logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 6

Madu di Pernikahan Kedua
#balasan_cantikku_sang_mantan_janda
🌟🌟🌟
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.
Apalagi ibu dan Nini seperti kesambetan setan mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku.
"Kok salamku nggak satupun yang jawab." ujarku memecahkan lamunan mereka.
"Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura.
"Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit.
"Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke arah pintu. Bertanya tanpa alamat.
Dasar memang anak bau kencur sama saja dengan mertuaku, bukannya menjawab salam malah mengalihkan pembahasan yang lain.
"Lio, aku nanya sama kamu, mana Mas Bendu?" ucapnya sekali lagi.
"Oh, kamu nanya sama aku? Nanyanya pake alamat dong. Kenapa memangnya, nanya-nanya Mas Bendu?" tanyaku balik, aku sudah mencium sesuatu hal yang mencurigakan dari pertanyaan Nini tadi.
"Ih, kepo. Sono masuk ke kamar. Ini bukan urusan kamu juga." cecarnya.
"Assalamualaikum." Mas Bendu memberi salam memasuki rumah.
Aku menoleh ke arah suamiku itu, matanya menatap ke bawah seperti mengelak.
"Mas, kamu sudah pulang. Sini duduk dulu!" pinta Nini dengan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Ibu pun menggeser duduknya sesenti, memberikan isyarat setuju dengan pinta Nini.
Posisi Nini berada di antara ibu dan perempuan itu yang aku sama sekali tidak kenal dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Ibu duduk agak menjarak dari Nini, jadi wajar kalau Nini menyuruh Mas Bendu duduk di sebelahnya karena masih muat untuk diduduki satu orang.
"Mas, kita belum sholat lho. Nanti keburu abis waktu Asharnya." sergahku dengan cara halus ketika melihat Mas Bendu ingin melanjutkan langkahnya ke arah Nini.
Ku rangkul pergelangan tangannya, "Bu, Nini, Mbak, kami permisi dulu." pamitku, tak lupa seperti yang biasa kulakukan menebar senyum pada mereka. Walaupun mereka memberi wajah penuh amarah padaku.
"Selepas sholat nanti duduk di sini ya, Ben" ajak ibu pantang menyerah.
Mas Bendu hanya mengangguk ragu, lalu dia menatap ke arahku.
Tapi aku takkan akan biarkan itu terjadi.
🌟🌟🌟
"Mas, memangnya kamu kenal sama perempuan yang sedang bersama ibu dan Nini?" tanyaku penuh penekanan, dengan memperhatikan bahasa tubuh Mas Bendu seusai kami melaksanakan sholat berjamaah.
Aku sedang merapikan sajadah, sedangkan Mas Bendu baru memulai berkutat dengan gawainya. Sepertinya sedang membuka pesan dari seseorang, feelingku.
Aku sengaja mengajak Mas Bendu berbicara selain memang rasa ingin tahu ku sudah memuncak hingga diubun-ubun kepala. Aku juga sengaja mengulur waktu siapa tahu tamu itu segera bertolak pulang meninggalkan rumah ini dan Mas Bendu tidak jadi bergabung ke sana.
"Eng-enggaklah, Dik." jawabnya singkat, tangan kanannya seketika menggaruk-garuk kepala salah tingkah, sedangkan tangan kirinya masih memegang handphone.
"Terus kalau memang nggak kenal, kenapa ibu dan Nini begitu ngotot minta kamu untuk bergabung dengan mereka?" tanyaku penuh selidik, lalu duduk di sampingnya.
"Ya nggak tahu juga aku, Dik. Mungkin kerabat jauh kali. Ya wajar saja ibu dan Nini nyuruh gabung." seketika dia menutup aplikasi yang tadi dibuka. Kecurigaanku semakin membulat bagai bulan purnama.
"Hmm, bisa jadi juga ya Mas. Eh tapi kalau kerabat jauh atau kerabat apalah namanya lalu kenapa nggak dikenalin sama aku ya Mas."
"Udah ah, Dik. Kamu curigaan mulu."
"Lho, kok Mas jadi sewot. Lagian siapa juga yang curiga, Mas. Kan aku nanya, ih kamu aneh. Atau ada sesuatu yang kamu umpetin dari akuuu?" tanyaku menjebak.
Lagian 'kan memang benar jika seseorang memang tidak ada menyimpan rahasia pasti dia akan berlaku santai saja, tidak akan sewot atau memanas jika ditanya lebih rinci. "Kamu bikin aku makin greget saja, Mas." gumamku dalam hati. Jadi pengen botakkin bulu-bulu halus yang bersarang didagunya.
"Nggak tau lah, Dik. Mas istirahat dulu." dia menghela nafas kasar, beranjak lalu berbaring menyamping di ranjang bisa dikatakan dia memunggungiku yang tengah duduk di bibir ranjang.
"Yes, kamu masuk perangkap Mas." bathinku bersorak riang gembira. Aku memang sengaja membuatnya kesal.
Dia memang tak bisa bersandiwara, masa ngasih alasan kerabat jauh. Ternyata suamiku tidak terlalu pintar berbohong.
"Bendu, Ben, keluar sebentar!" panggil ibu sambil mengetuk pintu kamarku.
"Ben, Bendu."
"Mas, Bendu tidur Bu." jawabku ketika pintu kubuka setengah.
"Nggak usah bohong kamu, Lio. Bilang saja kamu iri dan nggak suka kalau Bendu ibu ajak ngumpul." tuduhnya.
"Kalau ibu nggak percaya tengok saja sendiri." kubuka pintu lebih lebar, agar mata mertuaku ini melihat lebih jelas jikalau anak laki-lakinya sedang berbaring di atas ranjang.
"Ibu nggak percaya, paling juga kamu suruh pura-pura tidur." tuduhnya lagi.
"Yasudah, kalau memang ibu masih tidak percaya. Masuk saja ke dalam, Bu."
Dan benar, wanita tua itu masuk ke kamarku.
"Ben, Bendu." panggilnya dengan menepuk-nepuk tangan Mas Bendu.
Tak ada sahutan ataupun gerakan dari Mas Bendu.
"Kali ini kamu boleh lolos tapi tidak untuk di lain waktu." ancamnya memberi tunjuk di wajahku.
"Iya, Bu." jawabku singkat seperti biasa sambil tersenyum.
Dia melangkah kesal keluar dari kamarku. Ku tutup pintu perlahan lalu mendekati Mas Bendu.
"Mas, Mas bangun." kucoba mentest membangunkan Mas Bendu, siapa tahu dia tadi hanya berpura-pura di depan ibu. Ternyata bukan, Mas Bendu memang ketiduran.
Mungkin dia masih capek, semalam sudah pulang larut malam, tadi juga ku ajak pergi mencari kontrakan.
Tapi ini adalah kesempatan, kesempatan ku untuk memeriksa handphonenya. Aku menjelajahi pandangan sekitar Mas Bendu, hingga gawai pipih berwarna hitam kombinasi abu-abu pekat itu ku temukan di bawah bantal.
Aku sebenarnya bukan tipe orang yang suka menganggap hal-hal bersifat pribadi. Apalagi mengutak-atik handphone pasangan bukan hal yang wajibku lakukan.
Pernah gagal di pernikahan sebelumnya menjadikan aku lebih kritis, cepat tanggap membaca situasi. Tapi bukan berarti aku selalu berpikir negatif, tidak.
Rupanya password handphone Mas Bendu sudah berganti, karena setiap aku memasukkan password yang pernah dia beritahu sebelumnya selalu gagal.
Ku raih tangan Mas Bendu dengan sangat pelan lalu menempelkan jari telunjuk untuk membuka kunci handphone dengan menggunakan sidik jarinya. Bukannya sombong, hanya saja aku tidak akan kehabisan cara.
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.
[P]
[P]
[Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emos nangis
Dasar gelay, gerutu dalam hati.
Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.
Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.
Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.
[P]
[Mas]
[Ish]
[Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.
Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya.
"Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, berarti ini ada pertanda apa-apa.
Aku pikir hanya ibu dan Nini yang ingin bergelut denganku. Rupanya suamiku sendiri juga ingin merasakan pergelutan cantik dariku ternyata. "Baiklah, Mas. Kita mulai pergelutan ini."
Dan perempuan berkulit kuning bersih nan cantik itu juga terlalu berani menampakkan diri di depan kedua netraku.
Ku simpan nomor handphone Leria di kontak handphone punyaku dengan memberi nama samaran tentunya, suatu hari nanti akan berguna. Tak lupa dengan sigap ku pindai whatsapp web Mas Bendu di laptopku.
Jadi sewaktu-waktu bisa ku check dari jauh apa saja isi chat dan dengan siapa saja dia chattingan. Aku juga tidak perlu repot-repot memeriksa gawai pipihnya setiap malam sehabis pulang kerja.
🌟🌟🌟
Azan Magrib berkumandang, sebelum membangunkan Mas Bendu gawainya sudah kubereskan terlebih dahulu. Pesan whatsapp yang sempat kubuka tadi, sudah ku tandai menjadi pesan yang belum dibaca. Jadi Mas Bendu tidak akan curiga jikalau Nini ataupun Umar eh Leria protes kenapa pesannya tidak dibaca, untuk masalah pemberitahuan info waktu baca tidak akan jadi persoalan, semoga saja begitu.
"Mas, Mas, bangun. Sholat Magrib yuk." panggilku dengan mengelus-elus pipinya, sebenarnya aku geli tetapi demi misi bergelut tak apa aku mundur selangkah.
Dia menggeliat dengan antusias, lalu bergegas mengambil wudhu, dan kami pun melaksanakan Sholat Magrib berjamaah.
"Mas, kita ke supermarket yuk" ajakku seusai sholat.
"Udah malam, Dik." jawabnya risih menunjukkan dia sedang tidak mood.
"Pemb*l*t ku habis Mas, ini juga rasa-rasa mau kedatangan tamu bulanan. Kamu mau seprei ini ternoda oleh darahku." ucapku gaya merengek.
"Kan belum datang, Dik. Besok saja dibeli ya." dia masih kukuh untuk menolak secara halus.
"Yasudah, kalau gitu mana kunci motornya. Biar aku pergi sendiri." sungutku mengancam.
"Iya, iya, sini Mas anterin." tak perlu lama aku menunggu jawaban darinya.
Aku sengaja mengajak Mas Bendu keluar, karena perempuan itu masih berada di rumah ini. Tadinya aku mengira dia sudah pulang karena tidak ada gelak canda tawa suara mereka.
Tapi ketika rakaat kedua aku mendengar mereka tertawa kikikan. Memang perempuan tidak tahu malu, begitulah kasarnya menurut pandanganku.
Aku sengaja menggandeng tangan Mas Bendu ketika melewati ruang tamu, masih ada ibu, Nini, dan Umar eh Leria.
"Kemana lagi kamu Bendu?" tanya ibu ketus.
Bersambung dulu ya gaesss, selamat berpuasa bagi yang menjalankannya. Semoga puasa ramadhan tahun ini diberikan banyak keberkahan oleh Allah.
Jangan lupa tinggalkan jejaknya readers.

Komento sa Aklat (51)

  • avatar
    NoepRoslin

    👍👍👍

    08/01

      0
  • avatar
    Nur Ashikin Nasir

    hmm itsokay

    13/07/2023

      0
  • avatar
    MohamadNazlia

    terbaik

    01/04/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata