logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

5. SEPOTONG AYAM

Ting klenting Ting!
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya, sampai dua tubuh manusia yang duduk di atas lantai dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh, terlihat. 
Tidak, bahkan ibu dan anak yang duduk di atas lantai dingin itu, harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa begitu antusias menceritakan seberapa beruntung sahabatnya karena memiliki menantu kaya raya, selesai makan.
"Beruntung sahabatku memiliki menantu yang bisa memanjakan dan membelikan dia banyak barang. Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban." 
Menohok? Ya, tentu saja. Namun, itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suami sang pemilik rumah, juga dua putra putri mereka dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi, sindiran macam itu bukanlah hal besar lagi.
"Tentu saja, Mom," jawab Catlyn yang matanya melihat Rei dan Cyntia yang duduk di atas ubin dingin. Duduk menunggu orang-orang yang sedang mengitari meja makan selesai menyantap apapun yang ingin mereka makan.
"Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri, lalu jadi benalu dan beban," tambahnya melirik tajam dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin.
Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita, matanya menatap ke sana ke mari dan jadi diam saat tangan sang mommy menggenggam tangannya erat dengan senyum.
Rei tak mengerti, tidak paham, tak memahami, jika wanita yang sedang tersenyum menenangkan rasa laparnya itu sedang mencari ketenangan diri. 
Tapi, sampai kapan? Sampai kapan ia sendiri yang akan mencari ketenangan yang rasanya makin sulit ia dapat.
Iya, sekarang Rei masih kecil. Putranya ini masih belum memahami untaian kalimat menyesakkan yang bahkan terasa lebih menyakitkan jika diucapkan oleh orang-orang yang dianggap keluarga. 
Tapi, Rei tidak akan selamanya menjadi bocah kecil yang senyum lebar nan polosnya bisa mengenyahkan rasa sesak yang Cyntia rasakan. Rei akan tumbuh seiring hari berlalu. 
Wajah Cyntia jadi pucat saat membayangkan senyum Rei mungkin tidak akan lebar lagi jika putra kecilnya ini sudah mengerti arti pembicaraan yang setiap hari terdengar dan sengaja diperdengarkan. Baik oleh ibu mertua ataupun adik iparnya.
Kalimat-kalimat menohok yang penuh sindiran padanya yang hanya bisa diam tidak membalas apapun.
Bagaimana saat usia Rei bertambah?
Bahkan sekarang, putranya sudah ingin mengetahui segala hal. Rei sering menanyakan apa yang ia dengar, apa yang ia saksikan, apa yang ia hadapi dengan otaknya yang masih akan terus berkembang.
Usia Rei akan makin bertambah sepanjang hari dan itu membuat Cyntia makin menggenggam erat tangan kecil bocah lelaki yang menunggu keluarganya selesai makan agar ia bisa memakan apapun yang tersisa di atas meja. 
Di atas meja yang rasanya begitu tinggi, meski tangan Rei makin bisa menggapai tanpa harus menjinjitkan kakinya yang kecil. Tapi, Rei yang masih kecil ini tahu, meja dan kursi yang tak pernah ia rasakan seperti apa rasanya itu bukanlah tempatnya.
Meskipun di sana ayahnya, omanya, opanya, tantenya duduk menikmati masakan sang mommy, bersama wanita yang memandangnya dengan tak ramah.
Sementara, ia dan mommy harus duduk di atas lantai dingin setiap waktu dan baru makan saat semua orang sudah meninggalkan meja makan.
Itu hanya satu dari banyaknya hal yang sudah Rei pahami betul-betul dalam rumah yang membuat mommy bergerak sepanjang waktu. Bangun lebih dulu dibandingkan yang lain juga tidur saat semua orang sudah terlelap.
"Kenapa hanya ada 11 potong ayam?" tanya pemilik rumah setelah menghitung makanan yang membuat semua mata tertuju pada Cyntia. 
Bisa seperhitungan apa wanita paruh baya itu tentang makanan? Tidak ada yang bisa mengukur. 
"Ayolah, Mom. Itu hanya potongan ayam," ucap kepala keluarga dalam rumah yang tatapannya membuat Cynthia tak nyaman. Bahkan lebih tak nyaman dari tatapan menuduh pemilik rumah yang tajam menatapi dirinya dan Rei. 
"Hanya? Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang mengeluarkan uang untuk potongan ayam sialan itu!" seru pemilik rumah yang membuat Hans membanting sendok di genggaman tangannya.
Cyntia yang bisa merasakan hal buruk akan terjadi langsung menyiapkan diri saat Hans berdiri dan langsung menghampirinya.
Tanpa bas-basi tangan Hans langsung terjulur untuk menjambak rambut Cynthia yang hanya bisa meringis berusaha menahan rasa sakit dan panas dikulit rambutnya yang mungkin tercabut beberapa. 
"Aku tidak tahu, Hans, sungguh," ucap Cyntia berharap suaranya tidak bergetar karena Rei mendengar, "kamu pikir aku akan duduk di sini jika aku sudah memakan potongan ayam yang hilang itu?" ucapnya memegangi lengan Hans yang semakin kuat menarik rambutnya.
"Kalau bukan kau siapa lagi yang mengambilnya, Cynthia? Kucing? Atau anakmu yang tampak kenyang itu?" ucap Barbara-mertuanya, membuat Cynthia melepaskan pegangan tangannya dari lengan Hans yang menarik rambutnya kasar lalu memeluk Rei yang terlihat ketakutan dan memanggilnya dengan suara pelan, "m-mommy?"
Cyntia memeluk Rei erat. Tak perduli jika seluruh rambut yang digenggam Hans kasar, terlepas dari kulit kepalanya yang semakin panas.
"Jika aku dan anakku sudah kenyang, aku tak akan duduk di atas lantai rumahmu yang nyaman ini, Ibu." 
Plakk!!
Tidak hanya kulit kepalanya yang merasa panas menusuk kini, pipinya pun merasakan hal sama meskipun rasa sakit itu berasal dari tangan berbeda.
"Sudah berani menjawab kau kini?"
Plakk!
Tamparan keras itu, terdengar lagi. Mendarat begitu telak pada dua pipi Cynthia yang memeluk tubuh Rei dengan tangan menutupi telinga bocah yang menyembunyikan wajahnya begitu dalam dan memegang erat-erat baju sang mommy, wanita yang diam saja berusaha untuk tak bersuara, mendapati pipinya ditampari sesuka hati si pemilik rumah yang kehilangan satu potongan ayam.  
"Kau benar-benar benalu tidak tahu diri!" Ucap Barbara diantara tamparan tangannya yang sepenuh hati. Tidak ada seorang menghentikannya, mereka hanya melihat bahkan Catlyn terlihat begitu terhibur begitupula wanita berambut pirang yang duduk dengan nyaman. Memperhatikan Cyntia pipinya memerah namun tak mengeluarkan keluhan ataupun protes sama sekali.
Cyntia yang bisa merasakan kedua pipinya membengkak, berharap Rei dalam pelukannya tak melihat kekerasan yang sengaja Barbara pertontonkan. Sekalipun telinga kecil Rei bisa mendengar keributan yang sering kali terjadi hanya karena sepotong daging ataupun ayam yang jumlahnya kurang dari piring saji. 
"Kembali keruanganmu, Pencuri! Tak akan ada makan malam untukmu dan putramu malam ini!" teriak si pemilik rumah yang nafasnya naik turun dengan telapak tangan panas. Setidaknya, emosinya hari ini sudah tersalurkan pada satu-satunya sumber kemalangan keluarganya. 
"Anjing liar bahkan lebih pantas memakan nasi ini dibandingkan dirimu dan anak sialanmu ini!" 

Bình Luận Sách (63)

  • avatar
    WarningsihPuji

    24569

    3d

      0
  • avatar
    EfendiErpan

    novel gratis download

    19/08

      0
  • avatar
    Ayu Setia Ningsih

    SERU

    18/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất