logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Titisan Sang Puteri

Ardi merunduk, cakar burung gaok menggores tangan yang menjadi perisai wajahnya. Rinto yang sangat ketakutan, tampak lari tunggang langgang menuju kamarnya, meninggalkan Ardi seorang diri.
Di hadapannya kini, seorang wanita tambun yang berkacak pinggang dengan kilatan amarah yang memuncaki ubun-ubunnya.
"Kau sedang apa, bocah?" telunjuknya menodong raga Ardi, lelaki itu memngusap-usap wajah serta tubuhnya. Dia pun bangkit, dan meladeni omongan wanita yang sedang dirundung kemurkaan.
"Sudahlah, Bu Erlin. Kalau memang Ibu mempunyai hati tulus, tinggalkan saja semua ini." Ardi menuturkan. Bu Erlin mencebikkan mulutnya, dan meludah ke samping. Sepertinya, ia sangat meremehkan apa yang diucapkan lelaki ini.
"Sok jagoan, kamu. Sudah pintar menasihati orang tua. Kamu pikir siapa dirimu? Aku tahu, perewanganmu melawan Kurnia kemarin malam. Tapi, jangan sangka dengan hal itu, kamu simpulkan ilmuku hanya segitu saja."
Bu Erlin masih berdecit, ia merasa tak terima bila berhadapan dengan orang macam Ardi, tak sebanding dengan apa yang Bu Erlin tekuni.
"Ah, nggak usah basa-basi, Bu. Saya tahu apa yang bikin Ibu jadi seperti ini. Tentu, akan ada pengorbanan besar bila Ibu teruskan," tandas Ardi seraya menunjuk cincin berbatu merah delima, yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
"Ha ha ha, bocah ingusan sok tahu! Bila kamu ingin selamat, segeralah pergi. Jangan kau usik aku. Biarkan semua terjadi, jadilah penonton saja. Karena ilmumu masih jauh dariku," tegas Bu Erlin.
"Asal kamu tahu, Kurnia—hantu rambut panjang—adalah peliharaanku. Kini, aku bukanlah seperti yang dulu. Karena aku punya mandat, untuk merebut gedung ini. Dan memakainya untuk melakukan ritual besar-besaran. Akan banyak pertumpahan darah nantinya, salah satunya yang telah terjadi. Sudah kau dan teman-temanmu yang masih ingusan itu, sok belagu mengungkap misteri ini. Dan, kau sudah tahu. Ya, akulah pelaku atas hilangnya Pak Lasiman."
Bu Erlin terkekeh, persis ringkikan anak didiknya—Kurnia-.
Ardi semakin berkeringat, sikap kuda-kuda yang telah ia posisikan semakin melemah. Gemetar seluruh tubuhnya tak bisa terelakkan, entah mengapa begitu, ia sendiri pun tak tahu.
Lengkah Ardi beringsut mundur. Ia merasa saat seperti ini tak bagus bila ia teruskan. Menunggu waktu yang tepat dan ketika lengah, adalah jalan ninja yang baru ia temukan dalam otaknya.
"Maafkan, aku, Bu Erlin. Memang aku hanyalah anak ingusan yang ingin menemukan jati diri dengan mengungkap misteri yang terjadi. Namun, ketika aku tahu kebenarannya, maka aku harus benar-benar mundur dari apa yang Ibu rencanakan itu," cetus Ardi. Ia berusaha memancing Bu Erlin agar mengaku hal lain yang sangat penting dan utama.
Bu Erlin mengangguk, tangannya yang berada di pinggang sudah ia turunkan. Rupanya tensi kemarahan wanita itu sudah mereda. Ardi sangatlah cerdas, dengan merendah, maka ia pun mengetahui titik kelemahan seperti apa yang Bu Erlin miliki.
Tangan Ardi ditangkupkan sebagai simbol permintaan maaf. Bu Erlin pun melengos tak peduli. Wanita itu kembali ke pondoknya, namun sebelum melangkah Ardi memohon pada Bu Erlin, agar ia menjadi muridnya.
*
Lala dan Debi duduk di depan kelas. Kedua gadis itu sedang celingak-celinguk.
"Ternyata menunggu itu, membosankan, ya, Deb?" cakap Lala seraya membetulkan posisi bajunya yang sedikit tak rapi serta rambutnya yang agak berantakan.
"Duh, duh. Yang pengen ketemu Ardi, rapi-rapi terus, nih," sindir Debi. Seketika wajah Lala tersipu malu.
Debi menyikut lengan Lala, "Tuh, cowok idolamu." Lala melontarkan senyum pada Ardi, namun cowok itu cuek, beralih muka dan langsung masuk dalam kelas.
"Dasar, arogan!" bentak Lala lirih. Tekad bulat gadis itu membuatnya nekat untuk mendatangi Ardi di bangkunya.
"Heh! Kamu, Ardi 'kan?" tanya Lala dengan nada lantang, sembari menggebrak kecil bangku Ardi.
Tetap tenang, Ardi berusaha tidak tersulu emosi, karena ia harus setenang mungkin supaya Nurdin tidak terpanggil juga.
"Ya, apa maumu?"
"Ih, sombong banget!"
Ardi bangkit meninggalkan Lala yang masih dengan kekesalannya itu. Cowok itu tak ingin bila ada yang memakai dirinya, apalagi cewek tak dikenalnya macam Lala.
*
Debi meminta maaf pada Ardi, karena Lala sudah bersikap buruk pada cowok itu. Ardi mengangguk dan langsung pergi dengan Rinto.
Jam pelajaran yang tak terlalu padat, membuat Geng Kapak memutuskan untuk melakukan rundingan.
Di bawah pohon jamblang, merupakan tempat favorit mereka untuk berkumpul dan membicarakan banyak hal terkait masalah yang dialami oleh setiap anggota geng.
"Oke, dimulai dari kamu Wita. Silahkan curhat apa masalahmu pada kita," ujar Lala. Sementara disampingnya, Ivon telah siap untuk mencatat dari inti diskusi.
Enam gadis tergabung dengan nama "Geng Kapak" telah saling bertukar pikiran dan pendapat. Kini, giliran Lala, sang ketua geng.
"Kalian tahu 'kan, akhir-akhir ini aku sering ngelamun. Bukan hanya Aruni yang tukang ngelamun, aku pun terkena syndrom ngelamun. Entah kenapa, ya? Menurut kalian?" beber Lala. Perasaan atau moodnya yang tak karuan, membuatnya berani untuk mengungkapkan hal pribadinya ini. Meskipun ia tahu, bahwa nanti teman-temannya akan membullynya.
"Ah, itu jatuh cinta namanya, sayang. Sama Ardi, 'kan?" ungkap Debi sambil menunjuk ke arah Lala.
Lala merona. Lainnya pun ikut berseloroh.
Para gadis kembali pulang, terlihat Ardi berdiri di depan pagar asrama putri. Barisan Geng Kapak, berhenti untuk menanyai perihal maksud Ardi di sana.
"Aku menunggu kamu." Ardi menunjuk Lala. Sontak teman yang lain meledeki dua sejoli itu.
"Ke-kenapa, Di? Kamu tahu, namaku nggak?" ucap Lala memperhatikan gerak gerik Ardi yang terus menunduk tak ingin beradu pandang dengan gadis itu.
"Lala Avionna Putri, seorang gadis tunggal dari Kota Tua. Kamu... Naksir aku 'kan?" tandas Ardi. Ia tak sedikit pun memikirkan perasaan Lala.
"Oke, kalau memang kamu hanya ingin aku malu, juga ingin kamu terlihat wah dan unggul. Lebih baik aku cabut saja permintaanku tempo hari. Dan, ingat! Anggap kita tak pernah saling mengenal! Paham?" Lala tergores kekecewaan yang begitu mendalam dengan ucapan singkat Ardi.
"Kau payah, Di," protes Rinto. "Aku aja, udah pacaran loh ama salah satu anggota geng mereka," imbuhnya.
Ardi gelagapan setelah mendengar pernyataan Rinto. Lalu ia menggeleng, tanda tak begitu memahami apa arti sebuah hubungan.
*
"Hwek!" Rista muntah-muntah di kamar mandi, badannya yang lemas tak memungkinkan ia naik untuk kembali ke kamar.
Terpaksa Lala dan Ivon, yang merupakan teman sekamarnya menunggui di lobi asrama.
"Von, La. Aku dah siuman, nih." Rista terbangun sambil memijati keningnya.
"Eh, di luar sana kok pemandangannya bagus, sih. Tamannya rapi, ya?" imbuh Lala sembari berjalan sempoyongan ke luar lobi.
"Itu 'kan jalan menuju asrama putra, Ris," ungkap Ivon.
Lala dan Ivon akhirnya mengikuti saran Rista untuk sekedar berjalan-jalan melihat taman yang panjang memisah gedung asrama.
Bu Erlin datang, ia tampak sedang tergesa-gesa keluar dari pondoknya. Namun, Secara kebetulan ia mendapati anak asuhnya berjalan-jalan malam-malam begini.
"Hei, kalian. Ayo kembali ke kamar!" bentak Bu Erlin. Mereka bertiga menurut. Akan tetapi, pergelangan tangan Lala dicekal oleh seseorang.
"Ardi?" panggil Lala. Kedua mata Ardi beradu pandang dengan Lala. Persis seperti drama internasional.
Plok! Plok! Gemuruh tepuk tangan Bu Erlin mengiringi pertemuan Ardi dengan ketiga gadis asuhan dirinya.
Seketika jin Nurdin datang menghadang jalannya Bu Erlin. Asap putih yang membelakangi tubuh Ardi, membuat Bu Erlin beringsut mundur.
"Kau jangan macam-macam, Ardi! Bila kau biarkan jinmu melawan aku, sudah dipastikan bahwa nyawamu akan terancam."
Kurnia pun datang untuk membela Bu Erlin. Ivon hampir mati berdiri menyaksikan kejadian itu tepat di depan matanya. Lala yang tak memiliki mata batin, hanya terdiam menatap Bu Erlin yang seperti orang kesurupan serta merta memegangi selendang yang terlilit di pundaknya.
Bu Erlin menari-nari. Lemah gemulai nan anggun, pembawaan Bu Erlin kini. Entah siapa yang merasukinya.
"Bu Erlin, plis bilang siapa dirimu sebenarnya?" Ardi memberanikan dirinya. Nurdin yang harusnya menjadi tameng majikannya, kini sudah berubah menjadi asap.
Matanya melotot dan meneriakkan sesuatu.
"Aku bukan Erlin Ningsih, melainkan Puteri Condrowilwotikto yakni titisan Sang Puteri, Puteri Anuwiryaningrat di Van de Burgh ini. Paham!" tegas raga Bu Erlin sambil terkekeh girang.
Ardi, Lala dan Ivon terhenyak, ia tak sanggup berkata apa-apa. Mereka tak paham siapa itu Sang Puteri. Agaknya mereka harus mencari tahu sendiri, yang pasti dengan sedikit bantuan dari luar.
Bersambung

Komento sa Aklat (161)

  • avatar
    Dodi Cahyono Eko

    ceritanya sangat bagus...jadi ingat anak yang lagi mondok di pesantren..dia tinggal di asrama yg menurut ceritanya ada hal2 berbau horor..

    01/09/2023

      0
  • avatar
    Mobile Legendss

    that was awesome and nice

    2d

      0
  • avatar
    Afiq Fif

    best sangat

    2d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata