logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2 - Bertanya Pada Inur dan Lisa

Bab 2
Bertanya pada Inur dan Lisa
“Jika harus bertanya siapa gerangan dirimu, wahai gadis yang membuatku jatuh hati, maka itu akan kulakukan.”
-Wahyudi-
***
“Oh iya, tadi siang ada juga yang numpang naik truk, kalian kenal siapa dia?” tanyaku.
Inur dan Lisa saling memandang lalu tersenyum. Mungkin karena dia tahu siapa yang kumaksud.
“Orangnya cemana, Bang? Kurus, kecil, putih, matanya sipit, badannya kecil?” tanya Inur.
Aku mengangguk, ya, ciri-ciri yang disebutkan Inur persis seperti gadis yang menumpang tadi siang.
“Iya, kok kamu tahu?” tanyaku curiga.
“Bukan sekadar tahu, aku juga kenal, Bang,” kata Inur.
Aku penasaran siapa gerangan gadis itu.
“Rumahnya dekat dengan rumah Bu Sarawiah, kamu kenal?” tanyaku lagi.
Inur dan Lisa mengangguk.
“Kenal Bang, dia itu Ibu kami, adiknya Mamakku,” kata Inur dan Lisa berbarengan.
Aku mengangguk, tanda paham. Ternyata mereka yang menumpang ini adalah keponakan gadis itu.
“Oh, kalian ini keponakannya, eh, siapa nama Ibu kalian itu?” tanyaku tak membuang-buang waktu.
“Namanya Tati, Suhartati,” jelas Inur.
Aku mengangguk lagi, ternyata nama gadis itu adalah Suhartati. Tak terasa, aku sampai di depan rumah Bu Sarawiah. Inur dan Lisa pun turun, mereka mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih ya Bang Wahyu, atas tumpangannya, besok-besok kami numpang lagi,” kata Inur.
Aku hanya mengangguk saja sambil tersenyum. Kulihat, Lisa dan Inur masuk ke rumah yang sama seperti Tati tadi. Berarti benar kalau yang tadi siang menumpang adalah saudara mereka.
***
Sudah seminggu aku berada di sini, dan selama itu pula aku sering bertemu dengan gadis yang membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Siapa lagi kalau bukan Suhartati. Bagaimana bisa aku tahu namanya? Apa aku mengajaknya berkenalan? Ah, kalian salah! Aku tak punya keberanian untuk mengajak gadis itu berkenalan. Betapa payahnya aku! Namun, aku memiliki keberanian untuk bertanya langsung pada orang keponakannya. Pepatah bilang, kalau ingin mendekati anaknya, dekati dulu Bapak dan anggota keluarganya! Itulah yang kulakukan saat ini.
Aku berkunjung ke rumah yang selama seminggu ini menjadi pusat perhatianku.
"Assalamualaikum," ucapku pada penghuni rumah sederhana beratapkan pelepah kelapa dan beralaskan tanah.
"Waalaikumussalam," jawab lelaki dengan usia mungkin setengah abad.
"Cari siapa, Nak?" tanya laki-laki tua itu ramah.
"Ah, saya ingin kenalan dengan anak Bapak," jawabku keceplosan.
"Hah? Kenalan dengan anak saya? Anak saya yang mana?" tanya lelaki itu terkejut.
"Eh, salah, maksud saya, saya ingin berkenalan dengan Bapak. Perkenalkan, nama saya Wahyudi, saya tetanggaan dengan Bapak. Saya adalah salah seorang pekerja yang membuat irigasi di sini," jelasku.
"Boleh saya masuk, Pak?" tanyaku tak tahu malu.
"Oh iya, silakan masuk! Mau minum apa? Teh atau kopi?" tanyanya lagi.
"Ah, tak usah repot-repot, Pak. Saya cuma mau main saja, butuh teman ngobrol, sudah seminggu ini gak ada teman ngobrol kecuali sesama teman kerja. Saya juga ‘kan butuh sosialisai dengan warga di sini," terangku padanya.
Lelaki itu manggut-manggut, tetapi juga tetap menyuguhkan segelas teh untukku.
"Maaf ya, cuma ada teh saja," katanya sembari menyajikan teh hangat yang asapnya masih mengepul.
"Ah, ini juga sudah cukup, Pak. Oh iya, nama Bapak siapa?" tanyaku.
"Oh, iya, saya hampir lupa mengenalkan diri pada Nak Wahyu. Saya Sugiono, sudah lama bermukim di desa ini, sejak jaman Jepang," terang lelaki yang bernama Sugiono itu.
"Wah, berarti Bapak ini sudah ada di sini saat jaman penjajahan dong?" tanyaku.
"Lah iya, saya dulu tinggal di Jepara, tetapi pindah tugas ke desa ini, saya ini seorang tentara," terangnya.
Aku menelan saliva, ternyata Bapak gadis itu adalah tentara. Pantas saja, tubuhnya kekar dan berotot, tak sepertiku yang tinggi, tetapi kurus kerempeng begini.
"Wah, Bapak seorang veteran ternyata, suatu kehormatan bisa bertemu dengan abdi negara seperti Bapak," kataku basa-basi.
"Biasa saja, Nak. Memang sudah kewajiban kita sebagai anak bangsa untuk membela negara," katanya lagi.
"Oh iya Pak, kalau boleh tahu, Bapak di sini tinggal bersama siapa?" tanyaku lagi seperti wartawan tak bergaji.
"Ah, iya. Bapak tinggal bersama anak-anak dan dua cucu. Istri sudah meninggal lama, sudah sekitar empat tahun lalu," terang Sugiono.
Aku, hanya bisa ber-oh ria.
"Turut berduka ya, Pak, saya tak tahu kalau istri Bapak sudah meninggal," kataku lagi.
"Iya, gak apa-apa," jawabnya.
Saat kami sedang berbincang, dua orang gadis muda masuk ke rumah sederhana itu, mengucap salam.
"Assalamualaikum," kata mereka kompak.
"Waalaikumussalam," jawabku dan Pak Sugiono.
Aku tersenyum ke arah mereka berdua, terlebih, salah satunya adalah gadis yang membuat jantungku berdebar-debar. Gadis yang seminggu lalu numpang bersamaku menaiki truk.
"Ini anak Bapak yang nomor enam dan tujuh," kata Pak Sugiono memperkenalkan anaknya.
"Ini namanya Suhartini, kalau yang badannya kecil ini namanya Suhartati," jelas Pak Sugiono.
"Wahyudi," kataku sembari mengulurkan tangan.
"Suhartini," kata gadis berbadan gembul yang merupakan anak keenam Pak Sugiono.
"Suhartati, panggil aja Tati," kata gadis yang membuat irama jantung ini tak karuan.
"Cantik," ucapku spontan.
"Apa?" tanya Tati memastikan.
"Ah, bukan apa-apa. Salam kenal maksudku," ucapku sedikit salah tingkah.
Tati dan Tini tertawa cekikikan, mungkin sedang menertawakan tingkah konyolku.
***
"Assalamualaikum, Dek," sapaku pada Tati.
"Duh, kenapa gak dijawab?" tanyaku lagi.
"Waalaikumussalam," katanya dengan suara merdu yang mendayu-dayu.
"Alhamdulillah, dijawab. Kalau dijawab berarti cinta ya, Dek. Namun kalau tak dijawab, Adek berdosa," guyonku.
Tati hanya tertawa menanggapi candaanku yang garing, dia berjalan melewati jalanan yang berbatu.
"Mau ke mana, Dek?" tanyaku lagi.
"Mau sekolah," jawabnya singkat.
"Abang antar ya?" tawarku.
"Sekolahku jauh, Bang. Emang Abang gak kerja?" tanyanya.
"Sekolahnya dekat sama tempat Abang jemput kemarin, ‘kan?” tanyaku.
Tati mengangguk.
“Iya, di situ, Bang, emang Abang gak kerja?” tanya Tati.
“Kerja sih, bisalah kalau ngantar adek dulu," jawabku sekenanya.
"Gak usah Bang, biar aku jalan saja. Sudah biasa juga jalan," katanya menolak.
"Udah, Abang antar aja. Kasihan kalau Adek jalan, masa cewek secantik Adek jalan sih," godaku.
"Ya udah, kalau Abang maksa," katanya menerima tawaranku.
Jelas, ini adalah hal yang membuatku terbang melayang. Aku mengambil kunci mobil dan bergegas mengantarkan Tati.
"Sekolahnya jauh, Dek?" tanyaku basa-basi.
"Lumayan, 4 kilo. Biasa kalau jalan butuh waktu satu jam, makanya aku pergi subuh-subuh begini. Eh, Abang kan pernah menjemputku, eh bukan menjemput, tetapi aku yang menumpang deng," jelas Tati sambil tertawa.
"Ah iya, Abang lupa jaraknya. Ya udah, nanti kalau mau pergi sekolah, Abang antar aja. Biar gak subuh-subuh perginya," tawarku.
"Lihat gimana nanti aja lah Bang," katanya.
Tak terasa, kami sampai di sekolahan Tati, SMAN 1 Kec. Air Putih.
"Abang kerja dulu ya, Dek," pamitku setelah Tati turun dari mobil yang kukendarai.
"Iya," jawabnya singkat.
Tati berjalan menjauh, memasuki gerbang sekolahnya, masih bisa kulihat dia menghampiri segerombolan gadis berseragam SMA, mungkin mereka adalah teman-temannya. Ini, adalah tahap awal pendekatanku dengan Tati, gadis yang selama ini membuatku tak bisa tidur. Inikah yang disebut jatuh cinta?
***

Komento sa Aklat (47)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus💖lanjut

    17d

      0
  • avatar
    KurniatiIfa

    bagus

    12/02/2023

      0
  • avatar
    alifah ilyana

    good👏🏻👏🏻

    12/09/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata