logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 13 Es Krim

Aku mengambil botol sambal dari dalam kulkas.
"Kenapa bawa sambal, Hasna? Itu sambal baru kubuat tadi pagi, buat persediaan."
"Buat mengoles bibir mereka. Besok aku buatkan lagi," sahutku, setengah berlari menuju pintu keluar.
"Hasna, tunggu!" Lenni berlari menyusulku, nafasnya terengah-engah--kedua tangannya bertumpu di lutut.
"Mau ikut?"
"Hiss, siapa yang mau ikut," jawab Lenni. "Jangan melakukan hal bodoh, bagaimana kalau kamu dituntut karena melakukan tindakan tidak menyenangkan? Mereka orang berduit."
"Aku tidak takut," tandasku.
"Hasna, tunggu di situ ...." Lenni masuk ke dalam rumah, selang beberapa saat dia kembali. "Ini kunci motor dan jaketnya."
Aku menepuk jidat sendiri. Lenni hafal di mana aku menaruh kunci--pada gantungan baju belakang pintu.
"Oh, ya, Hasna ... sambal itu sangat pedas level seratus, Pak Aksara suka sekali sambal super pedas. Gunakan sedikit saja."
"Aku tidak janji." Aku tertawa kecil sembari menyalakan mesin motor.
.
Kalau menuju restoran tempat wawancara mungkin sudah bubar ketika aku sampai, jadi aku mengarahkan sepeda motor ke rumah Nyonya berambut sasak.
Aku menekan bel pintu. Seorang ART yang masih muda tersenyum menyambutku.
"Apa Bu Rosie dan Soraya ada?" tanyaku.
"Ada, baru saja pul ...."
Aku mendorong tubuh si ART, masuk ke dalam rumah yang tampak sepi. "Soraya!"
"Tolong, Ibu yang sopan." Si ART menghalangi langkahku.
"Soraya!" teriakku.
"Mama?" Amanda muncul dari dapur, tangannya memegang segelas air putih. "Mama, mau apa?"
"Di mana Mama Soraya-mu? Soraya!"
Sang super model terlihat menuruni anak tangga dengan senyum sinis. Di belakangnya tampak Bu Rosie yang memakai masker wajah. Mereka tampak santai setelah apa yang mereka lakukan padaku.
"Mau apa ke sini?" tanya Soraya, semakin mendekati ujung anak tangga bawah. "Aku tahu, pasti soal berita mengenai dirimu. Selamat wajahmu muncul di televisi."
"Terima kasih." Kali ini aku mendorong keras tubuh si ART ke samping, merangsek cepat ke arah Soraya. Memenuhi telapak tanganku dengan sambal. Dan ....
"Argghhhh!" jerit Soraya, dia pasti tidak menyangka aku menampol mulutnya dengan sambal. "Hah!"
"Mama Soraya!" seru Amanda berlari ke arah Soraya.
"Gila kamu, Hasna!" pekik Bu Rosie.
"Sekarang giliranmu, Bu Rosie." Aku mendekati Bu Rosie, dia tampak panik lalu jatuh terduduk di lantai. "Lain kali bukan sambal yang melayang di mulutmu ...!"
Aku merunduk, mengusap rambut Bu Rosie dengan sisa sambal. Perempuan tua itu menatapku dengan sorot mata ketakutan. Sementara jemarinya sibuk mengeluarkan sambal dari dalam mulutnya.
Kemudian aku berdiri tegak, dan mengangkat daguku. "Aku tidak akan tinggal diam jika kalian berulah lagi. Selamat malam."
"Ada apa ini?" Mandala yang baru pulang, bertanya heran.
"Mama menyerang Oma Rosie dan Mama Soraya dengan sambal pedas, kasihan mereka, Pa ...." adu Amanda.
"Yang dikatakan Non Manda benar, Pak. Wanita itu sudah gila," sambung si ART--memberikan susu kotak pada Soraya dan Bu Rosie sebagai penawar rasa pedas.
Aku mengelap tanganku di kemeja Mandala sambil berkata, "Karena mereka sudah melebihi batas. Apa kau sudah melihat berita tentang istrimu yang menuduhku sebagai pelakor? Dan Ibumu tercinta juga menuduhku telah merusak hubungan Garneta. Tolong, kendalikan mereka berdua."
Mandala mengeluarkan ponselnya, untuk beberapa menit dia fokus pada layar ponsel. "Apa yang telah kalian lakukan!?"
"Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga kita." Soraya membela diri.
"Mempertahankan? Dengan cara memfitnah orang lain?!" Suara Mandala menggema keras.
"Kamu kok malah membela Hasna?!" protes Bu Rosie. "Dia menyerang kami dengan sambal yang super pedas ... hah ...."
"Kalian berdua pantas menerimanya," ucap Mandala.
"Mandala!" teriak Soraya.
"Aku pamit dulu ...." Aku berjalan keluar rumah, rasanya puas sekali. Aku tidak peduli drama gila di antara Soraya, Mandala dan Bu Rosie.
***
Aku sedang mengelap meja ruang keluarga ketika Pak Aksara dan Garneta pulang. Garneta menggamit lengan Pak Aksara, wajah perempuan itu sangat bahagia. Hari ini Pak Aksara pulang lebih cepat dan mengantar Garneta periksa ke dokter kandungan.
"Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Akan ada bayi di rumah ini," ucap Garneta.
Edlyn tidak mengalihkan mata dari buku yang dibacanya. "Aku benci bayi, apalagi bayi di dalam kandunganmu."
"Kita akan menjadi keluarga yang bahagia," lanjut Garneta, matanya memandangku penuh kemenangan. Kepalanya bersandar di bahu Pak Aksara.
"Hasna, tolong panggil semua pegawai. Aku ingin memberitahu kabar bahagia ini," perintah Pak Aksara.
"Baik, Pak," sahutku. Sebenarnya apa yang direncanakan Pak Aksara? Berita mengenai dirinya telah menikah dengan Garneta sudah menyebar karena ulah Bu Rosie.
Aku memanggil semua pekerja di rumah ini, ada Lenni, Pak Wirjo, Roni dan Pak Heri--satpam rumah. Kami berlima berdiri berderet di hadapan majikan.
"Aku ingin memberitahu pada kalian semua, kalau istriku sedang hamil," kata Pak Aksara.
"Hadeh, Papa lebay deh ...." desis Edlyn tidak suka.
"Selamat ya, Pak Aksara dan Nyonya Garneta," ucap Lenni.
"Sayangnya bukan aku Ayah bayi dalam kandungan istriku." Pak Aksara melepaskan tangan Garneta. "Sini, Roni. Cepat!"
Wajah Garneta berubah pucat. Roni berjalan pelan mendekati Pak Aksara, kepalanya tertunduk dalam.
"Roni Ayah bayi yang sekarang di kandung Garneta. Selamat untuk kalian berdua." Pak Aksara mendorong tubuh Garneta hingga berdiri di dekat Roni.
"Ini anak kita, Aksara!"
"Bukan!" teriak Pak Aksara. "Setiap malam kamu ke kamar Roni, bahkan di siang hari kalian masih lanjut di hotel. Wow, energi kalian berdua hebat sekali."
"Mana buktinya kalau aku selingkuh!?" tantang Garneta. "Kamu adalah Ayah bayi yang kukandung!"
"Aku punya rekaman CCTV. Rekaman kalian berciuman di ruang gym, satu bulan yang lalu. Rekaman kamu keluar masuk kamar Roni. Atau rekaman kalian saat di atas tempat tidur, aku juga punya. Mau aku tunjukkan di sini?" kata Pak Aksara. "Tapi, di ruangan ini ada anak kecil."
"Aku ya, anak kecilnya?" Edlyn menunjuk hidungnya sendiri.
"Pak Aksara, saya pernah melihat Roni dan Nyonya berpelukan di dalam mobil," ujar Pak Heri. "Maaf, baru sekarang saya memberitahu."
"Heh, jangan asal ngomong kamu Heri!" Garneta melempar Pak Heri dengan vas bunga.
"Maafkan saya, Pak. Saya khilaf, tapi Nyonya yang merayu terus. Sebagai lelaki, setiap hari disuguhi pemandangan indah, pasti tidak akan tahan ...." Roni mengakui.
"Pergi dari rumahku, Garneta!" usir Pak Aksara. "Jangan bawa apa pun, lepas anting, cincin dan juga sepatu yang kamu pakai."
Garneta bergeming.
"Roni, kamu aku pecat. Bawa Garneta pergi dari rumahku." Pak Aksara mengembuskan nafas pelan-pelan.
"Aku akan menyebarkan berita kalau kamu mengusir istri yang sedang hamil pada media," ancam Garneta.
"Dan aku akan menyebarkan video asusila kalian berdua," tegas Pak Aksara, dia mendekati Garneta. "Jangan membuat masalah denganku! Pergi!"
Sepertinya Garneta tidak mau pergi, dia masih berdiri tegak di tempatnya. Karena sudah kehilangan kesabaran Pak Aksara yang menyeret Garneta.
"Aksara, maafkan aku! Aku mohon!"
"Tidak ada maaf untuk pengkhianatan!"
Aku menghela nafas. "Bubar ... bubar ...." ucapku.
Lenni, Pak Wirjo, dan Pak Heri kembali ke pos masing-masing. Aku juga kembali melanjutkan bersih-bersih dan mengelap hiasan meja.
Pak Aksara berjalan melewatiku, lelaki itu menaiki anak tangga dengan cepat. Aku memandanginya sampai menghilang.
"Ehem." Edlyn berdeham.
Aku lupa kalau Edlyn masih duduk di sofa.
"Bu Hasna sebegitunya menatap Papa. Suka ya, sama papaku?"
"Aku tidak menyukai Papamu," bantahku.
"Papaku ganteng dan memesona."
"Aku tahu itu ... ganteng, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung," sahutku berkelakar.
Edlyn tertawa. "Ketika Bu Hasna mengatakan itu, mata Bu Hasna memancarkan kebahagiaan. Aku tahu, Bu Hasna menyukai Papa. Jangan diingkari."
Jangan mengingkari ... ucapan dari gadis remaja di depanku. Tahu apa dia tentang perasaanku?
***
[Mama, aku ingin makan es krim. Bagaimana kalau kita bertemu di kedai es krim yang dulu sering kita kunjungi?]
[Kalau bisa sekarang.]
Pesan dari Amanda setelah sekian lama sunyi. Aku menimang sebentar, baru menjawab, [Oke.]
Angin apa yang menggerakkan hati Amanda Sehingga ingin menemuiku? Semoga sesuatu yang baik.
"Len, aku minta izin keluar. Satu jam saja, Manda ingin bertemu denganku," ucapku.
"Lama juga tidak apa-apa, pergilah." Lenni menepuk bahuku.
Aku segera berangkat menuju kedai es krim. Amanda terlihat duduk di dekat jendela. Dia memakai kaus lengan panjang warna merah muda, dipadankan dengan rok lipit cokelat.
"Hei, Manda," sapaku, agak kaku.
"Aku sudah memesankan es krim untuk Mama, rasa cokelat dan stroberi favorit Mama." Senyum lebar tercetak di bibir Amanda.
"Terima kasih." Aku duduk di kursi, berhadapan dengan Amanda.
"Bagaimana kabar Mama?"
"Baik."
Sangat kaku sekali. Ada jarak yang sudah berkembang di antara aku dan Amanda.
"Papa sekarang tinggal di apartemen, Papa memutuskan bercerai dengan Mama Soraya dan sudah melayangkan gugatan perceraian," kata Amanda.
Aku menyuap satu sendok es krim ke dalam mulut.
"Mama, kenapa Mama tidak menikah saja dengan lelaki lain? Misal dengan Papanya Edlyn."
"Maksudmu apa?"
"Biar Papa tidak mengejar Mama. Kasihan Mama Soraya, dia mengurung diri di kamar terus," jawab Amanda. "Seharusnya Mama tidak berbuat barbar dengan menampol sambal pedas pada bibir Mama Soraya. Kasihan dia."
"Manda, Mama tidak akan pernah kembali pada Papamu walaupun dia sudah bercerai dari Soraya," tandasku. "Dan untuk sambal pedas, dia pantas menerimanya."
"Atau Mama menghilang dari kota ini ...."
Benar dugaanku, Amanda belum berubah.
"Atau menikah dengan Pak Aksara ... dia orang kaya, Mama tidak perlu bekerja lagi jika menikah dengannya. Hidup bakalan terjamin."
Aku menarik nafas.
"Jangan menjadi orang ketiga, Ma."
Jemariku memijat pelipis. "Hanya itu yang ingin kamu sampaikan?"
"Iya."
Aku bangkit dari kursi.
"Kalau Mama menikah dengan Pak Aksara aku tidak akan malu dengan kondisi Mama."
"Mama, pulang dulu, ya ...." pamitku, menahan mulut yang ingin berkata kasar. "Terima kasih untuk es krimnya."
"Oh, ya, aku akan membintangi iklan shampo dan meneken kontrak jadi pemain sinetron."
"Selamat, Manda."
"Siang ini aku ada pemotretan untuk iklan kaus remaja. Semua berkat Mama Soraya," ucap Amanda.
Aku meninggalkan Amanda dan semangkuk kecil es krim yang mulai mencair. Langit membiru sempurna, terik sinar matahari menusuk kulitku.
Sedang hatiku tertusuk oleh ucapan putriku sendiri. Entah tusukan yang ke berapa, nyatanya aku masih mampu menampung luka.
***
Dering ponsel berbunyi. Tanganku menggeragap ke bawah bantal, lalu ke atas nakas. Mataku memicing, panggilan dari Mandala. Hampir pukul dua dini hari.
"Halo?"
Sedetik kemudian, jantungku seolah berhenti berdetak. Mandala mengatakan Amanda mengalami kecelakaan. Luka parah. Lalu sederet alamat rumah sakit.
Amanda baik-baik saja.
Ya, dia pasti bisa bertahan.

Bình Luận Sách (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất