logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

ROMUSHA DI MASA KINI.

"Maaf Mas." Lirih ku ucap permintaan maaf. Seraya bangkit dan mengambil pakaian ganti untukku yang sudah basah kuyup.
"Siapkan sarapan dan makan siangku, sebelum Kamu berangkat kerja!" perintahnya sambil masuk ke dalam kamar.
"Nggak sekalian solat subuh Mas, mumpung sudah bangun?" tanyaku pelan.
PLAK!
"Augh! Apa yang salah dengan pertanyaan ku, kenapa Mas pukul Aku?" tanyaku heran sambil mengelus kepala yang di pukul oleh Mas Herman, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.
"Jangan pernah ngatur-ngatur hidupku. Tugasmu hanya memenuhi dan melayani kebutuhanku, ingat itu!" bentaknya kemudian berlalu untuk kembali tidur. Aku hanya menggelengkan kepala melihat perilaku kejam suamiku. Tak hanya ringan tangan, bahkan mulutnya hanya bisa mengucap kata-kata sadis yang menyakitkan.
Bergegas ku ambil wudhu, dan mengadukan keluh kesah ku pada Sang Maha Pemberi Hidup. Kupasrahkan takdir yang harus kujalani walau diri meronta, apa daya situasi tak bisa berkompromi.
Ku lanjutkan ritualku setiap selesai subuh, menyiapkan makanan untuk sarapan dan makan siang Mas Herman. Aku termangu di depan kompor gas yang berulang kali ku hidupkan tapi tak jua menyala. Segera Aku ke belakang rumah untuk mengambil ranting pohon yang biasa Ibu Mertua kumpulkan untuk memasak.
Kulihat rumah Ibu masih gelap, belum ada tanda-tanda Dia sudah bangun. Jarak rumahku dan Ibu sekitar seratus meter, sedangkan Tetangga terdekatku berjarak lima ratus mater dari rumah Mas Herman. Terhampar kebun sayuran di samping kiri dan kanan rumah ku.
Kupetik beberapa buah terong ungu, yang akan ku masak balado. Untuk lauknya seingatku masih ada ikan asin sisa kemarin malam. Tak lupa ku petik bayam, untuk bahan sayur menir kesukaan Ibu.
Lagi-lagi hari ini, Aku harus kasbon pada Koh Andi. Selembar uang terakhir kemarin sudah di ambil Mas Herman. Sama sekali tak tersisa pegangan untuk lima hari kedepan saat gajian.
Segera ku bereskan pekerjaanku, mencuci piring bekas makan Mas Herman dan Ibu semalam. Bahkan tak sesuap nasipun masuk kedalam perutku, tapi rasa penasaran akan cerita masa lalu membuatku lupa akan rasa lapar.
Selesai membersihkan rumah, tepat jam lima subuh, bergegas ku kayuh sepeda tuaku menuju pasar yang berjarak dua kilometer dari rumah. Aku sedikit terlambat, karena seharusnya jam lima sudah harus sampai di pasar. Keringat membanjiri sekujur tubuhku. Pedal ku kayuh lebih kencang lagi, agar segera sampai di pasar.
"Tumben telat Fit?" tanya Koh Andi padaku, yang kemudian memberikan segelas air putih saat melihat napasku yang tersengal-sengal. Segera ku raih gelas pemberian Koh Andi dengan sekali teguk, kuhabiskan airnya.
"Maaf Koh, Saya kesiangan bangunnya." ucapku sambil menaruh gelas di atas meja. Dua puluh tahun Aku bekerja di toko sembako milik Koh Andi, dari jam lima subuh hingga jam lima sore. Dengan gaji bersih satu juta rupiah tiap bulannya, tanpa ada hari libur, karena toko sembako Koh Andi ada di depan pasar yang buka setiap hari.
Ku tata barang yang datang dari distributor kemarin sore. Kemudian menulis apa saja yang stoknya menipis, agar Koh Andi bisa order ke distributor lagi dan di antarkan sore harinya, sebelum toko tutup. Sambil menata barang Aku juga menyiapkan pesanan pembeli. Sedangkan Koh Andi hanya duduk di meja kasir untuk mencatat pesanan dan menerima juga memberi kembalian pada pembeli.
Tak terasa sinar matahari mulai menyengat. Perutku sudah mulai berbunyi tanda minta untuk di isi. Aku tak sempat sarapan di rumah, karena takut telat kerja lebih lama. Segera ku ambil tali rafia dan ku ikat kencang pada perutku, agar rasa lapar sedikit berkurang sambil menunggu jatah makan siang nanti.
Jatah makan siang sudah tiba, dengan rakus ku lahap hampir tak bersisa. Koh Andi dan kedua teman Perempuanku yang juga bekerja di toko ini merasa heran.
"Enak, atau emang lagi lapar Kamu Fit?" tanya Koh Andi keheranan.
"Dari pagi Saya belum sarapan Koh." Ucapku sambil mengulum senyum.
"Pantas perutmu Kau ikat kencang dengan tali rafia." Ujar Koh Andi sambil menggeleng kepala.
"Koh, nanti Saya kasbon ya lima puluh ribu saja. Buat nyambung hidup sampai gajian nanti."
"Oke, tak masalah."
"Alhamdulillah, terima kasih ya Koh. Saya mau solat dulu ya, nanti lanjut kerja lagi." Pamitku sambil berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah perut terisi, tenaga telah pulih kembali. Dengan gesit ku kerjakan semua perintah Koh Andi. Menyiapkan pesanan dan menata barang datang. Hingga waktu pulang telah tiba, bergegas Aku pamit dan mengayuh sepeda ku. Tak lupa Aku membeli telur dan terigu untuk lauk makan Mas Herman.
Setiba di rumah ku lihat motor Mas Herman terparkir di halaman.
"Assalamualaikum." Salamku sambil masuk ke dalam rumah.
"Hari ini jadi kasbon?" tanya Mas Herman yang sedang duduk di kursi ruang tamu.
"Jadi Mas, tapi cuma dapat lima puluh ribu. Itu saja sudah berkurang untuk membeli telur dan tepung terigu."
"Gob**k! kenapa nggak sekalian dua ratus ribu?" tanyanya sambil menoyor kepalaku.
"Aku sudah terlalu sering kasbon Mas, masih untung di kasih." Kilahku mencoba membela diri.
"Hallah, Kamunya saja yang bodoh, kasbon aja nggak bisa. Sini uangnya, rokokku habis."
"Rokoknya ngeteng dulu saja ya Mas." Ujarku sambil menyerahkan uang lima ribuan padanya.
"Kur**g a**ar Kamu! Kau samakan Aku dengan anak kecil yang mau jajan permen, hah!" bentaknya marah, dan mulai menendang kaki dan perutku.
BUGH BUGH BUGH!
Aku meringkuk di atas lantai dingin yang hanya di plester semen. Berkali-kali tendangannya mendarat pada anggota tubuhku.
"Ampun Mas, sakiiit. Huhuhuhu." Tangisku terisak memelas iba dari Mas Herman.
"Herman! Sudah! Bisa mati dia kena tendangan kakimu!" teriak Ibu sambil menarik tubuh Mas Herman dan mendudukkannya di kursi.
"Kamu buat ulah apalagi sih Fit, Selalu saja buat Anakku marah?" tanyanya sambil membantuku bangun dan memapahku menuju kamar.
Air mata tak henti mengalir, menahan rasa sakit di sekujur tubuh.
"Cepat ganti baju dan masak untuk Suamimu!" perintah Ibu kemudian menutup pintu kamar saat Aku akan mengganti pakaian.
Ku hapus air mata yang membasahi pipi, bahkan isak pun takut ku tunjukkan. Bergegas Aku kedapur dan memasak untuk makan malam Mas Herman. Aku masak lodeh daun dan kulit melinjo yang baru saja ku petik dari belakang rumah. Lauknya dadar telur yang di campur terigu agar terlihat besar.
"Berikan sisa uangmu!" ujar Mas Herman sambil berdiri di ambang pintu dapur. Segera ku berikan lembaran uang dua puluh ribuan.
"Kenapa tinggal segini?" tanyanya dengan suara bentakan yang keras.
"Beli gas, tadi Mas."
"Gob**k! Masih ada ranting kayu, kenapa beli gas?" tanyanya dengan muka memerah karena menahan amarah.
"Biar cepat masaknya, nanti Mas Herman keburu lapar." Jawabku lirih.
PLAK!
Kembali Mas Herman memukul kepala ku.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Bình Luận Sách (170)

  • avatar
    SatriaAnak agung

    bagi sekali

    2d

      0
  • avatar
    Zeson

    AAAA ENDINGNYA MEMBUAT KU KELEPEK-KLEPEK😞😞😞👌👌👌

    21d

      0
  • avatar
    AinulSiti

    good

    16/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất