logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 3 (Hadapi atau mundur saja)

Mereka nggak pantas di tangisi.
"Jadi ... kalian mau bermain-main denganku? Oke! aku layani kalian. Tunggu pembalasanku,"
"Cukup setahun aku di sisimu, Mas. Setelah anakku lahir. Ku pastikan kalian kembali ke asal. Orang ndeso, sok agamis nan mlarat,"
"Tunggu permainanku. Banyak kejutan buat kalian," tutupku lirih. Sambil tersenyum licik.
***********
"Dek ..." panggil Mas Ardi lembut. Sambil mengusap pungungg tanganku. Menatapku romantis.
Tumben dia panggil aku, dek. Pasti, ada udang di balik peyek. Ups, maksudnya ada udang di balik batu.
Keluarga benalu semua berkumpul di sini. Di ruang tamu. Mas Ardi, Ibu mertua yang sok agamis dan Wulan si muka dua.
Anak Wulan sudah tidur, dari tadi. Berkat perjuanganku seharian momong. Seharian sudah layaknya baby sitter. Capek.
Kulirik sebentar Wulan. Wajahnya terlihat di tekuk. Mulut, dia monyong-monyongkan. Uh ... rasa-rasanya, itu mulut ingin kutabok panci gosong.
Cemburu, ya. Suamiku, maksudnya suami kita, mesra pada madumu. Kasihan, deh.
'Yes ... kecoa jantan sudah masuk perangkap," girangku dalam hati.
"Ada apa, Mas?" jawabku di sampingnya. Wulan terus menatapku. Sedangkan Ibu mertua, sibuk dengan acara dangdut di TV. Kesukaannya.
"Katamu dulu, perusahaan sudah jadi milikku? tapi, kata sekretaris baruku. Masih punyamu, usai dia lihat data perusahaan," lembutnya.
"A-apa, Mas. Aku kurang denger. TV nya kekencengen, sih," bohongku. Memang itu tujuanku, agar Ibu mertua mematikan Tv, lalu ikut nimbrung dan akhirnya masuk perangkap.
"Bu, nonton apaan sih. Ini aku mau bicara penting. Sama, dek Safa,"
Ohoy ... dia panggil aku, dek. Lagi.
Kalau dulu. Pasti hatiku udah berbunga-bunga. Sekarang, ya, masih berbunga-bunga, sih. Tapi, bunga bangkai.
"Matiin dulu, Bu," tambah Wulan. Halus.
Ibu mencebikkan bibir sambil melirikku. Kesal.
"Ya, deh. Lagian ngomong apaan, sih. Penting, ya?"
Mas Ardi tak menyahuti cibiran Ibu. Pun aku dan Si muka dua.
"Dek, gimana ceritanya. Perusahaan masih milikmu. Dulu katanya, buat Mas Ardi," ulangnya ke inti.
Enak, saja. Susah payah almarhum papaku bangun. Seenak jidat, buat kamu. Ya Ampun. Mustahil. Tak akan pernah kubiarin.
"Kamu jadi istri, kok suka bohong. Jangan durhaka, kamu. Suami sendiri, kok di bohongin. Mau masuk neraka, kamu," hardik Ibu mertua dongkol. Dia berdiri dari duduk tak santainya.
Ingin sekali ku dorong tubuhnya. Agar terkena stroke sekalian.
Awas. Stroks bu. hihi.
"Dengerkan penjelasanku dulu," mulai diri ini.
"Aku, kan punya satu perusahaan. Nggak mungkin, kan, satu perusahaan buat satu orang saja. Sedangkan, kalian semua sangat berarti bagiku," ujarku bersandiwara.
"Maksud, Mbak?" si muka dua bertanya, heran.
"Aku mau bagi perusahaanku buat kalian bertiga. Sebagai rasa terimakasih. Karna memperjuangkanku untuk miliki keturunan,"
Bersamaan, Ibu mertua dan Wulan melongo. Kemudian senyam-senyum kegirangan. Mungkin, mereka udah bayangin jadi OKB. Dasar mata duitan.
"Beneran?" sontak Ibu.
"Ya. Bener. InsyaAllah kalau tidak ada aral melintang, setelah Wulan melahirkan anakku. Aku pribadi, akan memberikan langsung pada kalian,"
"Beneran?" tanya Mas Ardi. Mengikuti ibunya.
"Apa aku terlihat bercanda, Mas. Atau kalian nggak mau perusahaanku?"
"Mau!" sontak mereka serempak.
Aku mencebikkan mulutku. Tak sengaja.
Dasar. Matre. Mata duitan. Keluarga benalu. Mengaku agamis, tapi kelakuannya bikin hati meringis. Miris.
"Ya. Ya udah, deh," ujarku berdiri. Berlalu pergi sambil mensedekapkan tanganku.
'Permainan segera dimulai. Sekarang dan sampai anakku lahir. Aku yang akan jadi ratunya dan kalian semua, babuku. Wahai jongos-jongosku,' sombongku dalam hati.
******
"Mas ... gimana, sih kamu. Katanya perusahaan si Safa, udah jadi milikmu. Nyatanya?"
Aku tersenyum licik, mendengar suara bernada sangat kecewa, dari Istri tua suamiku. Beruntung, kemaren mereka semua pergi. Jadi, dengan leluasa aku bisa meletakkan alat sadap suara di bawah meja rias si muka dua, itu. Karena aku yakin, kamar Wulan adalah markas besar mereka.
Menyadap kamar Wulan sudah. Selanjutnya, sadap WA Mas Ardi, Suami jahatku.
Mereka jual. Aku beli. Mereka licik. Aku jauh lebih bisa licik.
Istri sholikhah yang taat suami dzolim sudah musnah. Apalagi, menantu yang hanya islam KTP , saja, siap bertempur dengan mertua kejam, sok agamis.
"Iya, nih, Ardi. Kamu kenapa nggak bisa, sih, rebut harta wanita islam KTP itu," suara ibu mertua uring-uringan.
Mendadak membuatku marah. Sangat marah. Sampai panas puncak ubun-ubun, jantung dan ususku. Ups.
"Mulai sekarang. Kalian harus bersikap baik sama Safa. Jangan sampai dia berubah pikiran. Kita sudah sejauh ini. Melangkah menerjang masalah demi masalah. Sampai aku merelakan istriku, Wulan mengandung anak Safa. Jangan sampai kita gagal jadi orang kaya. Paham?"
Astagfirulloh ... ternyata lelaki miskin, yang dulu ku pilih karena kuatnya ilmu agama yang ia miliki, tak ubahnya iblis yang gila harta. Sampai segitunya ingin mejadi kaya. Halal-haram, dia terjang.
"Manusia hina, kau, Mas," geramku. Tanganku terkepal. Menggenggam marah sprei kasurku.
Manusia kelakuan iblis.
"Sampai kapan. Ardi? Masa ibu harus pura-pura baik, sih. Ibu, kan bukan Wulan,"
"Maksudnya?" terdengar Wulan menyahut tak suka. Mungkin merasa tersindir.
"Ayo ... serang Wulan," ujarku mulai menikmati.
"Ya. Kayak kamu. Di depannya aja baik. Di belakang. Menusuk,"
"Enak saja, Ibu bilang begitu. Aku begini, demi siapa coba?" suara Wulan nampak tak mau kalah.
"Mending muka dua. Daripada Wanita tua ngakunya alim. Padahal munafik," imbuh wulan. Untuk yang ini, aku setuju dengan istri tua.
Mampus kau, ibu suri. Jahat, sih, Anda.
"Aw ... tolong ..., sakit bu, rambutku, Mas, tolongin, dong!"
Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi aku yakin. Mereka sedang bertengkar. Pasti Ibu suri menjambak rambut menantu kesayangannya.
"Sudah ... diam. Seharusnya dalam situasi begini. Kita harus kompak. Jangan bertengkar. Kalian, selalu saja kayak anak kecil. Udahan, Bu. Ingat umur. Kamu, juga Wulan!" hardik keras, Mas Ardi.
"Untung. Kamar ini udah ku kasih alat kedap suara. Kalau, nggak? habis kita. Safa nggak bakal kasih perusahaannya ke kita. Gagal semuanya!"
Haa ...,? seriusan? seniat itu, kah suamiku!
"Kafa, udah tidur, kan?" tanya Mas Ardi. Menyakan anak hasil dengan istri tuanya.
Aku geram mengingatnya. Dulu, sebelum menikah. Dia ngakunya, perjaka. Belum kenal wanita. Tidak pernah pacaran. Nyatanya, zonk. Anak aja udah punya. Dimana letak keperjakaan kamu, Mas. Dusta.
Aku mendadak teringat nasihat almarhumah mamaku.
"Kalau kamu bertemu seseorang, yang mana di awal, dia berbohong. Maka, akan ada kebohongan lain, yang harus kamu tahu. Ungkapkan dan buktikan, kalau kamu kuat. Jika, tidak kuat. Maka, pergilah dan mulailah hidup barumu,"
Aku meneteskan air mata. Nasihat mama, sewaktu aku juga mengetahui, skandal perselingkuhan papa dengan sekertarisnya.
"Papa gagal jadi Suami. Tapi, menjadi seorang ayah. Dia berhasil. Tetap hormati dan sayangi dia, Safa," ingatku lagi pada perkataan Mama. Membuatku bersedih.
Tak menyangka, aku dihadapkan kisah perselingkuhan lagi. Tetapi, ini lebih rumit dari pada Mama. Kalau Mama, lebih memilih pergi, tapi aku akan tetap bertahan. Demi anakku.
"Aku Safa Marwadina. Wanita kuat yang akan perang melawan kedzoliman Suami dan Mertua. Doakan aku kuat, Ma," lirihku.
Aku ingin solat. Bermunajat pada Allah. Ingin memgadukan nelangsa hidup ini.
Kelihatannya, diskusi mereka sudah usai. Mungkin, sebentar lagi, Mas Ardi, ke sini. Aku harus ke kamar mandi. Berwudlu lalu solat. Minta kekuatan pada Allah. Menghadapi setan berwujud manusia, itu.

Komento sa Aklat (226)

  • avatar
    WawanfoldWawanfold

    kerja bagus

    8d

      0
  • avatar
    AzkaZakaria

    kasian

    11d

      0
  • avatar
    LegendKamil

    bagus

    28d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata