logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 6 Serba Salah

POV. Melodi 1
“Mah, boleh Ion ujan-ujanan?”
“Boleh, Sayang.”
“Hole!” sorak Dion girang.
“Tapi, ingat! Habis hujan-hujanan, Ion harus mandi air hangat dan keramas, ok?”
“Ok, Mama.”
Dion segera berlari ke pekarangan rumah. Mukanya menengadah ke langit, guyuran air hujan membuat matanya berkedip-kedip dan mulutnya mengatup-ngatup seperti seekor ikan. Lucunya anakku.
Kemudian ia hentak-hentakkan kakinya ke genangan air hingga menciprat. Semakin banyak air yang menciprat, semakin tampak senang ia. Kuterus memperhatikan tingkah Dion yang menggemaskan. Anteng sekali dengan beberapa mobil-mobilannya yang ia ikut hujankan juga.
Kebahagiaan begitu terpancar dari jiwa sucinya. Ya Allah, anak mama, untuk membuatmu bahagia memang tidak perlu mahal-mahal. Namun, tetap saja mama ingin sekali mengajakmu ke tempat permainan seperti di Mall-mall. Kapan ya, mama bisa mengajakmu ke sana? Semoga ada rizkinya.
Tiga puluh menit berlalu. Aku meminta Dion berhenti hujan-hujanannya. Meski ia mengulur-ngulur karena masih belum bosan, akhirnya tetap menurut juga setelah kubujuk.
Langsung kuguyur dan kumandikan dia dengan air hangat. Sesudahnya kukasih minyak kayu putih sambil diurut-urut, takutnya masuk angin.
“Mah, Ion lapel.”
“Mama ambilkan dulu makannya, ya!”
Aku bergegas mengambil sepiring nasi dengan sepotong dadar telor. Hanya ini yang bisa aku masakan untuk Dion siang ini. Karena uang jatah untuk masak diminta terus sama ibu. Semenjak ibu mertua ikut tinggal bersama kami, uang lima puluh ribu yang diberi Mas Pras—suamiku tidaklah cukup lagi.
Ibu tidak pernah mau makan kalau tidak dengan lauk pauk. Lauk pauknya juga tidak mau aku yang masak, selalu beli sendiri di Bu Salimah. Kebetulan setiap hari ada tukang jual makanan mateng keliling ke tempat kami. Alhasil, hanya bisa beli satu porsi cukup untuk ibu saja.
Belum lagi ibu selalu minta jatah jajan untuk beli goreng-goreng atau camilan, bahkan eskrim. Dion yang biasa dijatah sepuluh ribu perhari untuk jajannya, kini bahkan tidak kebagian. Kadang aku terpaksa ngutang ke warung untuk kurangnya.
Aku bingung, karena Mas Pras tidak mau mengerti. Jika aku memberitahukannya perihal masalah keuangan, ia bilang aku harus bisa ngirit. Kalau aku bahas soal ibunya, ia bilang, jangan perhitungan sama orang tua! Jangan pelit sama orang tua! Saat aku minta izin untuk mencari tambahan, seperti menjadi buruh setrika, dia marah. Katanya malu-maluin.
Aku putar otak lagi agar punya penghasilan tambahan. Sahabat di panti asuhanku menyarankan agar jadi seorang penulis saja. Mengingat aku sendiri senang sekali menulis. Zaman sekarang banyak wadah untuk penulis menghasilkan uang.
Sayang sekali itu pun dilarangnya. Katanya buang-buang waktu. Katanya itu hanya khayalan saja. Mas Pras malah menertawakannya saat kubilang bisa hasilkan uang. Akan tetapi, walau tanpa izinnya, aku tetap diam-diam menulis. Berharap dari menulis bisa hasilkan cuan. Kalau sudah terbukti, baru aku akan memberitahu Mas Pras.
“Huacih, huacih!” Ibu bersin-bersin. Hidungnya pun tampak meler.
“Bu maaf, kalau bersin tolong ditutup,” ujarku pelan.
Soalnya ibu bersin tepat di hadapan Dion. Aku takut dia ketularan.
“Alah, banyak aturan! Orang tua sakit itu ya, rawat! Kasih obat!”
“Bu, obat flu ada di kotak P3K.” Aku memberi tahu ibu untuk kesekian kali.
“Ya, ambilkanlah! Sekalian sama air minumnya,” titah ibu.
Aku yang sedang sibuk masak untuk Mas Pras, bergegas mengambilkan obat dan segelas air minum.
“Ini, Bu.”
“Ya, ampun! Melodi!”
"Ada apa, Bu?"
"Ini airnya kepanasan. Kamu sengaja ya, mau buat ibu tambah sakit?" tuduhnya.
"Maaf Bu, barusan buru-buru. Takut tempenya gosong. Sini biar Mel tambahkan air dinginnya biar hangat," tawarku.
Untung saja stok sabar masih melimpah. Memang benar kata orang, sebaiknya jangan tinggal sama mertua. Akan tetapi, kasihan juga ibu kalau tinggal sendiri di rumahnya. Anak ibu ‘kan hanya satu-satunya Mas Pras.
Akhirnya selesai juga masak. Masak ala kadarnya tumis kangkung, goreng tempe tambah sambal tomat. Mas Pras selalu lahap, dimasakin apa pun.
Sekarang aku mau lihat dulu sejauh mana hasil tulisanku disukai para pembaca. Semoga like dan komennya sudah bertambah banyak.
Saat jariku lincah membalas komenan yang ternyata sudah banyak, terdengar ibu berisik dari arah dapur. Kebiasaan, ibu ngapain tiap aku selesai masak, ia selalu diam di dapur. Padahal ibu sudah makan. Perabot kotor juga biasa aku yang cuci.
“Assalamualaikum,” salam Mas Pras terdengar.
Aku segera menyambutnya dan bersalaman. Setelahnya Mas Pras mencium Dion yang asyik menonton tv. Baru hampiri ibu yang masih asyik di dapur. Meski tidak jelas ngapain.
**
Semalaman Dion demam. Aku jadi tidak tidur-tidur karena dia rewel. Mata sampai terasa perih. Syukurlah, sekarang Dion bisa tertidur. Aku bisa beres-beres dan siapkan sarapan.
"Mas, mau nasi goreng atau sayur bayam?" tanyaku.
"Sudah tidak apa-apa. Ini sudah jam tujuh lebih. Mas, mau berangkat."
"Maaf, ya, Mas. Jadi tidak sarapan,” sesalku.
"Iya, tidak apa-apa. Nanti Mas beli goreng-goreng di sana.”
Untunglah, Mas Pras bisa mengerti. Dia pun pergi setelah aku mencium punggung tangannya. Tidak pernah lupa bersalaman pada ibunya.
Aku kembali ke dapur untuk masakin ibu nasi goreng saja yang simple. Soalnya aku harus cepat nyuci, takut keburu panas di luar. Mesin cuci ‘kan masih rusak, kalau kesiangan jemur bisa tidak kering.
“Mel, masa Ibu lagi flu dikasih nasi goreng? bagaimana sih otakmu? Ya, mikir!”
“Maaf, Bu. Nanti Mel, buatkan sayur sop.”
“Sayur, sayur ….” Terdengar suara si Kang sayur depan rumah.
Kebetulan sekali pas butuh, pas datang. Aku segera membeli satu kantong sopsopan beserta yang lainnya untuk dimasak nanti sore. Dengan cepat kumasakkan sayur buat ibu. Sekitar lima belas menit, sayur sudah matang lagi.
“Bu, ayok makan! Sopnya sudah mateng lho.”
Ibu pun langsung keluar kamar dan duduk manis. Diambilnya secentong nasi. Akan tetapi, sayurnya terus diaduk-aduk sama ibu.
“Bu, kenapa dengan sopnya?”
“Lha, kok tidak ada dagingnya?”
“Memang tidak pakai daging, Bu.”
“Ah, apaan? Ini bukan sop namanya. Hanya sayur biasa.”
“Maaf Bu, besok-besok Mel tambahin daging,” sesalku.
“Ya, sudah. Sana belikan Ibu bubur ayam saja!" titahnya.
“Bu, untuk saat ini makan sop saja dulu, ya! Si Amangnya juga belum tentu jualan,” ucapku.
"Ya ampun, Mel! Ibu itu hanya minta bubur, harganya cuma delapan ribu. Masa tidak boleh?” Ibu merajuk.
“Bukan tidak boleh, Bu. Tapi--”
“Sudah, sudah kalau tidak boleh tidak apa. Punya mantu kok pelit banget,” tuduhnya sambil berlalu keluar rumah.
“Bu, Bu, mau kemana?”
“Tidak usah tanya-tanya!” teriaknya.
Aku hanya mengusap dada. Padahal berharap sekali ibu itu bisa mengerti dan paham dengan keadaan anaknya. Kukeluarkan sisa uang di saku jatah hari ini, tinggal dua puluh lima ribu lagi. Sepuluh ribu buat ibu jajan siang nanti, yang lima belas ribu buat beli obat penurun panas di Bu Bidan untuk Dion. Teringat cucian yang sudah direndam belum dibilas. Kusimpan sisa uang begitu saja di atas kulkas.
Akhirnya pekerjaan rumah beres juga.
“Mah, Mah,” panggil Dion dari kamar.
Segera kuhampiri. Ternyata suhu badannya bukan malah turun, malah tambah panas.
“Ya ampun, Sayang. Tunggu sebentar! Mama mau beli obat dulu." Dion hanya mengangguk. Namun, uang di atas kulkas sudah raib entah kemana. Mana tidak punya simpenan lagi.
Ya Allah, lalu bagaimana dengan obat Dion? Harus pinjam sama siapa? Tetangga di sini tidak ada yang menyukaiku lagi. Masa iya, aku harus ngebon ke Bu Bidan? Malu rasanya.
***

Komento sa Aklat (142)

  • avatar
    AjaVera

    SEMANGAT TERUSS!! APK INII BAIK SEKALIIIII LOVE YOUUU MAKASII SUDAH DI CIPTAKAN AKU JADI BISA TOP UPP

    17/08

      0
  • avatar
    MKSSultan

    jalan ceritanya sederhana tapi menarik

    11/07

      0
  • avatar
    Nurul Asyiqin

    👍👍👍👍👍👍

    06/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata