logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 1 - Penasaran dengan Gadis yang Menumpang

Bab 1
Penasaran dengan Gadis yang Menumpang
Truk yang dikendarai Wawan melaju dengan kecepatan sedang. Aku masih pura-pura tidur untuk menetralisir rasa yang entah apa namanya ini. Wawan menggoyangkan tubuhku.
“Yu, bangun. Udah sampai proyek. Kau mau ikut aku ke indekos sekarang, atau nanti?” tanya Wawan.
Aku pura-pura menggeliatkan tubuh, ya, biar seolah-olah aku tertidur gitu. Padahal sebenarnya pura-pura tidur.
“Mau ke indekosmu sekarang?”tanyaku.
“Ya terserah, mau sekarang atau nanti malam, kalau kau masih mau di proyek, aku ke indekos sekarang, sekalian ngantar dia ke rumah. Kalau kau mau bareng, ayo!” ajak Wawan.
Jika aku tak ikut sekarang dengan Wawan, alamat nanti aku akan nyasar mencari alamatnya Wawan. Maka, kuputuskan untuk ikut saja dengannya.
“Aku ikut saja. Nanti nyasar pula aku,”ujarku.
Wawan mengangguk, ia kemudian mengajakku naik mobil pikap.
“Kau atau aku yang bawa mobilnya?” tanya Wawan.
Aku mempersilakan Wawan membawa mobilnya ke indekosnya, nanti kalau aku yang bawa, bisa-bisa nyasar. Aku kan masih baru di sini dan belum tahu jalan.
***
Sepanjang perjalanan, gadis itu diam saja, kurasa dia mendengar irama jantungku yang tak karuan. Namun, aku cuek saja. Bersikap pura-pura tak tahu saja. Tak terasa, mobil yang dikendarai Wawan sampai tepat di depan indekosnya.
“Terima kasih, Bang Syafar atas tumpangannya. Aku duluan, mari Bang,” pamit gadis itu sembari tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan melihatnya melangkah ke sebuah rumah yang jaraknya hanya beda dua rumah dari tempat indekos Wawan. Pasti aku akan sering berjumpa dengan gadis itu jika saja jadi indekos di tempat Wawan.
***
“Ini kamarku, Yu. Sepertinya, masih ada kamar kosong yang bisa kamu sewa,”kata Wawan.
Aku tersenyum lega, semoga saja memang masih ada kamar kosong di sini.
“Biasanya induk semangku akan pulang jam segini dari ladang, kau bisa bertemu langsung dengannya. Oh ya, Pak Broto juga hari ini tiba di sini, dia akan menyewa di sini juga. Kurasa, kalian bisa satu kamar,” terang Wawan.
Ah, rasanya senang sekali kalau memang Pak Broto bisa satu kamar denganku. Selain biaya sewa kamar yang lebih murah, aku bisa bercerita banyak hal dengannya. Pak Broto itu lelaki yang baik, dia sudah menganggapku sebagai anak sendiri, begitu juga sebaliknya. Aku sudah menganggapnya ayah.
***
Tak terasa, sudah satu jam aku menunggu kedatangan pemilik rumah ini. Namun, belum juga batang hidungnya muncul. Ah, lama sekali pun datangnya, aku dan Wawan ‘kan harus kembali lagi ke proyek.
“Lama lagi Wan, pemilik rumah ini datang?”tanyaku tak sabaran.
Wawan pun terlihat kebingungan, sebab menurut Wawan, biasanya pemilik rumah ini akan pulang saat jam makan siang. Aku yang tak sabaran pun mengajak Wawan kembali ke proyek untuk bekerja.
“Udahlah Wan, kita ke proyek lagi aja untuk kerja. Lama kali pun induk semangmu,” kataku geram.
Wawan setuju, ia pun mengikuti langkahku untuk keluar rumah. Namun, tiba-tiba pemilik rumah tersebut pulang.
“Assalamualaikum,” sapanya.
Aku melirik ke arahnya. Seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh lima tahun, berbadan pendek, gemuk, dan hidungnya pesek. Kulitya sawo matang dan sudah ada tanda ketuaan di sekitar wajahnya. Aku terkaget saat induk semang si Wawan berbicara.
“Ada tamu rupanya, siapa ini Wan?” tanya wanita itu.
“Temanku yang mau nyewa kamar di sini,” kata Wawan.
Wanita itu mengulurkan tangannya, aku menyambutnya dengan ramah.
“Saya Sarawiah, biasa dipanggil Bu Sarawiah,” kata wanita itu memperkenalkan diri.
Oh, namanya Sarawiah. Aku baru tahu kalau ada nama seaneh itu di sini. Sebelumnya, aku tak pernah mendengar nama seperti itu.
“Wahyudi, bisa dipanggil Wahyu atau Yudi,” terangku.
“Mau nyewa kamar di sini? Mau yang harga berapa? Sama makan atau enggak?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak, jika memang sama makan, tentu bayarannya lebih mahal, tetapi jika tak sama dengan makan, siapa pula yang mau memasak untukku. Ah, aku harus bertanya terlebih dahulu, berapa biaya menyewa ditambah makan di sini, baru nanti kuputuskan aku mau menyewa dengan harga yang mana.
“Kalau sama makan, berapa harganya, Bu?” tanyaku
“Kalau sewa kamar saja, seratus lima puluh ribu, itu sudah sama air dan listrik, ditambah kopi tiga kali sehari. Kalau sama makan, kamu bayar dua kali lipat, alias tiga ratus ribu. Fasilitas yang kamu dapat itu, air dan listrik, lalu kamu bisa dapat makan tiga kali sehari, kopi tiga kali sehari, ditambah kuenya. Sekarang, terserah kamu, mau sewa kamar yang sama makan juga atau sewa kamar saja?” tanyanya.
Ah, ternyata menyewa di sini relatif murah dari pada di Medan. Dengan harga 300 ribu, aku bisa tinggal dan makan tiga kali sehari.
“Ya sudah, Bu, aku pilih yang sama makan saja,”kataku.
Bu Sarawiah kemudian menunjukkanku ke sebuah kamar dengan dua tempat tidur, mungkin nanti akan disewakan juga olehnya. Tak apa berbagi kamar, toh, di Medan aku juga tak memiliki kamar pribadi.
“Ini kamarnya, Nak Wahyu, semoga betah tinggal di sini, jika ada yang ingin ditanyakan, bisa ke saya ya, saya tinggal dulu,” kata Bu Sawawiah.
Saat Bu Sarawiah ingin pergi, aku mencegahnya terlebih dahulu. Kubayarkan uang sewa kamar selama tiga bulan ke depan. Aku memang akan menyewa di sini selama tiga bulan sesuai target pembangunan proyek irigasi yang dibuat oleh kantor tempat aku bekerja.
***
“Kita kembali ke proyek sekarang, Yu?” tanya Wawan.
Aku mengangguk, lalu mengikuti Wawan menuju mobil. Sepanjang perjalanan, aku ingin bertanya perihal gadis yang tadi menumpang di truk yang dikendarai Wawan, tetapi aku cukup malu untuk bertanya pada Wawan.
Tak terasa mobil pikap ini telah sampai di tempat proyek. Aku pun kembali bekerja, begitu juga dengan Wawan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, aku dan Wawan segera kembali ke indekos.
“Wan, udah jam lima, ayo pulang!” ajakku.
Wawan mengangguk, ia mengekoriku dari belakang, mirip seperti anak ayam yang sedang mengikuti induknya.
“Yu, kau ya yang nyetir, aku mau tidur,” kata Wawan.
Aku mengangguk, lalu berganti posisi disetir kemudi, sedangkan Wawan duduk di bangku penumpang. Saat perjalananan menuju indekos, ada dua gadis berseragam SMA menyetop mobil yang sedang kukemudi. Aku berhenti sejenak.
“Ada apa, Dek?” tanyaku.
“Kami boleh numpang gak, Bang?” tanya salah satu gadis itu.
Aku mengangguk dan membiarkan mereka naik ke mobil. Namun, sebelum mereka naik, kubangunkan Wawan agar kedua gadis itu bisa duduk.
“Wan, bangun, ada yang mau numpang ke dalam seperti tadi siang,” kataku.
Wawan menggeliat dan menggeser tubuhnya, lalu kembali tidur.
Sepanjang perjalanan, gadis yang berbadan gempal itu mendendangkan lagu Rhoma Irama, si Raja dangdut. Aku pun ikut berdendang.
“Begadang jangan begadang, begadang tiada artinya, begadang boleh saja, kalau ada perlunya.” Sambil menyetir, aku dan kedua remaja itu berdendang.
“Abang suka lagu dangdut juga?” tanya gadis yang berbadan gempal.
“Suka, tetapi cuma sekadar suka saja, lebih suka lagu India,”jelasku.
Gadis itu ber-oh ria.
“Kalau aku, memang suka lagu dangdut, enak lagunya bisa buat joget,” ujar gadis itu riang.
Aku tertawa saja, sebab saat berkata seperti itu, badannya ikut berjoget. Ah, aku lupa bahwa belum berkenalan dengan kedua gadis berseragam SMA ini.
“Oh iya, dari tadi kita bahas lagu, tetapi belum berkenalan. Kalau kata pepatah, tak kenal maka tak bisa tahu namanya, siapa namamu, Dek?” tanyaku.
Gadis itu tertawa mendengar celotehanku.
“Ada-ada aja Abang ini, ngajak kenalan pakai bawa-bawa pepatah segala. Namaku Nurhayati, biasa dipanggil Inong atau Inur,” kata Inur.
Aku ber-oh ria.
“Kalau Adek ini, siapa namanya?” tanyaku pada gadis yang bertubuh mungil dan hitam manis.
“Aku Lisa, Bang, kalau Abang namanya siapa?” tanya Lisa.
Aku mengangguk, kemudian memperkenalkan diri.
“Namaku Wahyudi, bisa kalian panggil Wahyu, Iyu, atau Yudi, terserah kalian saja yang mana enak manggilnya,”terangku.
“Oh, Bang Wahyu namanya, baru nampak aku, biasa yang sering nampak Bang Syafar ini,” kata Inur sambil menunjuk Wawan yang sedang tertidur.
“Aku baru di sini. Baru datang dari Medan, tadi juga baru cari indekos buat sewa kamar,” jelasku.
Inur dan Lisa membulatkan bibirnya.
Aku jadi teringat bahwa tadi siang juga ada gadis berseragam SMA yang menumpang di truk, apa aku tanyakan saja sama mereka berdua ini? Siapa tahu mereka kenal, ‘kan?

Komento sa Aklat (47)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus💖lanjut

    17d

      0
  • avatar
    KurniatiIfa

    bagus

    12/02/2023

      0
  • avatar
    alifah ilyana

    good👏🏻👏🏻

    12/09/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata