logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Kinan Menolak di Usir.

Kinan mundur menjauhiku, takut melihat amarah yang membara dari sinar mataku.
Segera Aku meminta ijin pada Ibu untuk mengurus administrasi pemulangan jenazah Ayah. Setelah semua selesai, segera ku ajak Ibu ke depan ruang UGD untuk menunggu ambulans yang membawa jenazah Ayah datang dan ikut pulang bersamanya.
Kinan masih berjalan mengikutiku dan Ibu. Dia hanya menunduk dan diam tanpa mengucap satu patah katapun.
Aku dan Ibu duduk di samping peti jenazah Ayah, sedangkan Kinan duduk di kursi depan samping sopir. Saat mengurus administrasi tadi, ku sempatkan menelepon pengurus RT tempat Kami tinggal, agar di bantu proses pemakaman jenazah Ayah.
Setiba di depan rumah, tenda telah terpasang, dengan kursi berjajar rapi di bawahnya. Banyak warga yang telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir pada Ayah.
Bersyukur proses pemakaman berjalan lancar. Warga mulai pamit pulang dan akan datang lagi malam hari untuk membantu acara tahlilan bersama. Ibu telah masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Sekilas kulihat Kinan, masih duduk di atas tikar dengan wajah tertunduk sedang memainkan ponselnya.
"Pergilah! Hadirmu tak di harapkan di sini!" Usirku dengan nada ketus. Kinan mendongakkan wajahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Setelah Kau nikmati kehormatan ku, dengan santainya Kamu mengusirku?" tanyanya yang membuat bibir ini tercekat tak mampu mengucap kata. Ku tinggalkan dia sendiri di ruang tamu, kemudian masuk ke dalam kamarku.
Entah berapa lama diri ini terlelap, terdengar suara Ibu dan beberapa warga ramai di dapur menyiapkan makanan untuk sajian warga yang tahlilan nanti bakda isya.
Saat Aku keluar kamar, Kinan masih pada posisinya saat ku tinggalkan tadi. Banyak warga yang menanyakan hadirnya, tapi Ibu enggan menjawab dan hanya mendiamkannya.
"Masuklah ke kamarku, dan istirahalah di sana!" ajakku, tanpa menjawab Kinan. segera bangkit dan masuk ke dalam kamarku. Kulihat dia merebahkan tubuhnya di atas kasurku dan tak lama kemudian matanya telah terpejam.
Acara tahlilan berjalan lancar, Kembali warga mengucapkan bela sungkawa dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Aku dan Ibu, yang duduk termenung di ruang tamu yang di gelari tikar.
"Setelah Ayahmu tiada, barulah terasa betapa sepinya rumah ini!" celetuk Ibu lirih yang ku jawab dengan anggukan kepala.
"Kedepannya Jaya akan lebih giat lagi bekerja, Bu. Sepulang dari fotokopian, Jaya akan ngojek untuk cari tambahan agar mencukupi kebutuhan rumah kita." Ujarku yang di sambut anggukan kepala oleh Ibu.
"Kinan mana, Nak?" tanya Ibu, padaku. Ku tepuk jidat, saat teringat akan Kinan yang mungkin masih tidur di kamar. Benar saja, kulihat dia masih meringkuk di atas kasur. Segera ku ambil air dalam gelas dan membawanya ke kamar.
BYUR.
"Aaaagh, setan! Apa yang Kamu lakukan Jay?" tanyanya dengan wajah yang mulai memerah karena menahan amarahnya saat wajahnya ku siram air.
"Ini sudah malam, dan Kamu masih ada di sini? Pergi sekarang juga!" usirku dengan suara keras, tapi kulihat tak ada raut takut dari wajah Kinan.
Ibu berdiri di ambang pintu, menegurku, "Jangan kasar pada wanita, Nak! Perlakukan Dia sebagaimana Kamu menghormati Ibu!" ujar Ibu menasehatiku. Kemudian ku dekati Kinan dan meminta maaf padanya.
Ibu meminta Kinan untuk membersihkan diri dan menganti pakaiannya. Setelahnya Kami berkumpul di ruang tamu untuk mencari solusi dari masalah yang tengah Kami hadapi.
Kami bertiga duduk lesehan di atas tikar. Secangkir teh manis dan beberapa kue menjadi suguhan.
"Apa rencanamu kedepannya, Nak?" tanya Ibu pada Kinan.
"Aku akan ikut Jaya, Bu!" ujarnya membuat mataku mendelik.
"Apa maksudmu, ikut dengan ku?" tanyaku dengan nada tinggi.
"Kamu sudah mencicipi tubuhku, sudah selayaknya Kamu bertanggung jawab atasku!" bentaknya dengan nada tinggi pula. Ibu mengelus dada dan berulang kali mengucap istighfar.
"Astaghfirullah, Nak. Bertaubatlah Kalian berdua. Bagaimana denganmu Jay?" tanya Ibu padaku.
"Baiklah Bu, sebagai bentuk tanggung jawabku, Aku akan menikahi Kinan." Ujarku lirih sambil menundukkan wajah.
"Benar kan, apa kataku. Kamu pasti jatuh ke tanganku!" ucap Kinan cengengesan.
"Semoga Kamu tak menyesal dengan apa yang sudah Kau lakukan. Ambisimu ini mencelakai banyak orang!" cercaku dengan menatap sinis padanya.
"Aku sudah mengorbankan nama keluarga ku, dan melepasnya. Tak seharusnya Kamu bicara seperti itu padaku!" ketusnya membuatku geram.
"Sudahlah, jangan bertengkar. Ibu akan lapor RT dan meminta bantuan untuk menikahkan kalian malam ini juga!" ujar Ibu seraya bangkit dari duduknya.
"Apa? Harus malam ini juga, Bu?" tanyaku syok.
"Mau, Kamu di gerebek warga kalau Kinan menginap di sini!" ujar Ibu membuatku tercekat.
"Puas Kamu!" ketusku tapi tak membuat Kinan takut, malah seolah menantang ku. Berulang kali ku ucap istighfar, memohon kekuatan pada Allah agar bisa membimbing istri seperti Kinan.
Tak berapa lama, datanglah ketua RT, ketua RW dan pak ustadz untuk menikahkan ku dengan Kinan. Sebagai wali nikahnya Kinan menelepon Pak Hartawan dan melimpahkan kewenangannya pada Pak Ustadz.
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA KINANTI KUSUMA BINTI HARTAWAN KUSUMA, DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DI BAYAR TUNAI!" lafal ku dengan lancar. Serempak semua orang yang ada ruang tamu rumahku berucap kata SAH.
Inilah, awal rumah tangga yang ku jalani bersama Kinan. Suka duka, Kami jalani bersama. Walau Kinan sering memperlakukan Ibu tak semestinya, tapi Ibu berusaha memaklumi. Kinan terlahir di keluarga yang berkecukupan, Dia senantiasa di manja dan tak pernah hidup dalam kesusahan.
Setahun kemudian lahirlah seorang putri yang Kami beri nama Citra Kirana. Kehadirannya meramaikan rumah ini.Aku selalu berusaha membantu Ibu melakukan pekerjaan rumah di sela-sela waktu luang ku mencari nafkah. Karena yang ku tahu Kinan tak akan mau mengerjakannya.
Setelah Citra lahir, Kinan memutuskan untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Ijazahnya di tahan oleh keluarga Kusuma, sehingga Dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Paling tidak Kinan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dari gajinya setiap bulan.
Ku akui gajiku di tempat fotokopi sangatlah kecil hanya satu juta rupiah perbulan, oleh karena itu setiap pulang kerja, ku sempatkan ngojek untuk mencari tambahan penghasilan. Berharap bisa menutup kekurangan uang belanja yang ku berikan pada Kinan.
Ternyata setelah lima tahun menjalani rumah tangga, baru ku ketahui jika Kinan telah berbuat dzolim pada Ibu. Hingga Ibu ikut bekerja sebagai buruh cuci di rumah ustadzah Aisyah agar bisa menambah uang belanja yang hanya di berikan oleh Kinan, enam ratus ribu saja setiap bulannya. Ku sesali perlakuan Kinan pada Ibu hingga sore tadi baru terbuka semua hal yang di sembunyikan Kinan selama ini.
Berkali-kali ku susut air mata yang mengalir membasahi pipi. Ku tatap wajah cantik Kinan yang tertidur pulas di sampingku. Ku rasa batas ambisimu sudah mencapai puncaknya. Aku akan bersiap jika Kamu harus pergi meninggalkan Kami. Gumamku dalam hati.
🌾🌾🌾🌾



Bình Luận Sách (20)

  • avatar
    atiqahnurul ainaa

    Reality kehidupan

    02/07

      0
  • avatar
    Pasariburidwan

    👍👍

    24/11/2022

      0
  • avatar
    Iqbal Faizz

    baguss

    12/07/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất