logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 3 - Cinta, Harus Berkorban, Bukan?

Bab 3
Cinta Harus Berkorban, Bukan?
***
Selesai mengantar Tati ke sekolah, aku langsung mengendarai mobil pikap ini ke tempat proyek, terlambat setengah jam dari biasanya. Di sana, sudah terlihat mandor proyek irigasi yang dipekerjakan oleh perusahaan tempatku bekerja.
"Dari mana, Yud? Tumben lama datang ke lokasi?" tanya Pak Broto padaku.
Ya, Pak Broto-lah mandor yang ditunjuk untuk memantau proyek irigasi ini. Pak Broto, laki-laki berusia 48 tahun, bertubuh tinggi tegap dan sudah kuanggap sebagai orang tuaku seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Bukan tanpa alasan, karena aku lebih sering bertemu dengan Pak Broto dari pada bertemu dengan bapak kandungku.
"Habis dari sekolah, Pak," jawabku sekenanya.
Sudah pasti akan ada pertanyaan tambahan yang nanti diajukan bapak angkatku ini.
"Ngapain? Kamu mau daftar sekolah lagi?" tanya Pak Broto, matanya seperti sedang mengulitiku.
Sudah kukatakan bukan, dia pasti akan kepo dengan urusanku. Ah, bukan kepo, lebih tepatnya perhatian padaku.
"Ah, Bapak ini bercanda. Umur dua puluh delapan tahun masa mau sekolah," kataku sembari tertawa, berusaha mencairkan suasana.
"Ya, kenapa tidak, Wahyudi? Kamu pintar, gak apa-apalah kalau kamu teruskan sekolah, ambil paket c," kata Pak Broto.
Saran yang sangat bagus sebenarnya, tetapi pikiranku saat ini bukan melanjutkan sekolah lagi, toh aku juga sudah setua ini. Tak pantas rasanya jika melanjutkan sekolah hanya demi sebuah ijazah. Tugasku saat ini hanya membahagiakan Mbah, nenek yang selama ini merawatku.
"Enggak lah, Pak, biar saja aku tamat SD. Sekarang fokusku mau bekerja bagus-bagus, membahagiakan Mbah, baru menikah," kataku.
Ah, kalimat terakhir itu seperti jebakan batman yang kubuat sendiri. Sudah pasti, Pak Broto akan bertanya lagi, ah mulutku ini benar-benar keceplosan.
"Tumben bahas mau menikah, ada apa ini, cerita sama Bapak," ujar Pak Broto.
Sudah kuduga, Pak Broto pasti akan bertanya lebih lanjut lagi, mungkin karena dia amat sangat sayang padaku.
"Ehm, itu ... ya wajar Pak, kalau Wahyu mikirin nikah, secara ‘kan umur Wahyu sudah dua puluh delapan tahun, mau sampai kapan tetap menjomlo, iya kan?" Aku mulai bertanya pada Pak Broto sembari menggaruk kepala yang tak terasa gatal.
"Wajar-wajar sekali kalau kamu mau nikah. Cerita sama Bapak, siapa gadis yang membuatmu terpincut? Anak gadis Pak Sugiono ya? Yang mana?" Pak Broto memberikan banyak pertanyaan padaku.
"Ehm, Bapak tahu dari mana?" tanyaku heran.
Ya, bagaimana tak heran, baru kemarin aku ke rumah Pak Sugiono, orang tua Tati, masa Pak Broto sudah tahu kalau aku naksir anaknya, padahal aku belum cerita apa-apa.
"Ya, tahu lah. Bapak kan juga orang tuamu, Yud, jadi wajar saja Bapak tahu tingkah lakumu selama ini," jelas Pak Broto.
Waduh, berarti Pak Broto juga tahu kalau aku naksir sama Tati? Ah, masa iya Pak Broto tahu?
"Bapak ini, bisa saja, ayo Pak kerja, nanti dimarahi Ko Acong kalau kita gak kerja," jawabku mengalihkan pembicaraan.
"Ya udah, kerja. Kalau memang naksir sama anak Pak Sugiono, pepet terus ya, Yud, Bapak dukung kamu," nasihat Pak Broto padaku.
Aku, hanya bisa tersenyum cengengesan.
***
Siang hari kami kembali ke indekos, terlihat dari kaca spion mobil kalau Ibu indekosku sedang memarahi Tati.
"Kenapa itu Bu Sarawiah ngomel-ngomel sama anak Pak Sugiono?" tanya Pak Broto padaku.
Pertanyaan itu juga berada di kepalaku saat ini. Ada apa sebenarnya? Apa Tati buat salah sama Bu Sarawiah yang notabene adalah induk semang tempatku dan para pekerja lainnya berteduh?
Buru-buru, aku memarkirkan mobil, kemudian menyusul Pak Broto yang sudah lebih dahulu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada apa ini?" tanya Pak Broto pada orang-orang yang berkumpul di rumah Pak Sugiono.
Tak satu pun yang menjawab, malahan kini Bu Sarawiah mengomel dan menuduh Tati yang tidak-tidak.
"Jangan kegatalan jadi anak gadis! Perawan kok mau-maunya diantar laki-laki!" ucap Bu Sarawiah pada Tati dengan tatapan sinis.
"Aku gatal? Maksud Cik apa ya? Bukannya Cik yang gatal? Selama ini Cik ‘kan yang suka goda-goda bapakku, padahal Cik sudah punya suami di rumah!" ucap Tati tak kalah sinis.
"Dasar perempuan! Bisa-bisanya membantah orang tua!" Bu Sarawiah seperti ingin menerkam Tati.
Aku buru-buru melerai Bu Sarawiah yang terlihat ingin menguliti gadis pujaan hatiku itu.
"Bu, jangan main kekerasan, ada apa ini?" tanyaku saat sudah sampai di kerumunan rumah Tati.
"Ini loh, si Tati, gatal sekali jadi perempuan. Dia pasti sudah menggoda Nak Wahyu, 'kan? Makanya tadi pagi Nak Wahyu mau mengantar Tati ke sekolah?" tanya Bu Sarawiah.
Aku menggaruk kepala yang rasanya tak gatal, kenapa jadi Bu Sarawiah menuduh Tati yang bukan-bukan, ternyata akulah sumber masalah kerumunan ini. Baiklah, demi nama baik Tati, maka akan kujelaskan sejelas-jelasnya pada induk semangku ini.
"Begini Bu, Tati tak pernah menggodaku. Akulah yang menawarkan tumpangan padanya, kalau Ibu menuduh Tati gatal, Ibu salah besar. Aku yang mengajak Tati naik mobil ke sekolah," jelasku.
Bu Sarawiah tampak tak senang menerima penjelasanku. Terserah lah, toh memang aku yang meminta Tati untuk pergi sekolah naik mobil.
"Jadi, Bu, silakan minta maaf sama Tati, karena Ibu sudah menuduh Tati yang bukan-bukan," kata Pak Broto akhirnya.
"Gak usah minta maaf pun, Cik sudah saya maafkan. Saya sudah hapal benar bagaimana tingkah Cik yang tak suka dengan keluarga kami," ujar Tati sambil memberikan senyum terbaiknya.
Bu Sarawiah mencebik, bukannya minta maaf dia malah ngeloyor pergi begitu saja. Duh, induk semangku memang keterlaluan. Sudah menuduh tanpa bukti, malah tak mau minta maaf. Beruntung, Tati orangnya penyabar dan mau memaafkan Bu Sarawiah, baik hati sekali kekasih pujaanku ini.
Setelah kepergian Bu Sarawiah, kerumunan pun bubar, aku, Pak Broto, dan Tati duduk di teras rumah sederhana milik Tati.
"Maaf ya, gara-gara Abang, kamu dimarahi sama Bu Sarawiah," ucapku menyesal.
"Gak apa-apa, Bang, santai aja. Cik Sarawiah memang seperti itu," kata Tati menanggapi permintaan maafku.
"Iya, Abang jadi gak enak hati, soalnya kan Abang yang paksa kamu buat ikut sama Abang, naik mobil," kataku.
"Ah, gak apa-apa, Bang. Lumayan juga ‘kan, Tati jadi gak jalan ke sekolah, jadi gak capek," kata Tati.
Aku hanya tertawa mendengar jawaban Tati.
"Iya, Dek, sebagai permintaan Abang, nanti malam kita nonton layar tancap ya?" ajakku.
Tati tampak berpikir sejenak, mungkin ia takut dimarahi oleh Bu Sarawiah lagi, tetapi kemudian ia mengangguk tanda setuju.
"Bolehlah, aku ajak Kak Tini sama Kak Giarti ya? Atau aku juga akan mengajak Lisa dan Inur, biar ramai, boleh?" tanyanya.
Pak Broto langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Tati, terlebih melihat ekspresi wajahku saat ini, seakan bapak angkatku itu tahu isi hati anak angkatnya ini.
Aku menggaruk kepala, maksud hati ingin berduaan saja, malah Tati membawa empat body guard, malah yang dua badannya besar, nasib-nasib. Tak apa-apa lah, demi cintaku pada Tati, mau tak mau harus kuiyakan juga permintaannya. Cinta kan memang harus berkorban, benar ‘kan?

Komento sa Aklat (47)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus💖lanjut

    17d

      0
  • avatar
    KurniatiIfa

    bagus

    12/02/2023

      0
  • avatar
    alifah ilyana

    good👏🏻👏🏻

    12/09/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata