logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Luka Sang Istri

Luka Sang Istri

Dinara L.A


Bab 1 Anak Hilang

“Assalamualaikum.” Ucapan salamku yang ketiga kali tak kunjung mendapat jawaban.
Aku langsung masuk karena pintu sudah terbuka lebar, hingga terlihat jelas sampai ruang tengah dengan TV yang masih menyala. “Dasar kebiasaan! Padahal sudah dikasih tahu harus hemat listrik,” keluhku kesal.
Tercium aroma masakan dari dapur. Benar seperti biasa jam segini ibu memang baru selesai masak.
“Assalamulaikum, Bu,” sapaku.
“Eh, Pras. Sudah pulang?” Ibu segera melap tangan basahnya karena sedang mencuci wajan. Baru mengulurkannya padaku. Kucium punggung tangan yang mulai keriput itu dengan takzim.
Setiap kali melihat ibu mengerjakan pekerjaan rumah, aku sebagai anak lelakinya selalu merasa menjadi durhaka. Harusnya ibu dirawat dan dilayani dengan baik, bukan malah seperti babu di rumah anak sendiri.
“Bu, sudahlah istirahat! Nanti biar Melodi saja yang mengerjakan.”
“Ibu ‘kan numpang di rumah ini, Pras. Jadi harus tahu dirilah,” cetus ibu.
“Katakan sama Pras! Siapa yang bilang begitu? Apa Melodi?" Emosi yang kupendam meluap ke permukaan.
"Sudah, Pras. Jangan diperbesar masalahnya. Ibu baik-baik saja kok. Doakan terus semoga ibumu yang sudah tua ini berumur panjang dan selalu sehat,” pintanya.
"Tidak bisa begitu, Bu. Melodi itu istriku, sudah tanggungjawab suami untuk mendidiknya dengan benar."
“Ibu hanya ingin kalian rukun-rukun saja, Pras," tuturnya. Ya Allah mulia sekali hati seorang ibu.
“Sudah habis batas kesabaranku, Bu. Di mana dia?"
"Tadi Ibu lihat, dia masuk ke kamarnya."
Seperti dugaanku, Melodi sedang bersantai-santai di kasur. Jari tangannya begitu lincah di atas layar gawai. Entah apa yang tengah dilihat hingga bibirnya tidak berhenti mengulum senyum. Suami pulang kerja bukannya disambut, ini malah enak-enakan. Harus bagaimana lagi aku menasehati dia?
“Oh, rupanya asyik banget mainin ponsel,” sinisku.
“Eh, Mas Pras sudah pulang?” tanyanya enteng.
Dia bangkit meraih punggung tangan untuk bersalaman. Akan tetapi, kutepis dengan kasar. “Mana Dion?” tanyaku menghentak.
“Dion? Ada lagi nonton TV sama neneknya,” jawabnya terbata karena terkejut melihat sikapku.
“Jangan ngarang kamu! TV-nya saja sudah aku matikan karena tidak ada yang menonton.”
“Benar, Mas. Tadi Dion sedang menonton tv,” kukuhnya lalu bergegas untuk memastikan. “Dion … kok enggak ada?”
“Lalu ke mana Dion?” tanyaku dengan berang.
“Bu, Bu, lihat Dion tidak?” tanya Melodi pada ibu yang masih di dapur.
“Dion? Ibu tidak tahu. Ibu dari tadi ‘kan di dapur.”
"Di dapur? Ngapain ibu di dapur?" Keningnya mengernyit.
“Tidak lihat apa? Ibu sudah macam babu saja di rumah kita,” ujarku geram.
"Lho, aku sama sekali tidak pernah menyuruh ibu. Biasnya juga ‘kan aku yang cuci.”
“Alah, ngeles!” tuduhku.
“Ngeles apa, Mas?” nadanya menekan.
“Sudah kalian jangan bertengkar! Cepat cari Dion! Apa lagi sekarang ini musim penculikan, di tv juga ramai diberitakan. Ibu tidak mau sampai terjadi apa-apa sama Dion."
“Bu, jangan berkata seperti itu. Insya Allah Dion baik-baik saja, kok. Mungkin dia main ke tetangga,” ucap Melodi.
“Ayo buruan kamu cari ke tetangga! Aku cari di rumah," titahku.
“Iya, Mas,” ucapnya seraya menyambar kerudung instan lalu keluar rumah.
Segala penjuru rumah termasuk halaman depan belakang sudah kususuri. Tidak ada Dion atau pun jejaknya. Sementara menunggu Melodi mencari Dion ke tetangga, aku hempaskan tubuh yang lelah juga penat di sofa. Kupijit pelipis yang terasa semakin pusing.
"Makan dulu, Pras," tawar ibu.
"Nanti saja, Bu. Ibu saja duluan makan ya!" saranku.
"Enggak ah, ntar ibu dianggap mertua macam apa kalau makan duluan."
"Astaghfirullah, apa suka ada yang ngatain ibu macam-macam selama Pras tidak di rumah?"
"Oh, enggak. Itu, anu … Ibu lupa mau ke dapur lagi," jawab ibu salah tingkah. Seperti ada yang disembunyikan.
Sekitar tiga puluh menit, Melodi sudah kembali, tetapi tanpa Dion.
“Dion-nya mana?”
“Tidak ada, Mas,” jawabnya dengan napas tersengal.
“Tidak ada gimana?” aku langsung berdiri dan berkacak pinggang.
“Tetangga tidak ada yang melihat Dion,” terangnya lemas.
“Apa katamu? Lalu di mana Dion?” bentakku.
“Aku juga tidak tahu, Mas.”
“Ah, kamu memang nggak becus ngurus anak!” tuduhku.
“Maaf, Mas. Aku memang salah. Aku memang enggak becus,” akunya terisak.
Dasar wanita! Giliran dimarahi, langsung menunjukkan air mata. Dia pikir kali ini aku akan luluh apa. Hatiku muak.
“Benar ternyata apa kata tetangga, kamu itu memang ibu tiri yang buruk!”
“Apa, Mas? Jahat? Tega kamu Mas! Lalu kasih sayangku selama ini kamu anggap apa?”
“Ya, kalau kamu ibu tiri yang baik, Dion tidak mungkin hilang.” Mukaku merah padam karena murka.
“Tadi Dion memang sedang menonton tv sama ibu. Harusnya ibu tahu ke mana Dion.”
“Kamu memang tidak suka ya, dengan keberadaan Ibu di sini? Tega sekali kamu menyalahkan Ibu atas hilangnya Dion. Dia itu cucu Ibu satu-satunya. Tidak mungkin Ibu tidak memperhatikannya. Bukannya kamu yang terus-terusan memainkan ponsel,” serang ibu tiba-tiba seraya menyeka terus air matanya.
“Bu, maaf. Aku cape dengan ibu yang selalu menjadi kompor di rumah ini. Seharusnya seorang ibu itu mampu menjadi penengah yang adil.” Nada Melodi menghentak.
Plak! Satu tamparan perdana mendarat di pipi Melodi hingga meninggalkan jejak merah. Ia menganga dengan mata melebar. Tangannya tampak bergetar.
“Kamu jangan kurang ajar sama ibu! Selama ini aku sudah bicara baik-baik, tapi apa coba? Bukannya berpikir, malah semakin melunjak. Aku tidak mau tahu, cari Dion sekarang juga! Awas kalau berani pulang tanpa Dion!" ancamku.
Melodi masih memegang pipi, ada rasa kasihan saat melihatnya. Bagaimanapun aku sangat mencintai dia. Tak apa, sekali-kali istri harus dikerasin agar bisa menyadari kesalahannya.
“Baik Mas, Aku berangkat," pamitnya.
Jgeeer … terdengar suara petir. Di luar tampak gelap sekali padahal baru pukul lima sore. Sepertinya hujan akan turun. Ya ampun di mana kamu, Nak? Batinku.
Akhirnya hujan turun juga. Suara gemercik menyentuh bumi membuat hatiku semakin pilu. Apa selama ini aku telah salah lagi memilih istri?
“Auw ….” Aku meringis menahan kepala yang kian terasa berat. Kuambil satu tablet obat di kotak P3K, lalu meminumnya. Berharap sakit akan mereda, perlahan alam sadarku terus melayang.
Lamat-lamat terdengar suara Dion memanggil. Apakah ini mimpi? “Pah, Pah, Pah, bangun!”
“Hoam,” aku menguap dan menggeliat. Kukucek mata agar penglihatan lebih jelas. “Dion?” mataku membelalak ternyata memang Dion. Kutengok jam dinding sudah menunjukkan pukul 18:00 WIB. “Ya Allah, Papa ketiduran.” Aku terperanjat. Baru ingat kalau obat tadi memang ada efek samping mengantuk.
“Pah,” panggilnya lagi.
“Iya Sayang, kamu dari mana saja?” Aku memeluk dan menciuminya.
“Mama mana?”
“Bukannya Dion pulang sama mama?”
Dion menggeleng. “Mama mana, Pah?” kukuhnya.
“Emang Ion dari mana sebenarnya? Papa nyariin, lho.”
“Hehe, Ion ketidulan.” Dion yang masih cadel menunjukkan deretan gigi kariesnya.
“Apa ketiduran?” Dion mengangguk polos. “Ketiduran di mana Sayang?”
“Di lemali," jawabnya polos.
“Lemari baju?” Dion mengangguk. "Kok, bisa?" lanjutku.
“Tadi ‘kan Ion sama nenek main petak umpet. Nenek suluh Ion ngumpet yang paling aman. Kalena Nenek lama nyalinya, Ion jadi ketidulan deh.”
“Bu, Ibu,” panggilku.
Ibu langsung keluar dari kamar dan terisak kemudian memeluk Dion. "Maaf, Nenek lupa Sayang," sesalnya.
"Astaghfirullah, Ibu," desahku.
"Kenapa? Ibu-mu ini sudah tua, Pras. Jadi wajar kalau lupa. Kamu menyalahkan Ibu? Tega kamu!" sergah ibu dengan tangis yang semakin menjadi.
Ya ampun belum juga aku ngomong apa-apa, ibu sudah histeris begitu. Lalu dimanakah kamu, Mel? Kenapa belum pulang? Padahal di luar sana hujan. Tadi kamu tidak sempat bawa payung, jangankan payung, kamu tadi hanya memakai daster dan sandal capit saking terburu-burunya mencari anakku.
Apa karena tadi aku bilang jangan berani pulang kalau tidak bersama Dion? Astaghfirullah, Mel, kenapa kamu jadi penurut seperti itu? Batinku nelangsa.
***

Komento sa Aklat (142)

  • avatar
    AjaVera

    SEMANGAT TERUSS!! APK INII BAIK SEKALIIIII LOVE YOUUU MAKASII SUDAH DI CIPTAKAN AKU JADI BISA TOP UPP

    17/08

      0
  • avatar
    MKSSultan

    jalan ceritanya sederhana tapi menarik

    11/07

      0
  • avatar
    Nurul Asyiqin

    👍👍👍👍👍👍

    06/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata