logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Pengakuan Fian

Tubuhku terjatuh di atas rerumputan yang ada di taman. Saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Bahkan dalam kondisi tidak sadarku saja, yang aku rasakan hanya sebuah rasa sakit. Entah kenapa, sakit itu semakin nyata dan layaknya sebuah racun yang semakin lama semakin menggerogoti sisa-sisa pertahanan hidupku.
Sedangkan di luar dari ketidaksadaranku, ternyata Zain datang memopong tubuhku ke dalam ruangan. Entah kenapa, Tuhan selalu saja mendatangklan Zain di waktu yang tepat. Aku juga tidak mengerti, apakah Tuhan memang sengaja menghadirkan Zain untuk selalu menyelamatkan aku.
“Hei, astagfirullah, kenapa dia?” tanya Zain pada dirinya sendiri ketika melihat tubuhku yang perlahan jatuh.
Zain tidak berhasil menangkap tubuhku sebelum aku jatuh ke bawah. Zain bingung harus bagaimana, saat itu tidak ada orang di sekitar taman. Yang Zain lihat hanya beberapa pasien yang sama sedang sakitnya seperti aku berada di sebuah kursi roda.
Zain berniat untuk mengangkat tubuhku ke atas kursi roda. Tapi, saat ia hendak mendorong kursi roda itu, salah satu roda yang ada di ujung kaki kursi itu terlepas, sehingga sekalipun ia hendak membawaku dengan kursi roda, rasanya tidak bisa, karena tidak akan seimbang juga.
“Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Zain bingung.
Ini adalah keputusan yang sederhana ketika dihadapkan kepada seseorang yang sebelumnya senantiasa menyentuh bagian kulit dari tubuh lawan jenisnya. Tapi bagi Zain? Aku bukan siapa-siapanya, bahkan kami saja tidak mengenal satu sama lain.
“Apa harus saya yang mengangkatnya? Ya Tuhan, maafkanlah, tapi ini darurat. Bismillah,” ucap Zain seraya mengangkat tubuhku dan ia bergegas membawaku ke dalam ruanganku.
Kenapa Zain langsung membawa aku ke dalam ruanganku?
Iya, karena Zain memang sudah tahu, sebelumnya ia melihat aku yang hendak dibawa dari ruanganku menuju ruang operasi. Saat ia sudah meletakkan tubuhku ke atas tempat tidur, beberapa perawat disusul oleh seorang dokter datang.
“Permisi mas,” ucap dokter itu berdiri di dekatku seraya memeriksa kondisi tubuhku.
Zain belum selesai dengan rasa bersalahnya karena sudah menolongku. Iya, ini adalah hal aneh yang terjadi. Ketika ia sudah melakukan hal yang tepat menurut kebanyakan orang. Tapi, ia merasa hal ini adalah sebuah kesalahan. Bukan karena ia sudah menolongku, tapi karena caranya menolongku.
“Pasangkan oksigennya kembali,” ucap dokter mmeberi perintah kepada perawat.
Dengan kondisiku yang bisa dibilang kembali ke masa kritis, Zain dipersilahkan keluar dari ruanganku. Tapi, ia tidak meninggalkan aku begitu saja. Mengetahui tidak ada keluargaku saat itu, ia tetap berada di depan ruanganku. Ia menunggu dokter keluar untuk memastikan apakah aku baik-baik saja atau tidak.
Seandainya saat itu aku nenyadari kebaikan dan ketulusan hatinya. Aku sangat ingin langsung mengatakan banyak terima kasihku kepadanya. Tapi, saat aku sadarkan diri, aku tidak melihat dia. Aku hanya menlihat ayah dan bunda disusul oleh Fian di dekat pintu ruangan kamarku.
“Kenapa harus Fian yang Tuhan hadapkan pertama kali setelah aku kembali sadar? Sementara dirinya adalah manusia yang saat ini sedang tidak aku harapkan sama sekali kehadirannya,” gerutuku dalam hati.
“Bagaimana kondisimu saat ini sayang?” tanya bunda seraya mengelus-elus keningku.
“Boleh tinggalkan Nafisah sendiri saja bunda?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan dari bunda.
Dengan raut wajah bingung, bunda menoleh kepada ayahku. Kemudian, ayah menundukkan kepalanya seperti memberi isyarat kepada bunda untuk mengiyakan permintaanku.
“Nafisah, mau bicara berdua dengan Fian? bunda dan ayah keluar dulu ya nak,” ucap bunda.
“Tidak dengan siapapun, Nafisah hanya ingin sendiri. Dan untuk Fian, kamu gak usah ada di depan mataku mulai saat ini, anggap saja kita tidak pernah kenal,” ucapku tanpa perlu panjang lebar mengucapkan hal itu.
Seisi ruangan bingung, ada apa dengan perkataanku, mengapa aku bisa dengan mudah mengatakan hal itu. Itu juga yang ayah dan bunda bingungkan. Mereka seperti tidak menyangka bahwa aku mengatakan hal itu. Karena, mereka tahu, hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku bersama dengan Fian.
Sementara Fian saat itu langsung tercengang. Fian merasa ada masalah yang aku sembunyikan, dan memang benar. Jika dilihat dari raut wajah Fian saat itu, sepertinya Bilqis belum menceritakan kejadian tadi kepada Fian.
Aku tidak peduli.
“Tapi Nafisah,” Fian hendak berbicara, tapi aku menghentikan ucapannya.
“Tolong, aku rasa permintaanku tadi sudah jelas,” ucapku.
Terdengar tidak sopan memang. Karena, saat itu tidak hanya ada Fian tapi, juga ada ayah dan bundaku. Tapi, aku sedang tidak memikirkan perasaan siapapun saat itu.
Aku memang egois, ada saatnya aku bisa dengan sangat mengahrgai seseorang, sampai aku lupa menghargai diriku sendiri. Tapi, ada saatnya juga aku merasa, diriku butuh untuk egois dan tidak memperdulikan sekitarku, agar mereka tidak dengan mudah mempermainkan perasaanku.
Semuanya keluar dari ruanganku. Saat mereka keluar, aku menangis sejadi-jadinya. Air mata yang sedari tadi aku tahan, ketika melihat orang yang sangat aku benci ada dihadapanku, saat ini meluap begitu saja.
Saat itu, yang aku inginkan hanya ketenangan, tidak ada yang mengganggu pikiranku. Sudah itu saja.
Benar, apa kata kebanyakan orang, lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati. Hari ini aku membenarkan ucapan itu. Ketika hatiku yang sakit, maka seluruh tubuhku juga merasakan sakit. Ketika hatiku yang sakit, bisa saja tanpa sengaja aku hendak melukai tubuhku.
Seperti aku yang saat ini. Hanya karena rasa sakit yang aku terima dari penghiantan laki-laki yang aku percaya dan perempuan yang sudah aku anggap sebagai saudariku sendiri, aku bisa melukai tubuhku.
Karena kejadian itu, aku kehilangan hari-hariku yang sebelumnya dipenuhi dengan tawa dan senyum kebahagiaan. Karena perlu kalian ketahui, percaya atau tidak, aku bisa bernegosiasi dengan semua rasa sakit, kecuali cemburu dan penghianatan.
Tidak heran memang, jika banyak perempuan bisa menahan rindu mereka berpuluh-puluh tahu ketika jauh dari kekasihnya, tapi, mereka tidak bisa menahan cemburu mereka walaupun itu hanya beberapa waktu yang terbilang singkat.
Sementara di luar ruanganku, Fian dan bunda bingung apa yang terjadi kepadaku. Tapi, ayah? Ayah paham bahwa putrinya saat ini sedang butuh ketenangan. Aku memang lebih dekat dengan ayahku. Karena, seorang ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuannya.
“Fian tidak mengerti tante, sebenarnya apa yang terjadi. Fian tidak pernah melihat Nafisah semarah ini, sampai dia tidak mau melihat Fian,” ujar Fian.
“Nafisah saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dia sedang berusaha untuk kembali stabil. Jadi, Fian sabar dulu ya, kita sama-sama tahu, Nafisah tidak akan seperti tadi jika tidak ada sesuatu yang dianggapnya adalah sebuah masalah,” ucap bundaku kepada Fian, yang sebenarnya laki-laki itu adalah penyebab dari semua yang aku alami saat ini.
“Sudah, lebih baik sekarang kamu pulang saja. Om dan tante yang akan menjaga Nafisah disini. Dia sedang butuh sendiri. Jadi, tolong jangan ganggu dia dulu,” ucap ayah.
Ayahku adalah orang yang humoris. Tapi, ketika ia berkata serius, maka yang ditampakkan oleh kedua matanya hanya sebuah keseriusan. Mendengar ayah yang berkata demikian, Fianpun mengiyakannya.
Setelah Fian pulang, tidak lama dari itu, aku mendengar suara pintu terketuk.

Komento sa Aklat (87)

  • avatar
    Uda Win

    mantap dan asik

    10d

      0
  • avatar
    Rizkiikilonek

    assalamualaikum

    11d

      0
  • avatar
    Fajrin Setyawan

    bagus

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata