logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Dalam Cinta Dua CEO Tampan

Dalam Cinta Dua CEO Tampan

Nureismee


Bab 1 Pulau Fantasia

Badut kepiting itu berjalan sendirian ke suatu sudut taman bermain yang sepi. Celangak-celinguk memperhatikan sekeliling. Menempelkan jarinya di pipi sambil menggoyangkan buntutnya yang bulat pendek. Setelah yakin tidak ada yang melihat, badut itu mencoba melepaskan kepalanya. Sedikit susah. Ia memutar-mutar kepalanya, hingga berputar 360 derajat. Menggoyang-goyangkan tangannya seperti orang tenggelam. Mungkin kepala mungil di dalamnya tersangkut sesuatu. Pengunjung yang melihat pasti akan tertawa geli melihat badut dengan kepala terbalik seperti itu.
Ia mencoba melepas kepalanya lagi. Sebelah kakinya ikut terangkat. Dan dengan sekali tarikan, kepala itu berhasil terlepas.
Seorang gadis manis muncul dari balik kostum. Beberapa anak rambut nampak menempel di wajahnya. Ia menghela napas dalam-dalam. Kelihatannya pengap sekali berada di balik kostum warna oranye itu. Bibir dan pipinya menggembung ketika mengembuskan napas banyak-banyak. Ia menggerak-gerakkan leher yang terasa pegal karena menyangga kepala boneka itu selama berjam-jam.
Cahaya menyandarkan tubuh ke tembok marmer mengilap di hadapannya, lalu kepalanya lunglai ke samping. Dilihatnya pantulan dirinya di dinding marmer. Seorang gadis berusia dua puluh, berwajah oval dengan ikat rambut asal-asalan, terbungkus dalam kostum kepiting, maskot Pulau Fantasia.
Cahaya tersenyum. Lupa pada rasa letihnya. Gadis periang itu menghadapkan dirinya ke tembok marmer yang lebih mirip cermin tersebut, lalu bergaya-gaya sendiri. Ditonjolkan perut gendutnya, lalu ia bergaya seperti wanita hamil. Cahaya tertawa sendiri. Ia mengubah posisinya jadi menyamping lalu bergaya seperti artis panas zaman dulu, tapi yang terlihat ia seperti kepiting sembelit. Untung tidak ada seorang pengunjung pun yang berada di dekatnya. Kalau tidak, ia pasti sudah dipandang sebagai badut aneh.
Cahaya memerhatikan sekeliling sambil melepas lelah--meskipun sekarang bukan jam istirahatnya. Tempat kerja part time-nya itu mirip dengan Dunia Fantasi yang berada di Ancol. Hanya saja Pulau Fantasia berada di dalam sebuah ruangan yang super luas, dengan konsep sebuah pulau. Jadi begitu masuk, pengunjung seperti terdampar di sebuah daratan. Langit-langitnya dibuat seperti langit sungguhan. Biru cerah dengan awan yang berarak. Juga burung-burung camar rakitan yang kadang terbang merendah. Dengan suaranya yang khas.
Entah berapa luas taman bermain ini. Yang jelas, tidak akan puas jika hanya mengelilinginya satu hari. Cahaya beruntung bisa memiliki akses keluar masuk tempat tersebut.
Banyak permainan dan wahana yang tersedia di Pulau Fantasia. Dari wahana untuk balita, sampai yang memacu adrenalin. Di beberapa sudut terdapat tempat penyewaan kostum. Pengunjung bisa menyewanya sambil mengelilingi Pulau Fantasia.
Sesekali terdengar back sound bunyi ombak dan suara peluit kapal.
Beberapa artis sewaan nampak berbaur dengan pengunjung. Beberapa berakting menjadi bajak laut. Beberapa menjadi penumpang kapal yang terdampar. Beberapa lagi menjadi putri duyung yang cantik.
Sementara Cahaya? Sebagai artis sewaan, ia harus cukup puas menyembunyikan wajah cantiknya di balik kepala Kepi si Kepiting. Tapi gadis itu tidak mempermasalahkannya. Selama honor dibayar tunai, pakai kostum gorila atau hantu pun pasti akan disanggupi.
Dari kejauhan Cahaya melihat Ardian, pemilik Pulau Fantasia yang sedang berjalan bersama beberapa orang. Menunjuk ke suatu wahana permainan lalu berkata pada lelaki di sebelahnya.
Lelaki itu terlihat seperti pimpinan gangster yang dikelilingi anak buah. Ah tidak, ia terlihat seperti si Raja Midas yang sedang merencanakan mengubah batu menjadi emas lewat jari telunjuknya. Atau mungkin mereka sedang menjadi mata-mata. Mencari badut-badut nakal yang bersembunyi untuk kabur dari pekerjaannya. Memikirkan hal itu membuat Cahaya segera memakai kepala badutnya lagi, lalu bertingkah seperti badut normal lain.
Badut kepiting itu menyapa setiap pengunjung yang melihat ke arahnya. Melambaikan tangan dengan genit. Juga menggoyang-goyangkan pinggul.
Serombongan anak SD meminta berfoto bersama. Cahaya melayani mereka sementara matanya kadang mencuri pandang ke arah rombongan para pejabat Pulau Fantasia yang sekarang sedang menuju eskalator. Wajah Ardian tidak berubah dari sejak Cahaya melihatnya tadi. Tetap serius dan dingin. Dan tampan. Dan masih tak terjangkau.
Ah, gadis bodoh, apa yang kau pikirkan? Cahaya menepuk pipi kepitingnya dengan gemas.
Ia menoleh ketika seorang anak SD yang nakal menepuk pantatnya.
***
Sepasang kaki kepiting menyusuri ruang ganti kostum. Menyapa orang-orang yang berada di ruangan tersebut. Ia mengambil bajunya di loker, lalu masuk ke kamar ganti. Mengganti kostum badut dengan kemeja berwarna kuning gading yang terlihat pas di tubuhnya, lalu merangkapnya lagi dengan sebuah jaket hitam.
Cahaya keluar dari ruang ganti sambil menenteng kostum badutnya. Ditaruhnya kostum itu di begitu saja di pojok ruangan, menyusul si kepala Kepi yang sudah teronggok di sana. Bersama dengan kostum lainnya.
Semoga saja mereka tidak salah memasangkan kostum dan kepala badutnya besok. Cahaya tertawa riang dalam hati memikirkan para badut yang saling bertukar kepala.
Ia meraih tas. Menyelempangkan ke bahu, lalu berjalan keluar setelah berpamitan dengan yang lain. Sesekali memainkan kalung berbandulkan mutiara kembar warna hitam dan putih yang menghiasi leher.
Langit sudah gelap ketika Cahaya berjalan sendiri menuju parkiran motor. Gadis itu menggigil ketika angin membelai wajah mungilnya. Segera dirapatkan jaketnya erat-erat.
Ponsel di dalam tas berbunyi. Cahaya tergesa-cenderung panik, ketika mengaduk-aduk isi tasnya mencari ponsel.
“Hai, Rel,“ sapanya riang setelah berhasil menemukan ponsel dan menempelkan ke telinga.
“Aku sudah telepon kamu dari tadi!“ seru suara di seberang dengan gusar, terdengar memekik. Cahaya mengernyitkan hidung membayangkan Varel yang sedang merengut di seberang sana. Ia pasti sudah Menelepon hingga belasan atau mungkin puluhan kali. Lelaki itu tidak akan berhenti menghubungi hingga Cahaya menerima panggilannya.
“Iya, maaf. Kerjaku baru selesai.“ Cahaya memakai helm lalu menyelipkan ponsel di antara telinga dan helm yang dikenakan. Sibuk mencari-cari kunci motor. Padahal Cahaya sengaja menggunakan gantungan kunci berbentuk boneka besar agar mudah menemukannya, tapi tetap saja ia akan selalu mengaduk-aduk isi tas setiap mencari kunci motor.
“Dan di mana kamu sekarang?“ tanya suara di seberang. Tepat ketika Cahaya menemukan kuncinya.
“Parkiran. Dan di mana juga kamu?“ Ia balik bertanya sambil memutar kunci motor, lalu menariknya keluar dari jejeran motor yang diparkir di halaman parkir Pulau Fantasia. Cahaya segera menaiki motornya.
“Di depanmu.“ Ketika gadis itu menyalakan lampu motor, sosok Varel sudah berdiri di hadapannya. Cahaya menaikkan alis, pura-pura memandang takjub pada lelaki berkaus warna gelap yang masih berdiri di depan motornya. Gadis itu nyengir nakal ketika Varel berjalan mendekat. Bergeser mundur ke belakang untuk memberikan kehormatan, yaitu posisi di belakang setang motor kepada Varel. Varel memang tidak suka dibonceng seorang gadis.
“Meruntuhkan harga diri”, katanya ketika suatu hari Cahaya bertanya. Gadis itu mendecih sebal mendengarnya. Lalu Cahaya akan teringat pertemuan pertamanya dengan Varel ketika masa perkenalan di kampus dulu. Waktu itu ia terlihat cupu sekali. Berlari-lari kecil lalu menyelinap ke barisan di depannya. Tapi tetap ketahuan kakak senior. Akhirnya ia dihukum jalan setengah jongkok keliling lapangan lima kali. Cahaya tersenyum geli melihatnya berjalan dengan posisi seperti itu, dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Tapi rupanya ada kakak senior yang melihatnya. Cahaya segera ditarik ke depan barisan. Para kakak senior segera mengerubungi. Menggencet gadis dengan wajah penuh cemong itu. Sebenarnya Cahaya jemu, tapi ia berakting seolah ketakutan dan menyesal. Akhirnya ia ikut menyusul Varel. Jalan jongkok mengelilingi lapangan.
"Hai," sapanya ceria ketika berhasil menyusul Varel, tetapi lelaki itu malah membuang muka dan terus berjalan sambil setengah melompat-lompat.
Sorenya ia melihat Varel sedang menunggu angkot di depan kampus mereka. Sendirian dengan rambut yang dikuncir delapan sambil membawa gembolan dari karung beras. Gadis itu menahan tawa melihatnya. Varel mirip si Udin, orang gila yang suka berkeliaran di kampungnya. Padahal dandanan Cahaya ketika itu pun tak kalah mirip orang gila.
“Menunggu angkot?“ tanya Cahaya begitu sampai di hadapan Varel dengan motor matic bututnya. Pertanyaan itu hanya diiyakan sambil lalu. Dalam hati berpikir, berani sekali gadis ini. Kakak senior sudah melarang mereka untuk membawa kendaraan, tapi ia tetap nekat membawa motor.
“Kalau jam segini biasanya sudah tidak ada angkot." Cahaya berusaha menahan tawa setiap memandang dandanan Varel yang aneh.
"Mau ikut aku? Nanti kamu bisa turun di dekat stasiun. Di sana banyak bus berbagai jurusan.“ Varel menatapnya bimbang. Sebenarnya ia masih meragukan teman barunya yang macam tukang palak ini. Cahaya tertawa ketika menyadari Varel menatapnya dengan curiga.
“Jangan khawatir. Aku bukan penjahat."
Kalau pun iya, aku pasti pilih-pilih orang buat jadi korban. Tidak mungkin mendekatimu yang seperti orang gila nyasar, sambungnya dalam hati.
"Ayolah, kita sudah kemalaman sekali. Nanti kamu ketinggalan bus." Cahaya melanjutkan ucapannya dengan wajah serius, "Aku pernah dengar, ada hantu yang suka berkeliaran di kampus ini setiap malam. Seorang perempuan, tapi tanpa kaki. Cantik, tapi pucat tanpa darah. Katanya dulu ada mahasiswi yang dibunuh vampir ketika pulang kuliah malam. Mayat perempuan itu ..." Kalimat tersebut tidak terselesaikan karena Varel sudah keburu naik ke boncengan. Motor sempat oleng ketika bebannya mendadak bertambah. Cahaya segera menyeimbangkan diri, lalu menghidupkan motornya yang sempat mati. Bergegas melarikan diri, meninggalkan gerbang kampus.
“Tadi pagi aku lihat kamu mau naik angkot di dekat stasiun.“ Cahaya berkata sambil sedikit menoleh, lalu kembali serius menekuri jalan. Varel hanya menjawab sambil lalu. Tangannya erat mencengkeram bagian belakang motor.
Gadis pembalap ini ...
Varel menjulurkan leher. Mencoba melihat wajah gadis di hadapannya.
“Di mana rumahmu?“ Cahaya menoleh ketika mendengar pertanyaan tersebut, lalu menyebutkan sebuah tempat dari balik helmnya.
“Di mana?” ulang Varel.
Gadis itu mengulang jawabannya, tapi Varel tetap tidak bisa mendengarnya lagi. Juga tidak peduli kalau gadis itu tinggal di dalam kawah gunung berapi sekalipun.
Sejak saat itu Cahaya suka menghampiri Varel yang sering terlihat sendirian. Tapi rupanya ia tertipu. Lelaki itu tidak semanis yang ia pikir. Terkadang ia menyesal, kenapa dulu mendekatinya. Karena ternyata lelaki itu punya penyakit Jahil Kronis. Sejenis penyakit menahun yang mungkin tidak dapat disembuhkan.
***
“Lama sekali. Aku sampai jamuran menunggu.“ Varel menyalakan motor.
"Pakai salep anti jamur dong," ledek Cahaya sambil lalu, "lagi pula aku kan tidak minta kamu menjemput."
Lelaki di depannya tidak menjawab. Cahaya mengaduh ketika terlompat dari jok motor.
“Rel, pelan-pelan.“
“Iya. Tenang saja. Jangan ganggu konsentrasiku.“
Cahaya menelan ludah. Sekarang motor mereka sudah masuk ke jalan raya. Membuat gadis itu siaga satu. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sibuk memainkan tangannya untuk menahan laju kendaraan di belakang mereka. Mulutnya tak henti mengoceh, memperingatkan Varel. Membuat lelaki itu hilang fokus.
“Awas, sebelah kiri ada sepeda … Awas Rel, ibu-ibu naik motor. Nah nah nah, salah pasang lampu sen dia. Reeel, itu truk parkiiirr …, jangan ditab …“
Bruakkkkk!!! ...
***

Komento sa Aklat (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata