logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Tak Sabar Bertemu Yuna

Beno menuruni tangga dengan bersenandung, wajahnya ceria. Jari besarnya usil mengacak rambut Deana, adik sepupunya, yang sedang mengunyah roti bakar.
“Bang! Jangan jahil, deh!” teriak Deana sambil merapikan rambutnya. Beno terkekeh, lalu menarik kursi di samping Deana.
“Pagi-pagi jangan jahil, Ben. Kamu mau sarapan sama apa? Roti atau nasi goreng?” tawar Tante Nina, adik bungsu papa Beno.
Setelah Beno bekerja di kantor Om Rudi, suami Tante Nina, dia tinggal di rumah mereka. Selain ingin lebih dekat dengan keluarga, Beno pun ingin menjauhi pengaruh buruk dari lingkungan kostnya yang dulu. Tempat kost Beno adalah kawasan kost-kostan mahasiswa yang terkenal bebas. Hampir tak ada aturan di sana, cocok untuknya yang dulu berkelakuan bebas. Namun, setelah berhubungan dengan Yuna dan ingin mengubah kelakuan buruknya, Beno harus keluar dari sana. Untunglah om dan tantenya menawarkan untuk tinggal bersama mereka.
“Nasi goreng aja, Tan. Biar kenyangnya awet.”
Tante Mia menyiapkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telor mata sapi dan ayam goreng. Beno sarapan dengan sangat lahap. Masakan Tante Nina adalah yang terbaik di dunia setelah masakan mama, versi Beno.
“Wajah kamu ceria banget, ada berita apa?” tanya Om Rudi. Beno tersenyum, rupanya Om Rudi sangat peka.
“Hari ini Yuna pulang, Om” jawab Beno sambil tersipu. Om Rudi menggeleng melihat wajah Beno yang tersipu hanya karena menyebut nama Yuna.
“Oh, pantesan, hari ini banyak senyum, nggak kayak kemarin cemberut terus!” ujar Deana.
“Iya, dong, kan mau ketemu ayang bebeb,” sahut Beno.
“Jadi hari ini kamu nggak ke kantor?” tanya Om Rudi. Beno mengangguk singkat, sebelum meneguk segelas air putih.
“Enak banget nggak masuk kantor. Jangan lupa potong gajinya, Pih,” ucap Tante Nina, sengaja menggoda Beno.
“Setuju! Potong aja gajinya Abang, Pih, masa sering banget bolos kerja,” timpal Deana.
“Nggak papa, yang penting hari ini aku mau nge-charge energi dulu,” sahut Beno dengan wajah berbinar. Deana menjulurkan lidah, meledek kakak sepupunya.
“Iya, deh, iya, yang mau ketemu pacar. Awas! Jangan melebihi batas ya pacarannya,” pesan Tante Nina, Beno mengangguk singkat. Keluarganya tidak tahu pergaulan Beno telah rusak dari beberapa tahun yang lalu. Andai mereka tahu, pasti Beno akan dibawa ke pondok pesantren, disuruh bertaubat dan mendalami ilmu agama.
“Teh Yuna itu aslinya nggak terlalu cantik, ya,” ujar Deana tiba-tiba. Perkataannya itu sontak membuat Beno melotot.
“Kalem atuh, Bang, aku belum selesai ngomong,” sungut Deana melihat alis Beno yang telah menyatu.
“Emang nggak terlalu cantik, masih kalah cantik dibandingkan sama Rika. Dia ada turunan bule 'kan?” timpal Tante Nina, makin membuat Beno kesal.
“Apaan, sih! Pagi-pagi udah bikin kesel!” omel Beno. Deana dan maminya terkikik melihat wajah kesal Beno.
“Loh, emang bener ‘kan?” goda Tante Nina.
“Iya, tapi Yuna itu nggak bikin bosen orang mandangin dia. Ditambah bawaannya yang kalem dan lembut, makin betah deket-deket sama dia. Bener nggak, Ben?” Om Rudi berusaha menengahi kericuhan di meja makan.
“Iya, bener, Om. Semakin dipandang, Yuna itu semakin cantik,” sahut Beno, kembali wajahnya memerah tersipu. Om Rudi dan Tante Nina terkekeh geli melihat keponakannya yang sedang dimabuk cinta itu.
“Ish! Bucin banget, sih, Abang gue! Eh, Abang aku.” Deana meralat ucapannya, kedua orangtuanya kurang suka jika dia memakai kata gue-elo. Padahal darah betawi mengalir dari maminya.
“Yee ... suka-suka, dong. Lagian bucin sama calon istri sendiri ya sah-sah aja. Iya enggak, Om?” Beno meminta dukungan dari lelaki yang dianggap pengganti papa di kota kembang ini.
“Iya, nggak papa. Tapi saran, Om. Kalau belum resmi jadi istri, jangan terlalu bucin. Kadarnya dikurangi dulu, nanti kalau sudah sah, baru dipenuhin tuh kadar kebucinannya,” jawab Om Rudi.
“Iya, kan belum tentu Yuna jadi istri kamu, Ben,” ucap Tante Nina. Beno terdiam, lagi-lagi perasaan tak enak datang menghampirinya. Ada rasa takut kehilangan Yuna yang tiba-tiba muncul dalam waktu sepekan ini. Beno berusaha menapik rasa takut itu, tetapi sia-sia. Mungkin setelah bertemu Yuna nanti siang, ketakutannya itu hilang.
“Kalau jodoh nggak akan ke mana. Santai aja, dong, mukanya,” ledek Deana. Beno mencebik, lalu membawa piring kotornya ke dapur dan mencucinya. Selesai mencuci bekas makannya, Beno kembali ke ruang makan.
“Pih, Mih, aku berangkat dulu, ya.” Deana bangkit, merapikan seragam SMA sebentar sebelum mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
“Hati-hati di jalan, belajar yang rajin, ya,” ucap Tante Mia. Om Rudi hanya mencium pipi Deana tanpa banyak bicara. Kemudian Deana melangkah menuju teras depan.
“Mau Abang anter, nggak?” tawar Beno, mengikuti langkah Deana.
“Emang Abang ketemuan sama Teh Yuna jam berapa?” tanya Deana sambil memakai sepatunya. Beno duduk di samping gadis berkucir kuda.
“Dia baru jalan dari Cirebon ba'da Subuh tadi,” jawab Beno. Deana terkikik.
“Kenapa elo ketawa?” Beno bangkit setelah melihat Deana selesai memakai sepatunya.
“Lucu aja lihat Abang jadi religius gini. Ba'da Subuh, biasanya juga ngomongnya abis Subuh,” ledek Deana.
Beno menjitak kening Deana, “Abang belajar jadi bener malah diketawain! Mau dianterin nggak, nih?”
“Mau dong ... Abang, kalau putus sama Teh Yuna bilang, ya.” Beno menghentikan langkahnya, tangannya yang telah memegang helm pun diam menggantung di udara.
“Elo doain gue putus? Jahat banget sih, doa elo!” Beno memakai helm lalu duduk di motornya. Melalui gerakan kepala, Beno meminta Deana segera naik dan memakai helmnya.
“Nggak lah, Bang. Aku cuma asal ngomong aja, soalnya temen aku banyak yang ngefans sama Abang. Ya kali aja kalian nggak berjodoh, siapa tahu salah satu temenku jadi istri Abang,” cerocos Deana tanpa memperhatikan wajah Beno berubah pucat.
“Kenapa, sih, dari tadi elo ngomong gitu melulu ....”
“Elaah, Bang, aku cuma asal nyeletuk, jangan dipikirin. Geus atuhlah!” Deana menepuk bahu Beno, meminta agar cepat jalan.
Beno mengendarai motor sportnya dengan kecepatan sedang. Pikirannya bercabang, antara senang akan bertemu Yuna, juga dengan pikiran buruknya yang sering terlintas.
Di belakang, Deana bersenandung kecil, sesekali tangannya terbentang menantang angin. Biasanya Beno akan mengomel, kali ini pria berambut gondrong itu diam tak banyak bicara.
“Mungkinkah aku meminta cinta kita selamanya ....” Deana bernyanyi riang, walau lirik lagunya sedih, menarik perhatian para pengguna jalan yang lain. Di perempatan jalan, mereka berhenti terjebak lampu merah.
“Tak terlintas dalam benakku bila hatiku tanpamu .... Segala cara t'lah kucoba pertahankan cinta kitaaa .... selalu kutitipkan dalam doaku, tapiku tak mampu melawan restu ....” Deana menghentikannya nyanyiannya setelah mendapat tepuk tangan dari pengguna jalan di samping mereka. Deana menutup kaca helmnya, mengeratkan pelukannya pada Beno, dia baru sadar jika suaranya cukup kencang.
Beno terbahak, tingkah laku Deana membuatnya lupa tentang kegelisahan hati.
Deana memukul punggung Beno, “Buruan ngebut, Bang. Aku malu.”
“Hahaha ... ya nanti, dong. Lampunya masih merah, masa langsung ngebut. Makanya jadi anak jangan pecicilan, malu sendiri, kan, jadinya,” sahut Beno. Tawanya berhenti dan langsung tancap gas ketika lampu perempatan berubah menjadi hijau.
Deana membuka lagi kaca helmnya, kembali bersenandung. Tiba-tiba matanya melihat seseorang yang dia kenal turun dari sebuah mobil, lalu dirangkul oleh seorang lelaki. Padahal setahu Deana, dia itu ....
“Ish! Nggak mungkin, aku pasti salah lihat! Mungkin cuma mirip,” gumam Deana.
“Kamu ngomong apa, Dek? Abang nggak kedengeran,” tanya Beno sedikit berteriak. Deana menepuk bahu abangnya, lalu melambaikan tangan. Memberi kode bahwa apa yang diucapkannya tadi itu sesuatu yang tidak penting.
“Nyampe. Turun elo!”
“Ck! Nggak usah disuruh juga gue turun, Bang! Nih, helmnya,” omel Deana.
“Elaah gitu aja ngambek. Padahal Abang nggak ngusir, elo kan tahu gue kalau ngomong suka sedikit keras.” Beno membantu Deana merapikan rambutnya.
“Padahal harusnya nggak usah pake bentak! Nyakitin tahu, nggak?!” gerutu Deana.
“Iya, maafin ya, Dek. Udah sana masuk. Tuh, lihat, temen elo udah pada nungguin.” Beno menunjuk ke arah gerombolan siswi yang berdiri di samping pagar. Mereka langsung jejeritan ketika Beno melambaikan tangan.
“Heem ... katanya setia, kok, malah tebar pesona?” cibir Deana.
“Siapa yang tebar pesona, cuma nyapa doang. Lagian gue nggak tertarik sama bocil!” seru Beno sambil menyalakan mesin motornya.
“Abang jalan dulu, ya, Dek. Belajar yang rajin, assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.” Deana memandang kepergian abangnya dengan sendu. Berharap seseorang yang dilihatnya tadi bukan Yuna. Tak bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati Beno jika benar itu Yuna.
$$$$$
31 Januari 2022

Bình Luận Sách (95)

  • avatar
    PratamaRio

    bagus

    5d

      0
  • avatar
    Raditia Azwan

    Karena seru

    10d

      0
  • avatar
    AAp

    ok qlala

    12d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất