkanlah putri Kalian, hentikan pertengkaran ini dan berbaikan kembali!" ujar Ibu menasehati kemudian berjalan menghampiri Kinan.
"Semua ini karena Ibu, yang menyebabkan Mas Jaya marah padaku! Karena Ibu miskin hingga tak mampu mencukupi kebutuhan rumah!" bentak Kinan membuatku tak mampu lagi menahan emosi.
"Tutup mulut lancang mu itu!" bentakku dengan nada yang meninggi.
"Sabarlah, Nak!" ujar Ibu sambil menatapku tajam, dan menghampiri Kinan bermaksud menenangkannya.
"Jangan dekati Aku! Aku benci Ibu!" teriak Kinan sambil mendorong tubuh Ibu hingga terjatuh dan membentur pojok meja makan yang terbuat dari kayu.
BRUGH.
"IBU!!!" pekikku terkejut melihat tubuh Ibu jatuh menimpa pecahan piring yang tadi ku banting. Seketika Ibu pingsan, dengan panik ku bopong tubuh Ibu keluar untuk meminta bantuan pada warga.
Untung saja, Ustadzah Aisyah lewat dengan mengendarai mobil, tanpa pikir panjang langsung ku cegat mobil nya dan meminta bantuan untuk membawa Ibu ke Rumah sakit.
Sigap, Ustadzah Aisyah menghentikan mobil dan turun untuk membukakan pintu belakang untukku. Berkali-kali ku ucap terima kasih saat mobil meluncur menuju rumah sakit.
Setiba di rumah sakit, Perawat sigap menolong Kami membantu memindahkan tubuh Ibu ke atas bangkar. Aku dan Ustadzah Aisyah menunggu di depan ruang ICU dengan gelisah.
Tak berapa lama dokter keluar dan memanggilku. Dengan penuh kekhawatiran ku dengarkan penjelasan darinya.
"Benturan keras di kepala Ibu Laras, menyebabkan pendarahan di otaknya. Karena umur beliau yang telah lanjut, dan sepertinya tubuh beliau menolak untuk di lakukan tindakan, maka semua keputusan Kami serahkan pada keluarga. Saat ini kondisi Ibu Laras tengah koma!" jelas Dokter membuatku kaget.
"Ibu!!!" jeritku hingga luruh tubuh ini bersimpuh di lantai rumah sakit.

"Sabar, Nak Jaya. Istighfar, mintalah kesembuhan pada Allah. Yakinlah, Ibu akan baik-baik saja!" ujar Ustadzah Aisyah berusaha menenangkan ku.
"Terima kasih Ustadzah, sudah membantu Saya! Sekali lagi Saya mau memohon bantuan Ustadzah, bisakah menemani Ibu, sementara Saya akan pulang untuk melihat Citra yang sedang di rumah. Saya tidak tahu kondisinya saat ini karena tadi panik melihat keadaan Ibu dan meninggalkan Citra bersama Kinan." Pintaku yang di setujui oleh Ustadzah Aisyah.
"Silahkan, Nak Jaya. Saya akan membantu menjaga Ibumu. Jangan sungkan, Laras adalah sahabat Saya sejak kecil. Kami tumbuh bersama, sudah sewajarnya jika Saya menjaganya!" ujar Ustadzah Aisyah, kemudian Akupun berlalu meninggalkan nya seorang diri menjaga Ibu di rumah sakit. Dengan menggunakan ojek, Aku pergi ke rumah untuk melihat Citra.
Aku terpaksa melakukan ini, karena khawatir pada Citra. Selama ini Kinan sangatlah acuh pada Citra, anak kandungnya sendiri. Tidak hanya Kinan, semenjak Citra lahir, keluarga besar Kusuma pun sangat anti pada keluarga ku. Cacian dan hinaan tak henti mereka lontarkan jika tanpa sengaja bertemu dengan ku. Tapi, Aku tak pernah memperdulikan itu.
Sesampainya di halaman rumah, sudah terdengar jerit tangis Citra. Dengan setengah berlari Aku masuk kedalam rumah yang pintunya terbuka lebar. Citra menangis di dalam kamar Ibu yang terkunci dari luar. Ku panggil Kinan, tapi tak ada sahutan darinya. Segera ku gendong Citra dan menenangkannya, sambil mencari Kinan di setiap ruang rumah ini.
Benar saja, Kinan tega meninggalkan putri nya terkunci di kamar seorang diri. Setelah ku pastikan, Kinan tak lagi berada di rumah ini, segera ku siapkan Citra untuk ku bawa ke rumah sakit. Fokusku kali ini pada kesehatan Ibu, untuk masalah Kinan bisa di pikirkan nanti. Bergegas Aku berangkat kembali ke rumah sakit.
Setibanya di depan ICU, Ustadzah Aisyah menyambutku dengan deraian air mata.
"Ikhlaskan Ibumu, Nak. Laras sudah terlepas dari rasa sakitnya. Kali ini Dia telah menyerah, mungkin lelah yang selama ini menderanya telah mencapai batas maksimal kemampuan Laras!" ucap Ustadzah Aisyah hati-hati.
"Maksud Ustadzah, Ibu Saya sudah... Ya Allah, Ibu..." jeritku tak mampu lagi melanjutkan kata-kata. Hanya memeluk erat Citra yang mungkin belum paham dengan apa yang tengah terjadi.
"Kuatlah, Nak. Masih ada Citra yang membutuhkanmu. Menangislah, hanya saat ini saja. Setelah ini bangkit dan tegarlah, jangan membuat pengorbanan Ibumu kali ini sia-sia. Tunjukkan kalau Kamu mampu membanggakan Ibumu, jangan buat Dia kecewa!" nasehat Ustadzah Aisyah panjang lebar. Ku resapi setiap kata demi kata. Seolah motivasi yang mengharuskan ku untuk berdiri dengan tegap dan membuka lembaran baru. Kuatlah, demi Citra. Hanya demi Citra! Gumamku dalam hati. Segera ku hapus air mata ini dan menganggukkan kepala, yakin untuk melangkah ke masa depan.
Ustadzah Aisyah tersenyum bangga, sambil menepuk pundakku pelan.
🌾🌾🌾🌾



Bình Luận Sách (20)

  • avatar
    atiqahnurul ainaa

    Reality kehidupan

    02/07

      0
  • avatar
    Pasariburidwan

    👍👍

    24/11/2022

      0
  • avatar
    Iqbal Faizz

    baguss

    12/07/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất