logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Rindu

Acara berdoa bersama di hari ke empat puluh wafatnya Ridwan, semua berjalan lancar. Fauzan pamit untuk berangkat mengaji. Ia tidak meminta Ningrum untuk mengantarnya. Karena ia sudah bertekad untuk tidak menyusahkan sang ibu.
"Zan. Besok jangan lupa bawa baju olahraga," ucap Agus saat kelima anak itu berjalan menyusuri jalan setapak menuju masjid.
"Wah, iya. Kita mulai besok harus latihan. Ada turnamen olah raga, kan? Kalian ikut bola voli atau futsal?" tanya Arif memastikan.
"Kalau aku sih, terserah kapten, haha," ucap Karvo sambil merangkul pundak Fauzan.
"Bukannya ditentukan oleh Pak Caca?" tanya Fauzan. Keempat temannya bergumam.
"Iya, sih. Tapi kita juga bisa milih. Kalau lompat jauh itu katanya Egi mau ikutan. Lompat tinggi, ada Rose. Tinggal kita berlima yang belum milih," terang Arip.
"Kamu mau ikut olahraga apa, Zan?" tanya Agus memastikan.
"Kalau kebagian, apa saja lah!" seru Fauzan. Ia memang tidak terpikirkan untuk ikut turnamen antar sekolah sekecamatan. Satu bulan terakhir pikirannya kacau dengan kepergian sang Ayah.
Setibanya kelima anak itu di masjid, mereka bergegas mengambil air Wudhu. Adzan maghrib pun berkumandang. Setelah selesai mengambil air wudhu, Fauzan memasuki masjid.
Ada hal yang hilang dari dirinya saat memasuki shaf makmum. Perih, rasa itu kembali hadir. Rindu pada yang sudah tidak bisa ditemui begitu berat. Fauzan duduk di atas sajadah menunggu iqomat. Dadanya terasa sesak, matanya mulai memanas. Ia harus kuat, tidak boleh meneteskan air mata.
Saat sesak itu semakin memeluknya erat. Matanya tak mampu membendung air mata. Fauzan menghela napas panjang. Bibir kecilnya bergumam, kalimat doa terucap untuk orang yang paling dirindukan saat ini.
"Ayah," lirih Fauzan sambil berusaha berdiri. Shaf makmum sudah terisi penuh oleh anak-anak yang datang ke masjid.
Sekelebat bayangan sosok yang dirindukan hadir. Membuat Fauzan menoleh ke arah kanannya. Di sana, bukan lagi sosok ayahnya yang berdiri menemani Fauzan shalat maghrib berjamaah, melainkan sosok Agus, teman karibnya.
Agus tersenyum, membuat Fauzan kembali fokus pada hamparan sajadah. Niat shalat berjamaah diucapkan dengan lirih.
Selesainya shalat berjamaah, kegiatan mengaji pun dimulai. Lagi, Fauzan menghela napas panjang. Nyatanya waktu belum menyembuhkan luka. Rindu itu semakin menggunung. Setelah kepergian Ridwan, begitulah hari-hari yang Fauzan lalui.
Kenangan demi kenangan hadir menggerogoti rasa. Saat tak kuat, Fauzan seringkali pamit untuk sekadar mengambil wudhu. Seperti saat ini, ia sudah tak kuasa menahan air matanya saat ingatan tentang ayahnya yang tersenyum. Senyum yang menyemangati Fauzan untuk semangat belajar mengaji. Sosok ayah yang tak bisa ia temui lagi, yang selalu menunggu sambil berdzikir di sudut masjid.
"Pak Ustaz, aku pamit dulu ambil air wudhu," ucap Fauzan dengan suara paraunya. Ustad Yoyo pun mengangguk untuk mengizinkan Fauzan pergi.
Agus dan Karvo hanya bisa menatapnya dengan tatapan kasihan. Keempat temannya itu sudah berusaha menghibur. Namun, semuanya tidak mempan.
Kasak kusuk terdengar dari bibir teman mengajinya selama Fauzan mengambil wudhu. Ya, semua orang tahu. Ridwan adalah sosok ayah yang langka. Sangat menyayangi Fauzan. Orang yang tegas dengan lemah lembutnya. Begitulah sosok Ridwan, sehingga Fauzan tidak mudah melupakan ayahnya. Yang pasti, bagi Fauzan, Ridwan adalah cinta pertamanya. Orang pertama yang mengenalkan sisi indah dunia.
Setelah kembali dari mengambil wudhu. Ustaz Yoyo segera meminta Fauzan untuk mengaji, karena kini adalah gilirannya.
Anak itu membaca Al-qur'an dengan lantang dan takzim. Teman-teman yang mendengarnya kembali terbius suara merdunya.
Selesai satu orang membaca Al-qur'an, ustaz Yoyo kembali menerangkan hukum bacaan dalam Al-Qur'an. Begitulah seterusnya untuk mengingatkan muridnya.
"Nun mati menghadapi huruf Fa, qof, kaf, itu termasuk ikhfa. Harus dibaca berdengung. Jangan tertukar dengan idhar, ya. Coba Agus, ulangi lagi bacaanmu!" titahnya. Agus pun mengulangi bacaan Al-Qur'an-nya.
Fauzan dan keempat temannya sudah di tahap 'narabas' sementara anak-anak yang berusia lima tahun sampai tujuh tahun ada yang yang masih 'mengeja' atau baca iqro' satu sampai iqro' tiga. Mengajar anak-anak yang masih mengeja atau baca iqro' satu, selain Ustaz Yoyo biasanya dibantu oleh mereka yang sudah 'narabas'.
Memasuki waktu Isya', giliran Karvo yang mengumandangkan azan. Semua murid sudah bersiap duduk di shaf-nya sambil mendengarkan kalimat adzan.
Selesai shalat Isya' berjamaah, Fauzan bersama keempat temannya pulang bersama. Hari ini adalah kedua kalinya ia berangkat dan pulang bersama teman-temannya. Sebelumnya selalu ditemani Ningrum. Namun, Fauzan sudah bertekad untuk tidak menyusahkan ibunya lagi.
"Udah ngerjain PR, belum?" tanya Karvo tiba-tiba.
"Eh iya, ada PR matematika," timpal Ijon sambil menepuk keningnya.
"Yuk, lari. Keburu ngantuk, nih!" Seru Karvo. Kelima anak itu pun berlomba-lomba untuk segera sampai di rumah mereka masing-masing.
Sesampainya di depan rumah Fauzan, Karvo dan dirinya berpisah. Fauzan membuka pintu seraya mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam," jawab Ningrum dari arah dapur.
"Ibu beli semangka?"
"Iya, itu sisa tadi siang," jawab Ningrum.
"Ibu beli banyak?" tanya Fauzan sambil berjalan menuju dapur.
"Dikasih, Nak. Makan dulu kalau mau semangka."
"Iya," jawab Fauzan. Setelah mencium tangan ibunya, Fauzan bergegas menuju kamarnya untuk menyimpan sarung dan Al-Qur'an. Lalu, ia kembali ke dapur.
"Ada PR," ucap Fauzan sambil mengalas nasi.
"Nanti ibu bantu," ucap Ningrum sambil membereskan piring dari baskom ke rak kayu.
"Kalau aku ikutan turnamen, boleh, nggak, Bu?" tanya Fauzan sebelum sesuap nasi masuk ke mulutnya.
"Boleh. Kapan?"
"Bulan depan, Bu. Tapi mulai besok, aku pulangnya sore."
"Ya, nggak apa-apa," jawab Ningrum dengan ringannya.
Fauzan mengangguk. Ia pikir, jika ayahnya masih ada, pasti ayahnya akan mendukung penuh. Kembali Fauzan menghela napas panjang.
Selesai makan, Fauzan mengambil buku tugasnya. Ia mengerjakan tugas di dapur sambil menemani ibunya beres-beres.
"Ini hitung lagi yang benar!" titah Ibunya saat memeriksa tugas yang dikerjakan Fauzan.
"Memangnya salah, ya, Bu?"
"Coba hitung lagi aja, yang teliti kalau soal bagi kurung."
Fauzan mengambil penghapus, lalu ia menghitung ulang. Benar ternyata, Fauzan sudah salah menghitung.
"Kan, ibu bilang juga apa. Tidak mungkin hasilnya segitu." Keduanya tertawa kecil, tawa yang baru kali ini menghiasi wajah mereka.
Selesai mengerjakan tugas, barulah Fauzan pamit untuk tidur.
"Katanya mau semangka?" tanya Ningrum saat Fauzan membuka pintu kamarnya.
Fauzan menoleh ke arah nampan yag berisi satu butir utuh buah semangka. "Besok saja, Bu," ucapnya. Lalu ia menutup pintu kamar.
Meski tidak diberitahu oleh ibunya. Fauzan sudah menerka, siapa lagi orang yang memberi tanpa pamrih itu? Seseorang yang mampu membuat Fauzan cemburu. Namun, apa yang bisa ia lakukan. Marah? Ia merasa hal itu hanya akan sia-sia saja.

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    wahidahnrfarhana

    best, tapi tergantung

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    👍👍👍

    28d

      0
  • avatar

    sangat baguss ceritanyaa

    25/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất