logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 3 Teringat

“Mas, mana vitaminnya?”
“Vitamin? Oh iya, aku lupa.”
“Mas, padahal aku sudah wanti-wanti lho, dari tadi. Jangan sampai lupa! Masih saja lupa,” dengkusnya kesal.
"Iya, maaf. Aku benar-benar lupa. Mau bagaimana lagi?"
"Dasar! Mas ini diminta belikan vitamin saja dilupa-lupain. Padahal ‘kan vitaminnya buat Dion."
"Ya, ampun, Mel. Siapa yang lupa-lupain? Lagian Dion itu makannya sudah banyak. Ngapain juga dikasih vitamin penambah nafsu makan?"
"Mas, emang nggak pernah ngerti! Dion itu harus gendut. Biar nggak dikatain kurang gizi sama tetangga."
“Sudahlah! Ngapain dengerin omongan tetangga.”
“Ini lagi, Mas! aku ‘kan sudah bilang handuk kalau habis mandi itu beber atau gantung. Jangan dibiarkan di atas kasur!”
Duh, perasaan akhir-akhir ini Melodi bawaannya bawel terus. Apa-apa dikomentari. Padahal sejak awal menikah juga, ia sudah tahu kebiasaan-kebiasaan burukku itu. Dia tampak biasa-biasa saja, malah santai kalau aku perhatikan. Tapi, sekarang ini ngomel terus.
“Iya, besok-besok aku gantung handuknya.”
“Dion, Dion,” panggilnya pada anakku yang katanya sudah ia anggap anak sendiri.
“Ya, Mah.”
“Ayo makan. Mama suapin, ya!”
“Nggak ah, Ion masih kenyang,” tolak Dion.
“Dion, kamu harus makan, Sayang. Biar badan kamu enggak kurus.”
“Tapi, Ion kenyang, Mah."
"Ya sudah jangan dipaksa, Mel! Katanya masih kenyang. Lagian ini sudah jam sembilan malam. Waktunya tidur, bukan makan. Jangan dibiasakan makan jam segini," sahutku.
"Alah, Mas tahu apa sih?"
"Lho, dikasih tahu kok begitu?"
"Ini ada apa sih, ibu lagi enak-enak tidur malah berisik. Kamu ini Mel, tidak ada kerjaan lain apa selain ngajak suamimu ribut?" Tiba-tiba ibu menyembul dari kamar.
Tanpa babibu, Melodi langsung masuk kamar membawa Dion.
"Lihat tuh kelakuan istrimu, enggak ada sopan santunnya sama orang tua. Ditanya malah ngeloyor pergi. Gemes jadinya!” gerutu Ibu.
“Sudahlah, Bu! Mungkin Mel cape, mau menidurkan Dion juga,” belaku.
“Cape? Cape habis ngapain? Kerjaannya setiap hari cuma main ponsel doang.”
“Iya, Bu. Pras akan coba bicara baik-baik sama Melodi. Agar dia tidak main ponsel terus,” ujarku.
Tidak habis pikir kenapa Melodi bisa berubah? Semenjak Ibu tinggal bersama kami, ia jadi malas-malasan. Rajinnya kalau aku sedang libur kerja saja. Mungkin karena takut aku menegurnya.
Aku menyusul Melodi ke dalam kamar. Ternyata Dion sudah terlelap di pelukannya.
“Mel,” aku memanggilnya pelan agar Dion tidak terbangun.
“Iya, Mas.” Dia terperanjat.
“Kamu sudah mau tidur juga?”
“Memang kenapa? Mau minta jatah?" tanyanya.
"Bukan. Kan sudah, malam tadi."
"Terus mau apa?"
"Mau ngobrol sebentar."
"Oh. Ada apa?"
"Mas perhatikan kamu sekarang cerewet dan mudah marah. Kenapa? Tidak suka ya, dengan kehadiran ibu?" Melodi hanya menunduk. “Mel, anak ibu itu hanya Mas satu-satunya. Siapa lagi yang akan mengurusnya kalau bukan kita?”
Bukan menjawab, dia malah menangis sesenggukkan. Dadanya tampak naik turun penuh isakan. Aku jadi tidak tega melanjutkannya. Padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan. Termasuk Dion yang kata tetangga suka dibiarkan hujan-hujanan. Apa dia mau anakku jatuh sakit?
“Mas ….” Akhirnya dia buka suara.
“Ya.”
“Aku cape, Mas. Aku juga sayang sama ibu. Apakah Mas, pernah melihat aku keberatan dengan kehadiran ibu? Tidak 'kan? Hanya saja ibu suka aneh-aneh. Belum lagi dia suka banding-bandingkan aku dengan mantan istri Mas. Bukannya aku tidak sopan, kalau ibu sudah ngomong, aku memilih untuk menghindarinya. Aku takut tidak bisa menjaga emosiku,” terang Melodi.
“Maafkan ibu! Ibu itu sudah tua, tolong kamu maklumi. Kalau ibu banding-bandingkan kamu lagi, anggap saja angin lalu, ya! Tidak usah dipikirkan. Fokus saja sama Dion. Mas harap, kamu bisa benar-benar menyayangi Dion."
Selalu seperti itu yang aku tanggapi tatkala dia mengadu. Bagaimana pun ibu dan Melodi adalah dua wanita yang sangat berarti dalam hidupku.
"Mas, apa aku tidak terlihat menyayangi Dion?" bentaknya, sehingga membuat Dion terbangun.
"Mama," rengek Dion menghentikan emosinya yang hampir meledak. Melodi pun kembali berbaring dan kelonin Dion.
“Pah, Pah, “ panggil Dion seketika membuyarkan lamunanku. Aku larut dalam memori tentang Melodi, sampai tidak sadar sudah ada Dion di hadapan.
“Eh, Dion. Sudah bangun?”
“Mana mamanya? Katanya mau jemput mama?”
"Oh iya, hari ini Papa akan jemput Mama. Semalam mama sudah tidur di rumah temannya. Papa tidak tega membangunkannya," kilahku.
"Awas ya, Pah! Kalau Mama tidak dijemput juga hali ini," ancamnya.
"Iya-iya. Sekarang Dion cuci muka dulu, gih!"
Dia berlari ke kamar mandi, tidak lama menyembul lagi dengan lengan piyama yang sudah basah kuyup.
"Kenapa jadi basah, Ion?"
"Ion lupa. Biasanya Mama gulungin dulu baju Ion. He …."
"Ya sudah, ganti bajunya."
Dion pun berlari ke kamar dan mengambil sesetel baju dengan asal, lalu menyerahkannya padaku. “Ini, Pah.”
“Lho, ini kan baju koko Ion.” Aku geleng-geleng.
Ternyata dia belum bisa memilih baju apalagi memakainya sendiri.
Tumben ibu juga jam segini belum bangun. Biasanya dia sudah menyapu lantai juga mengepel.
"Pah, lapel."
"Oh Ion sudah lapar, ya? Sebentar, Papa panggil dulu Nenek."
Aku pun bergegas mengetuk pintu kamar ibu. "Bu, Bu," panggilku lalu.
Setelah beberapa kali diketuk, barulah ibu keluar. "Ada apa Pras?" tanyanya sambil menguap.
"Ibu baru bangun?"
"Eh, iya. Ibu kesiangan. Semalaman tidak bisa tidur. Kepikiran Melodi terus. Takut kenapa-kenapa."
"Pras pikir semalam ibu tidur nyenyak."
"Ah, kamu ini! Meskipun istrimu itu tidak menyukai ibu, tapi tetap saja ibu tidak bisa mengabaikannya."
"Syukurlah! Oya Bu, katanya Dion lapar. Bisa tolong masakin nasi goreng."
"Iya."
Selang sepuluh menit ibu sudah membawakan dua piring nasi goreng. Satu untukku, satunya lagi untuk Dion.
Karena dari kemarin aku belum sempat makan, jadi rasanya lapar sekali. Langsung kusuapkan satu sendok ke mulut.
“Pah, kata Mama juga sebelum makan halus baca do’a dulu. Nanti setannya ikut makan, lho,” celoteh Dion.
"Oh iya, Papa lupa. Kalau begitu yuk kita baca doa makan sama-sama," ajakku.
"Ayok." Dion bersemangat.
Setelah membaca doa, Dion baru menyuapkan nasinya pelan-pelan. Kutatap anak laki-lakiku itu. baru sadar sekarang dia sudah pintar makan sendiri. Meski pun belum rapi, akan tetapi setidaknya sudah mandiri.
Kuperhatikan hanya tiga suap yang masuk ke mulutnya. Selebihnya dia hanya menatap nasi goreng itu. “Kenapa tidak dihabiskan, Ion?”
“Rasanya nggak kayak bikinan Mama,” akunya.
“Kenapa enggak enak bukan, Dion?” tiba-tiba ibu muncul dari dapur.
Dion hanya menunduk seperti takut sama ibu. Mata ibu mendelik sambil mengambil piring berisi nasi goreng dari hadapan Dion. “Ya sudah kalau tidak mau, biar Nenek saja yang habiskan.”
Memang sih, aku juga sebenarnya merasa aneh dengan cita rasa masakan ibu. Kayaknya kemanisan banget. Soalnya nasi goreng pakai bumbu kecap. Kecapnya entah segimana sampai warna nasinya jadi hitam gini. Dari dulu ibu memang suka manis. Masak apa pun pasti ditambahin gula. Tapi, karena aku lapar, ya kulahap saja sampai habis. Agar ada energi buat mencari Melodi hari ini.
Usai sarapan, aku pamit. Segera kumelaju membelah jalanan lagi. Kali ini aku akan mengecek Melodi ke sebuah panti asuhan, tempat tinggal Melodi berasal. Lumayan jaraknya bisa menghabiskan waktu dua jam.
Walaupun tadi, ibu berpesan jangan ngebut-ngebut, tetap saja kubawa motor secepat yang kubisa. Tidak sabar rasanya ingin segera sampai. Semoga saja dia ada di sana. Kalau tidak ada juga, harus kemana lagi aku mencari? Karena setahuku, teman-teman Melodi hanya orang-orang panti dan tidak punya kenalan yang dekat lagi.
“Melodi, tunggu! Sebentar lagi Mas akan menjemputmu," lirihku.
***

Komento sa Aklat (142)

  • avatar
    AjaVera

    SEMANGAT TERUSS!! APK INII BAIK SEKALIIIII LOVE YOUUU MAKASII SUDAH DI CIPTAKAN AKU JADI BISA TOP UPP

    17/08

      0
  • avatar
    MKSSultan

    jalan ceritanya sederhana tapi menarik

    11/07

      0
  • avatar
    Nurul Asyiqin

    👍👍👍👍👍👍

    06/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata