logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Benarkah Fian Sibuk?

Aku melanjutkan perjalanan dengan penuh pertanyaan pada otakku. Tentang mengapa dan kenapa Fian berubah dalam bebrapa hari kebelakangan ini? Ada 2 hal yang menyebabkan Fian seperti ini. Yang pertama dia memang sedang benar-benar sibuk atau mungkin yang kedua, dia sedang mencoba pergi secara perlahan dariku.
Jika memang pilihan kedua adalah penyebab yang sebenarnya. Bagaimana dengan aku? Kami sudah kenal sejak lama, begitupun rasaku padanya, aku sudah memendam rasa sejak dulu, bahkan ketika Fian masih berstatus sebagai pasangan Balqis, sahabatku.
Dan saat ini, ketika Fian sudah berstatus sebagai pasanganku. Apakah dengan begitu saja aku bisa melepaskannya? Aku tidak bisa berpikir jernih saat itu.
Dan hal yang paling mengejutkan untukku pada pagi ini adalah…
Ketika dua mataku tanpa sengaja melihat Fian dan Balqis saat itu sedang keluar bersama dari toko buku. Aku yang melihat hal itu, sontak berhenti di pinggir jalan. Aku melihat Balqis dan Fian yang saat itu hendak berboncengan, apa ini semua?
Dadaku sesak, ada rasa kecewa yang belum selesai saat itu ditambah dengan rasa sakit hati. Seperti jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itu adalah kata pepatah yang pantas untukku saat itu.
Aku melihat bagaiman keduanya saling bertukar ucapan di atas motor itu. Saat ini, antara pasangan dengan sahabatku sedang berdua di depan mataku. Tapi, langkah kakiku terhenti hanya sampai di titik dimana aku tidak bisa melakukan apa-apa.
“Oh tidak, mungkin mereka hanya sedang mencari bahan untuk sidang skripsinya,” ucapku berusaha untuk tidak memiliki pikiran negative tentang Fian dan Balqis ketika mengingat mereka satu angkatan dan satu jurusan juga.
Aku terus berusaha memberikan sugesti positif pada pikiranku saat itu. Aku berusaha mencoba melawan semua rasa takut yang ada. Nafasku tidak seperti biasanya. Apakah aku yang terlalu berharap berlebihan kepada Fian?
Aku meihat sahabat dan pasanganku sedang berada di depanku. Aku yang saat itu melanjutkan perjalanan menuju kampus berusaha untuk tegar dan terlihat seperti sedang baik-baik saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
“Akkkhhhh!” teriakku ketika aku sudah tidak bisa menahan tangisku.
Tanpa aku sadari air mata mengalir begitu saja dan membasahi pipiku. Sedih sekali, sesak, seperti tertusuk puluhan duri bunga mawar. Walaupun indah tapi menyakitkan.
“Hati-hati dong!” ucap seorang pengendara motor yang ternyata tanpa disengaja sudah aku tabrak motornya dari belakang.
Saat aku mendengar suara teriakan amarah dari orang itu., aku baru sadar. Aku langsung mematikan motorku dan turun, aku berusaha untuk meminta maaf kepada orang itu. Tapi, dia menolaknya.
“Saya minta maaf , Pak,” ucapku kepada orang itu.
“Gak bisa gitu dong mbak, ini lihat! Mbaknya kalau emang gak bisa nyetir mending gak usah naik motor mbak,” ucap orang itu.
Saat itu semua mata di jalan melihat kepadaku.
“Ada apa ini?” tanya seseorang dari belakangku.
Saat aku menoleh kepada orang itu, ternyata dia adalah Zain, laki-laki yang sama yang aku lihat di coffee shop.
“Ini mas, mbak ini nabrak motor saya, lihat! Sampai penyok semua,” ucap orang itu.
“Tapi Pak, saya sudah minta maaf. Saya juga tida sengaja,” ucapku berusaha untuk membela diri.
“Sudah Pak, mari motornya saya bantu bawa ke bengkel terdekat dan untuk biaya perbaikan motornya, biar saya yang tanggung,” ucap Zain menawarkan bantuan.
“Yasudah, silahkan. Lain kali hati-hati mbak,” ucap orang itu.
Aku saat itu masih belum paham, kenapa laki-laki ini baik sekali? Kenapa ia mau membantuku? Padahal kami tidak pernah kenal sebelumnya.
“Tidak perlu, biar saya yang ganti rugi. Ini saya kok yang salah,” ucapku setengah menolak bantuan dari Zain.
“Tidak masalah, biar saya bantu,” ucap Zain.
“Nanti saya ganti uang ganti ruginya. Boleh saya minta nomor rekeningnya saja? Atau mungkin kartu namanya?” tanyaku kepada Zain yang saat itu tengah membantu membawakan motor orang yang tidak sengaja aku tabrak.
“Ini kartu nama saya,” ucap Zain seraya memberikan kartu nama itu kepadaku.
Saat itu, aku sudah tidak memikirkan bagaimana motor orang itu akan diperbaiki. Aku tidak bisa berikir lancar. Ada banyak yang mencuat di kepalaku. Serasa seperti ingin aku keluarkan satu persatu.
Aku menaruh kartu nama Zain pada saku kemejaku dan kembali mengendarai motorku. Saat itu, Zain dan kebaikannya untuk menolongku tidak penting. Karen, yang saat ini sedang aku pikirkan adalah Fian.
Cinta memang membuat orang bodoh ya?
Disaat aku melanjutkan perjalananku menuju kampus, Zain malah menanggung semua kelalaian yang sudah aku perbuat. Dia mengantarkan motor yang aku tabrak tadi ke bengkel. Sementara aku? Malah terus saja memikirkan si Fian, manusia yang tidak memikirkan aku smaa sekali.
Seampainya di kampus, aku segera pergi ke dalam kelas. Tanpa basa-basi lagi, aku sednag tidak ingin bertemu dengan Fian. Padahal, saat itu Fian sedang hendak menghampiriku, tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Aku hanya sedang tidak ingin marah ataupun menangis seperti orang yang sedang mengemis perhatian darinya.
Saat ini, biarkan saja dia dengan apapun yang membuatnya bahagia. Aku perlu sedikit waktu agar kecewaku bisa terobati walaupun tidak sepenuhnya.
“Nafisah,” panggil Fian dari belakangku.
Sebenarnya, aku mendengar suaranya yang memanggil namaku. Tapi, aku tidak menolehnya. Aku pura-pura tidak mendengar suaranya.
“Dih, Nafisah gak denger apa ya?” ucap Fian bertanya-tanya.
Hari itu adalah hari yang sama sekali tidak pernah aku harapkan ada dalam hidupku. Mengingat di pagi hari saja sudah banyak kejadian yang tidak aku sukai.
Untungnya saja, Fian tidak mengejarku sampai ke kelas. Jika ternyata, ia mengejarku sampai ke kelas, aku tidak tahu harus berkata apa, jika ia bertanya sesuatu kepadaku. Karena, jujur saja, saat ini aku sedang tidak ingin melihatnya sama sekali.
Saat aku menyadari bahwa Fian tidak mengejarku, aku masih berhenti di depan kelas dan menoleh ke belakang. Aku melihat Fian yang membalikkan badannya. Aku merasa, Fian sudah tidak seperti dulu. Dulu, saat kami baru saja dekat.
Saat ini, aku berada di ujung dilema. Sebenarnya, aku berharapFian akan mengejarku dan menyapaku, tapi pada sisi yang lain, aku sedang tidak ingin melihat wajah orang yang aku sayangi, sekaligus wajah itu yang membuat aku tersakiti.
Apakah perempuan selalu se-dilema ini? Jika berhadapan dengan cinta? Ribet sekali.
Tanpa aku sadari, air mataku menetes. Tubuhku lemas ketika mengingat apa yang baru saja aku lihat dengan kedua mataku. Kekasihku sedang menikmati paginya bersama dengan mantan kekasihnya. Bukankah ada kemungkinan bahwa mereka akan mulai menyukai satu sama lain lagi?
“Nafisah? Kok nangis?” tanya Gina, temanku.
Saat itu, aku baru menyadari bahwa air mata sudah membasahi pipiku. Aku dengan segera menghapus air mataku.
“Hem, tidak ini hanya kelilipan tadi,” jawabku seraya menghapus air mataku dan tersadar dari lamunanku.
“Are you okay?” tanya Gina sekali lagi.
Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Gina. Tapi, aku sedang tidak baik-baik saja saat itu. Tanpa basa-basi lagi, Gina merangkul pundakku dan menepuk-nepuk pundakku kemudian mengajak aku ke dalam kelas.
Dan ternyata…

Komento sa Aklat (87)

  • avatar
    Uda Win

    mantap dan asik

    10d

      0
  • avatar
    Rizkiikilonek

    assalamualaikum

    12d

      0
  • avatar
    Fajrin Setyawan

    bagus

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata