logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 7

Madu di Pernikahan Kedua
#balasan_cantikku_sang_mantan_janda
🌟🌟🌟
"Mau keluar sebentar, Bu." sahut Mas Bendu sembari memasang resleting jaketnya.
"Keluar lagi? Haa! Tadi keluar, sekarang keluar lagi." protes ibu yang wajahnya semakin marah padam.
"Iya, ada perlu soalnya, Bu."
"Palingan si mantan janda itu, Bu yang maksa Mas Bendu keluar." hasungan anak bau kencur tepat sasaran.
"Lio, kamu istri macam apa sih. Bukannya memberi waktu istrahat pada Bendu, ini malah ngajak keluyuran nggak jelas."
Aku memang sengaja memaksa Mas Bendu keluar rumah daripada dia harus ikut nimbrung ngumpul dengan mereka, sekalipun aku belum tahu ada hubungan apa antara Mas Bendu dengan Leria, yang jelas aromanya tak sedap.
Ku lihat Leria hanya menunduk memainkan gadget yang ada di tangannya, aku yakin dia sedang menyembunyikan kekesalannya atau mungkin kesedihan yang mendalam.
"Ibu mau kubawain makanan apa?" tanyaku hanya basa basi tanpa menanggapi apa yang dikatakannya.
"Tidak usah, palingan juga nanti pakai duit Bendu bayarnya. Kamu mana punya duit." Ejeknya, roda akan berputar Nek, jangan sampai anda yang mencium kakiku suatu hari nanti.
"Ooh baiklah, Bu." jawabku santai.
"Yuk, Mas ntar keburu malam." desakku.
Selain ke supermarket aku juga mengajak Mas Bendu makan malam di sebuah restoran mewah, walau aku tahu gajinya pas-pasan apalagi besok juga harus bayar kontrakan, aku tidak peduli.
"Dik, kamu saja yang makan. Mas makan di rumah saja, lagian masih belum lapar." dustanya.
"Lho belum lapar gimana Mas, 'kan kamu juga belum makan."
"Nggak apa-apa Mas makan di rumah saja nanti."
"Tapi aku tadi 'kan nggak masak Mas, nggak tau juga ibu masak apa enggak."
"Ya kalaupun nggak ada lauk nanti kamu bikinin saja mie rebus buat Mas."
"Yasudah kalau gitu Mas, aku juga nggak bisa paksa kamu."
"Irit apa pelit sih kamu, Mas" ejekku membathin.
"Bang, Bang, nggak jadi makan di sini bungkus saja satu yah." sorakku pada pelayan restoran.
Kami beranjak, aku menunggu Mas Bendu di dekat parkiran sedangkan lelaki yang tingginya semampai dan berkulit kuning langsat-suamiku membayar di kasir.
"Mas, kita langsung pulang aja yuk. Aku udah laper banget." Mas Bendu hanya mengangguk lesu, aku tidak peduli mau lesu atau pingsan sekalian, masa bodo.
Sesampainya di rumah aku berharap halaman rumah sudah kosong tanpa terparkir mobil Leria, tetapi harapanku tinggal di awang-awang, ternyata dia masih ada di sini. Sedangkan ku tengok arloji yang menggulung ditangan sebelah kiri sudah menunjukkan pukul 22.00. "Mana ada tamu yang sedari siang hingga malam masih bertengger." keluhku.
"Yuk, Mas barengan saja masuknya. Jangan kayak tadi, kamu malah lama masuk rumah padahal cuma memarkir motor" ujarku menggerutu ketika Mas Bendu memarkir motornya di samping rumah.
"Iya, iya."
"Assalamualaikum" Ucapku serempak dengan Mas Bendu. Sunyi hening tanpa jawaban salam.
Seperti tadi aku sengaja menggandeng tangan Mas Bendu masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga masih berada di ruang tamu. Betah banget duduk di sana.
Tak lupa ku lenggangkan kantong asoy yang berisikan nasi bungkus dengan lauk rendang ketika melewati mereka.
"Ben, kamu beli apaan tu?" tanya ibu dengan nada agak keras ketika Mas Bendu sampai di ambang pintu kamar. Sedangkan aku meneruskan perjalanan menuju dapur mengambil piring sekawan.
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu.
"Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang.
"Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu.
"Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya.
"Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan.
"Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang.
"Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.
Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem bisa berlaku seperti itu.
Aku acuh tak acuh tanpa basa basi persoalan nasi bungkus. Ku patut duduk senyaman mungkin lalu mulai membuka dan menyantap penuh bahagia.
"Lihat tuh Ni. Kakak ipar mu, basa basi pun enggak ke kita."
"Bu, udah berapa kali aku bilang dia bukan kakak iparku. 'Kan dia mesti sekolahin lagi biar tahu sopan santun." terdengar ketus ketika aku masih menyantap nasi bungkus di meja makan, sekalipun lidahnya terjulur keluar menyindirku tak apa dan tak mengapa.
Perempuan yang memakai celana cubray berwarna coklat susu dipadupadankan dengan kemeja krem lengan sesiku, senada, begitu penilaianku terhadap fashionnya. Rambut lurus mungkin hasil catokan, disertai warna coklat disetiap helai rambutnya, ini juga sedikit mencurigakan entah asli entah palsu, soalnya wajah dia indo banget nggak ada kebarat-baratan sedikitpun.
"Bu, Leria pamit saja ya Bu, Ni. Udah malam juga soalnya." pamitnya yang bernada basa basi busuk di pendengaran ku, bagaimana tidak sekarang sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Jika memang dia niatnya hanya berkunjung sebelum Magrib juga udah out atau paling tidak sebelum Isya menjemput.
Ini tidak, jelas kali permainan konyol tak berbobot yang dipertunjukkan.
"Lho kok pulang sih. Justru karena sudah malam mending kamu nginap di sini saja Nak." ujarnya, intonasi sangat lunak bersahabat, sangat berbanding terbalik dengan perlakuannya padaku.
Sekarang aku sudah mulai tahu tabiat mertua dan ipar, berbau-bau mata duitan. Uang menentukan perilaku dan sikapnya terhadap seseorang.
"Iya, lu tidur sini saja. Besok pagi aja balik Ler. Ntar tidurnya bareng gue. Lagian udah lama juga lu nggak tidur di sini!" sambung Nini.
Bisa disimpulkan Leria seumuran dengan Nini. Pendengaran ku lebih terkunci pada kata 'udah lama nggak tidur disini?'. Berarti ini bukan kali pertama dia tidur di rumah ibu.
Aku masih menerka-nerka apakah Leria dan Nini teman sejawat dari SD dan ataupun sampai SMA, atau sejawat di kampus, atau sejawat di tempat kerja lama. Tak perlu risau Lio, sebentar lagi juga bakalan terkuak.
"Nggak usahlah, Bu, Ni. Aku pulang saja." ucapnya bersikeras.
"Udah, Nak dengerin ibu yah. Kamu tidur sini saja sana besok pagi pulang lagian udah malam juga."
"Yaudah kalau ibu dan Nini maksa, aku mau nginap di sini." jawabnya sok pasrah.
"Yaelah, kalau mau pulang daritadi kek, ini jam segini pamit pulang basa basi busuk dah ya." sindirku berlenggok ke dalam menaruh piring sekawan bekas pakai.
"Nyahut aja lu, Mak Lampir. Harusnya kamu yang mesti tahu diri di sini. Ingat ya, cuma numpang jadi nggak usah sok belagak seperti tuan rumah." sosor Nini.
"Tu piring jangan dionggok aja, langsung dicuci. Ingat kamu cuma numpang di sini." tambah ibu, terdengar jelas ditelinga ku yang kini sedang di dapur.
Alih-alih akan mencuci piring dan sekawan aku malah bertolak ke kamar, perutku kekenyangan satu bungkus nasi ludes tak bersisa. Aku juga heran kenapa bisa habis dengan isian sebanyak itu.
Ketika memasuki kamar, Mas Bendu sontak terkejut seperti kesambet setan melihat ku masuk kamar, lalu dengan sigap menaruh handphonenya ke dalam saku celana jeans berwarna dongker yang dikenakan. Sikapnya seperti memberi kode sesuatu mencurigakan yang dia perlihatkan padaku secara tidak langsung. "Benar-benar beg*, harusnya itu handphone tetap dipegang, biar nggak menimbulkan kecurigaan. Aduuduuu." ejekku membathin.
"Eh, kamu udah selesai makannya Dik?" sapanya salah tingkah sembari memperbaiki duduk di kursi hiasku.
"Udah Mas, kamu gimana? Jadi, mau dibuatin mie rebusnya?"
"Nggak usah, Dik. Mas aja nanti bikin sendiri, kasian juga Mas liat kamu pasti capek." jawabnya sembari beranjak lalu membaringkan badannya di atas ranjang.
"Lho kok berbaring, tapi mau bikin mie rebus."
"Mm, A-anu, nanti ajalah Dik, Mas mau baringan dulu pegel." jawabnya memelas. Dia sangka aku akan percaya begitu saja.
"Hmmm, pegel ya. Kalau pegel kenapa nggak daritadi aja baringannya Mas."
"Tadi itu, a-anu, Mas udah baringan tapi kebelet makanya duduk di kursi."
"Kamu ngomong apaan sih, aku nggak ngerti." kubersihkan tempat tidur, sebelum merebahkan tubuh ini. Dan satu hal lagi, aku tahu dia sedang berpura-pura tidur.
Sekalipun sikap anehnya harus ku selidiki, tetapi berhubung aku kekenyangan apalagi urat mataku juga sudah mengendor, aku memutuskan untuk tidur diperaduan. Tanpa dicari tahu nanti juga akan terbongkar sendiri tingkah aneh dia barusan, bisikku dalam hati.
Jika beberapa malam yang lalu dia yang memunggungi ku, hari ini aku yang akan memunggunginya. Impas bukan.
Memang iya seorang istri harus menghargai suaminya, tetapi jika suaminya seperti Mas Bendu apakah masih pantas dihargai?
🌟🌟🌟
"Astagfirullah." aku terjaga dari mimpi buruk.
"Yaa Allah, mimpi buruk barusan seakan nyata." ku atur nafas sambil terus beristighfar.
Ketika ku toleh pandangan ke samping, tak kutemukan fisik Mas Bendu, "kemana dia, tak bersisa biasanya." ku alihkan pandangan ke arah jam weker yang terpajang di meja hias masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Berangsur-angsur aku beranjak dari ranjang, lalu menyisir ke kamar mandi siapa tahu ada Mas Bendu di dalam. Ketika ku tekan handle pintu ternyata tidak terkunci sama sekali dan juga tidak ada Mas Bendu.
Aku beralih ke ranjang, memeriksa handphone yang biasa ditarok Mas Bendu di sana. Rupanya juga tidak ada. Ketika aku ingin melanjutkan langkah, aku mendengar suara orang yang sedang berbicara, samar-samar tapi.
Lalu berjalan pelan ke arah pintu, memastikan siapa yang tengah malam sunyi ini masih bercengkrama. Ku tekan handle pintu dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan bunyi.....
Bersambung dulu. Selamat puasa yah, jangan lupa tinggalkan jejak.

Komento sa Aklat (51)

  • avatar
    NoepRoslin

    👍👍👍

    08/01

      0
  • avatar
    Nur Ashikin Nasir

    hmm itsokay

    13/07/2023

      0
  • avatar
    MohamadNazlia

    terbaik

    01/04/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata