logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Lika-liku Luka

Lika-liku Luka

Dyara Sin


Dituntut Pertanggungjawaban

Tok, tok, tok!
"Keluar kau, laki-laki brengsek! Dasar pengecut! Buka pintunya, gak?"
Suara gedoran pintu diiringi teriakan umpatan penuh makian, membuat Luka dan salah satu pegawai yang ada di dalam ruangan seketika menoleh ke arah pintu. Sesaat kemudian pandangan Luka beradu dengan pegawai yang berdiri tepat di depannya. Keduanya sama-sama mengernyit bingung saat suasana dalam ruangan yang tadinya tenang tiba-tiba mendengar suara ricuh di luar ruangan.
"Sebentar, Pak. Sebaiknya, saya yang keluar saja untuk memeriksa apa yang terjadi sebenarnya," ujar sang pegawai dan diikuti anggukan samar Luka yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
Pintu terbuka dan teriakan seorang wanita seketika berhenti. Kini, wanita itu tampak menatap tajam penuh amarah ke arah Luka.
Seorang wanita yang membiarkan rambut sebahunya tergerai itu mendekati Luka yang masih berada di tempat duduknya. Wajah wanita itu merah padam dan tampak bekas lelehan buliran bening yang membasahi pipinya.
"Anda ini siapa ya, Mbak, kok, berani-beraninya nyelonong ke ruangan ini? Apa yang anda lakukan di sini?" tanya seorang pegawai yang membukakan pintu tadi. Ia mendekati gadis itu yang ternyata telah berdiri di hadapan Luka. Seketika, pegawai itu tersentak dengan kenekatan dan keberanian wanita itu.
Plak!
Gadis itu mencondongkan tubuh kemudian melayangkan tamparan keras ke arah bagian kiri wajah Luka.
Reflek, Luka yang mengenakan setelan jas berwarna coklat memalingkan wajah. Rasa panas layaknya terbakar membuat Luka sedikit meringis kesakitan. Tangannya terangkat mengusap pelan bekas tamparan di pipi kirinya itu.
Sementara wanita itu masih tampak kilatan murka di sorot matanya. Ia berdiri tepat di depan meja kerja Luka sambil napasnya terengah-engah. Sesekali ia mengusap buliran bening yang telah menggenang di kelopak matanya.
"Enak sekali kamu, ya? Sesuka hati memblokir nomerku setelah kejadian itu. Bukan hanya itu, kamu juga pergi begitu saja tanpa rasa bersalah! Laki-laki macam apa, sih, kamu? Tega-teganya memperlakukan begini sama aku. Haa!" teriak gadis itu dengan amarah yang memuncak.
Luka masih bungkam dan tampak bergeming di tempat. Ia tak menanggapi wanita yang mengomel tanpa henti di depannya itu. Namun, dengan tenangnya ia tetap mengarahkan pandangan ke wajah wanita itu.
Suara derap langkah setengah berlari di luar ruangan membuat Luka seketika berpaling ke arah pintu. Dengan wajah cemas, dua orang satpam merangsek ke ruangan Luka.
"Maafkan kami, Pak. Kami akan segera menyeret dia dari ruangan Bapak," ucap salah satu satpam yang masih berdiri di depan pintu. Keduanya mengangguk hormat kemudian melangkah masuk.
"Sebentar. Biarkan saja dulu!" cegah Luka membuat pegawai dan dua orang satpam itu saling beradu pandang, mengernyit bingung. Sedangkan wanita yang tidak diketahui dari mana asalnya itu tetap mengarahkan tatapan ke wajah Luka.
"Sementara kalian bertiga, tunggu di luar dulu. Biarkan dia di sini," imbuh Luka memerintah salah satu pegawai dan dua satpam itu untuk keluar ruangan. Ketiganya lantas tunduk dengan perintah Luka dan langsung meninggalkan ruangan.
Ruangan kerja Luka kini hanya tersisa dirinya dan wanita itu. Suasana dalam ruangan menjadi hening seketika. Luka menghela napas pelan, berusaha bersikap tenang seperti biasanya karena bukan kali ini saja ia menghadapi wanita. Kemudian, ia mengalihkan tatapan ke arah wanita itu lagi.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanya Luka dengan raut datar dan bernada dingin.
Netra wanita itu tampak membulat begitu mendengar pertanyaan Luka. Seketika kedua alis wanita itu berkerut dan hampir saling bertautan seolah-olah sedang merasa heran.
"Ya Tuhan! Kamu bertanya siapa aku? Stop! Kali ini aku gak ingin bercanda denganmu!" pekik wanita itu yang emosinya semakin membuncah.
"Aku sama sekali juga sedang tidak bercanda sekarang. Tapi, tunggu! Apakah kamu pernah tidur denganku?" tanya Luka kemudian sambil memicingkan mata.
"Ayolah, Luka! Apa kamu benar-benar telah pikun?" Dengan kasar wanita itu kembali bertanya. Kilatan murka masih terlihat jelas di sorot matanya.
"Aku gak bisa mengingatnya satu per satu. Sudah puluhan wanita yang tidur dan berkencan denganku," sahut Luka masih dengan ekspresi tenangnya.
"Brengsek! Sialan, kamu!" umpat wanita itu dengan rahang mengeras dan tangan mengepal.
"Oke! Oke! Lebih baik duduklah dulu dan bicara dengan kepala yang dingin. Gak perlu berteriak dan marah-marah di sini." Luka mempersilakan duduk wanita itu.
Masih dengan jantung yang bertalu-talu, wanita itu lantas menuruti perintah Luka. Tatapannya kemudian tertuju pada Luka lagi, usai duduk di sofa yang berada di sudut ruangan.
Luka beranjak dari duduknya kemudian menghampiri wanita itu. Keduanya lantas duduk berhadapan dan hanya dipisahkan oleh meja kaca.
"Cindy?"
"Bukan! Jauh banget? Namaku Bella," pungkasnya.
"Oh iya, Bella. Sorry!" Luka manggut-manggut begitu bisa mengingat nama wanita di hadapannya itu.
"Syukurlah, kalau kamu udah ingat aku."
"Sorry! Selama ini aku gak bermaksud menghilang begitu saja. Hanya saja akhir-akhir ini, aku begitu sibuk dengan pekerjaan."
"Baiklah. Gak perlu banyak basa-basi dan aku udah gak mau mendengar alasanmu! Aku ke sini hanya ingin menuntut tanggung jawabmu aja. Saat ini aku telah berbadan dua," ujar Bella yang masih tampak emosi.
"Maksud kamu, hamil denganku, gitu?" tanya Luka sambil mengernyitkan dahi, menatap heran ke arah Bella.
"Iya, aku hamil anakmu!"
"Apa buktinya?" tanya Luka kemudian.
Wanita itu kemudian membuka tas dan meraih sebuah amplop yang berlogo rumah sakit swasta di daerah Jakarta Selatan. Sesaat kemudian menyodorkannya ke arah Luka.
Luka terdiam sejenak, ia tengah membaca selembar kertas yang berisikan hasil tes kehamilan milik wanita itu.
"Astaga ...! Ada-ada saja kamu!" ucap Luka sambil terkekeh di hadapan Bella setelah membaca selembar kertas itu.
Wanita itu meremas ujung atasan baju yang dikenakannya. Tawa bernada ejekan dari Luka membuat kemarahannya bangkit lagi. Ia menatap sinis ke arah Luka.
Luka menghentikan tawa saat menyadari sorot mata wanita itu semakin tajam ke arahnya. Sejenak, Luka menyentuh sudut matanya yang basah usai menertawakan Bella.
"Ternyata kamu pandai membuat lelucon," ucap Luka sambil mengembangkan senyum.
"Padahal sudah kukatakan, kalau aku sedang tidak melucu. Bahkan saking seriusnya, aku nekat datang ke sini," balas Bella tanpa sungkan.
Luka termenung sejenak, ekspresi wajahnya dengan cepat berubah datar dan dingin. Ia menatap tajam, menukik ke arah manik hitam milik Bella seakan-akan sedang menelisik kejujuran wanita itu.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan kalau kamu memang hamil denganku? Apa kamu meminta untuk dinikahi?" cecar Luka dengan ujung bibir terangkat ke atas.
Baru hendak menjawab, seketika Bella tersentak. Luka kembali terkekeh, seakan-akan mengejeknya.
"Jangan mimpi kamu!" gertak Luka sambil menyeringai sinis.
"Kamu gak bisa memperlakukan aku begini, Luka. Kamu harus bertanggung jawab. Aku gak ingin anak ini lahir tanpa ayah. Aku juga tidak sanggup mengatakannya pada orangtuaku," rengek Bella bernada memohon pada Luka. Wanita itu kini terlihat lemah.
"Eit, kamu tidak berhak memaksaku untuk bertanggung jawab! Belum tentu bayi yang kamu kandung itu darah dagingku." Lagi-lagi Luka tersenyum sinis.
"Sudah pasti ini anakmu. Tak ada laki-laki lain yang tidur bersamaku. Bahkan malam itu adalah saksi saat kesucianku, kamu renggut." Bella bersikeras, ia tidak bisa menerima begitu saja tuduhan Luka yang berusaha ingin lari dari tanggung jawab.
"Terima kasih kalau begitu," ucap Luka sembari tersenyum lebar. Padahal ia baru saja terkejut dengan pengakuan Bella, tetapi dengan cepat mengendalikan diri dan kembali tenang.
"Aku minta kamu bertanggung jawab, Luka. Kamu tidak boleh menghindar dan lari begitu saja," pinta Bella sambil mengelus perut yang mulai membuncit itu.
Luka menghela napas dalam, desahan lirih lantas meluncur dari mulutnya.
"Baiklah. Aku akan tanggung jawab, tapi tidak dengan cara menikahimu." Kali ini, Luka berbicara serius.
Luka beranjak dari duduknya menuju meja kerja. Ia membungkuk, menggeser sebuah laci kemudian meraih buku cek. Sesaat kemudian ia kembali menghampiri Bella.
"Sebagai gantinya tidak menikahimu, kamu boleh meminta sejumlah nominal kepadaku. Sebutkan saja!" ujar Luka sambil mengarahkan ujung bolpen ke lembar cek.
Bella justru bergeming. Netranya tampak tergenang oleh buliran bening yang siap menganak sungai.
Luka mendongak begitu menyadari Bella tak lekas menjawab.
"Pilih hanya diam atau segera menyebutkan nominal?" tanya Luka dengan mimik serius.
Bella lagi-lagi hanya terdiam membuat Luka geram. Laki-laki itu kemudian menuliskan sejumlah nominal di lembaran cek.
"Saat ini dua ratus juta dulu dan langsung bisa dicairkan," ujar Luka sembari menyodorkannya di meja, tepat di depan Bella.

Komento sa Aklat (38)

  • avatar
    DamiaShelly Ramadhani

    enak banget membaca novel ini.

    31/01/2023

      0
  • avatar
    Yenchiey

    good

    09/08/2022

      0
  • avatar
    Cahaya Mata Hari

    kkkkkk

    26/07/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata