logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

BAB 7 Hari Pertama di Perusahaan tuan Acung

Arin gegas mengangkat kopernya dan meletakkannya di jok belakang motor pamannya. Pagi ini beliau yang akan mengantarkannya ke tempat tuan Acung, tidak tega katanya melepaskan Arin pergi ke sana sendirian. Setidaknya sebagai wujud tanggung jawab sebagai pengganti bapaknya yang notabene kakak iparnya.
‘’Arin pamit Bi, Nia..doakan ya..,’’pamitnya sembari mencium punggung tangan bibinya takzim.
‘’Ya Rin, hati-hati ya...jaga dirimu baik-baik,’’jawab bibinya yang tanpa sadar telah mengeluarkan bulir-bulir bening di kedua matanya.
‘’Hati-hati di sana Kak Arin, banyakin berdoa,’’kata Nia tulus.
Arin mengangguk, tersenyum.
Mereka melepas kepergian Arin sampai ambang pintu rumah. Menatapnya dalam-dalam sampai motor yang membawanya pergi hilang di belokan gang menuju jalan raya ke arah Merawai.
Di sepanjang jalan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga tak terasa meotor telah sampai di depan rumah mewah tuan Acung.
‘’Sudah sampai Rin,’’kata pamannya seraya mematikan mesin motornya.
‘’Ya paman,’’sahut Arin seraya meletakkan kopernya ke tanah dan turun dari sepeda motor pamannya.
Paman Badrun membantu membawakan koper Arin yang ternyata berat.
‘’Barang bawaanmu banyak juga, Rin,’’gumam pamannya seraya mendorong koper yang beroda itu.
“Hehehee...iya paman...biar cukup untuk satu bulan,’’sahut Arin malu-malu.
‘’Arin kan baru boleh pulang bulan depan, paman,’’katanya lebih lanjut.
Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba pintu gerbang terbuka lebar. Nampak sebuah mobil sport keluaran terbaru melaju pelan menuju jalan raya. Terlihat oleh Arin pengemudi mobil itu, seorang pemuda ganteng, parasnya sangat menawan seperti aktor terkenal di masanya. Berkaca mata hitam, berpenampilan sporty menambah gagahnya dia di sebalik stir mobil mewahnya.
‘’Mungkin dia putra tuan Acung dan nyonya Lina?’’ pikirnya penuh tanda tanya.
‘’Aaah tapi apa urusanku?’’kembali Arin berusaha menetralkan pikirannya.
Greeeg...pintu gerbang kembali tertutup sebelum sempat Arin meminta izin kepada security untuk masuk ke gedung itu.
‘’Maaf Bang, ini Arin yang kemarin datang ngelamar kerjaan di sini...mau izin masuk kerja hari ini,’’katanya kepada security yang nampak selalu waspada menjaga gedung milik tuannya.
“Oooh neng Arin yang mau di bagian Administrasi ya?’’tanyanya ramah.
“Sebentar ya Neng, abang sambungkan ke sekretaris Nyonya Besar,’’sahut security sambil mengambil telepon di mejanya dan memencet nomor ruangan sekretaris.
‘’Ya Bang, terima kasih,’’jawab Arin sopan.
Paman Badrun masih tetap setia menemaninya. Beliau akan mengantarkannya sampai ke depan kamar mess nya.
Sesaat kemudian gerbang terbuka sepemasukan orang.
‘’Silakan Neng, kata mba Niken sekretaris Nyonya Lina, supaya langsung ke bagian HRD saja ambil kunci mess buat tempat tinggal selama di sini. Teman sekamar neng Arin sedang sift pagi semua hari ini,’’security yang kemudian diketahui bernama Herman terlihat begitu ramah kepadanya. Pada paman Badrun dia mengangguk sopan.
‘’Dari sini lurus saja ya Neng...sekitar satu kilo ntar belok kiri...di sebelah sana ada petunjuk arah menuju ruangan HRD...ikutin aja petunjuknya. Ntar di depan pintu juga ada tulisannya gede, ruang HRD,’’bang Herman memberikan penjelasan panjang lebar.
‘’Terima kasih Bang,’’ucap Arin hampir bersamaan dengan pamannya.
Dibantu pamannya, Arin berjalan menyusuri gedung mewah itu. Mengikuti petunjuk bang Herman sampailah mereka di ruangan HRD, mengambil kunci kamar mess dan kembali berjalan menyusuri ruang demi ruang.
Di bagian belakang terlihat sebuah bangunan yang mirip penginapan dengan berpuluh-puluh ruangan.
Sesampainya di depan kamar nomor 7 tempat Arin nantinya beristirahat dan tidur, mereka berhenti dan memasukkan anak kunci ke lubangnya.
Cekleeek... pintu kamar terbuka lebar.
Mereka masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam kamar, paman Badrun seperti tertegun memperhatikan sesuatu dengan seksama. Sesaat kemudian dia diam sejenak seperti sedang berdoa. Kemudian terlihat mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Arin yang sedang sibuk meletakkan koper yang diangsurkan pamannya tidak begitu memperhatikan tingkahnya. Kemudian dia duduk di kursi yang ada di dalam kamar itu.
‘’Bismillah ya Rin...jangan lupa selalu berdoa dan memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa,’’pamannya berulangkali mengingatkannya.
‘’Paman balik pulang ya Rin, jangan lupa selalu berdoa,’’pesan pamannya dengan menekankan kata ‘berdoa’.
‘’Baik, Paman...terima kasih sudah mengantarkan Arin sampai ke sini,’’katanya sambil mencium punggung telapak tangan pamannya.
Arin mengantar pamannya sampai belokan jalan. Gegas Arin kembali ke kamarnya. Masih bingung dan kikuk rasanya.
Akhirnya dia memilih duduk di depan kamar. Sepi sekali keadaan sekeliling. Dalam duduknya dia edarkan pandangan ke sekitarnya. Hatinya tercekat... dadanya berdesir cepat, di depan rumpun bambu yang tumbuh subur di sudut bangunan mess terlihat olehnya seorang perempuan cantik berambut panjang yang menatapnya tajam. Pandangannya teramat dingin hingga membuat detak jantungnya serasa berhenti. Raut wajahnya pucat pasi, seperti tidak ada aliran darah sama sekali. Arin terbeliak kaget, sejurus kemudian dia tengok layar ponselnya ingin mengetahui jam berapa saat itu.
‘’Masih pukul 09:15 pagi, belum waktunya istirahat...ngapain perempuan itu berdiri mematung di sana?’’tanyanya keheranan.
Belum lagi hilang rasa herannya, beberapa detik Arin melihat jam di layar ponselnya...dia kembali mengedarkan pandangannya ke tempat di mana tadi dilihatnya perempuan itu berdiri di sana.
Deeeg...Astagfirulloh...ke mana perginya perempuan itu?’’gumamnya keheranan.
‘’Masa secepat itu perginya? Padahal di sebelah tumbuhnya rumpun bambu itu tembok tinggi menjulang...tak mungkin kalau itu benar-benar orang dia bisa menembus tembok itu.’’
Bulu kuduk Arin meremang. Baru saja beberapa menit dia berada di lingkungan mess...sudah menemui kejadian aneh tadi.
“Tenang Arin...Bismillah...kamu pasti berani,’’gumamnya berusaha menenangkan diri.
Untuk menetralkan perasaannya yang sedari tadi tidak karuan rasanya, dia memilih berjalan-jalan melihat-lihat lingkungan sekitar mess.
Bangunan mess terlihat tidak begitu mewah, hanya bangunan membentuk huruf persegi panjang, berjajar dari ujung kamar nomor 1 dan seterusnya. Setiap kamar hampir sama ukurannya, 3x3,5meter. Tidak diketahui secara pasti isi dalam setiap kamar. Yang Arin tahu dari kamarnya ada 2 tempat tidur susun yang terbuat dari kayu jati berukuran 80 cm x 200 cm, kalau dihitung dari jumlah tempat tidurnya berarti satu kamar dihuni oleh 4 orang. 4 nakas terlihat di dalamnya, itu berarti mungkin benar perkiraan Arin tentang jumlah penghuni setiap kamarnya, dua kursi juga nampak di kamarnya.
Di dalam kamar juga ada satu kamar mandi meski terlihat sederhana Di kompleks mess juga ada deretan kamar mandi merangkap wc, Terlihat juga ruangan dapur tempat juru masak menyiapkan makanan untuk karyawan mess. Meski mereka mendapatkan jatah makan 3 kali sekali, karyawan tetap diizinkan membeli makanan di kantin atau warung depan asal masih jam istirahat atau jeda ketika jatah sift nya berakhir.
Tiiik...tiiik...tiiik...jarum jam bergeser ke angka 11:50, dari toa Masjid di seberang perusahaan tuan Acung terdengar suara Azan Dhuhur berkumandang. Arin terjaga dari lamunan...gegas Arin berniat mau menunaikan salat Dhuhur di masjid perusahaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang didapat dari security di depan. Di tempat sana tidak ada kegiatan salat berjamaah, mushola satu-satunya ada di ujung gedung utama itupun kecil, tidak cukup menampung jumlah warga kompleks perusahaan. Tuan Acung dan nyonya Lina seperti tidak suka kalau karyawannya menunaikan salat berjamaah, hingga akhirnya sebagian karyawan yang ingin menunaikan salat memilih salat sendiri-sendiri di kamarnya.
Arin merasa heran sebetulnya, di gedung perasahaan sebesar ini tidak ada tempat khusus untuk menyembah Sang Pencipta. Karyawan yang berlainan Agama nyapun tidak serta merta diizinkan bersembahyang sesuai keyakinannya. Hanya di hari-hari tertentu saja saat waktu sift berakhir mereka yang taat beribadah menyelinap keluar dari kompleks perusahaan untuk menghadiri peribadatan di tempat-tempat di sekitar sana.
Arin tersentak dari lamunannya, gegas dia berniat balik ke kamarnya. Dengan tergesa-gesa setengah berlari dia berjalan menyusuri tiap lorong perusahaan karena tanpa disadari dia sudah cukup jauh keluar dari kompleks messnya.
Terengah-engah nafasnya, ketika hampir sampai di depan pintu kamarnya tiba-tiba... .
Buuuk...dia menabrak seorang perempuan
‘’Eeeh maaf Mbaaa...tidak sengaja,’’kata Arin sambil mengatur nafasnya
Perempuan yang ditabraknya hanya mendengus lirih, menatap tajam padanya tanpa tersenyum sedikitpun.
Seeer...darah Arin serasa berdesir, dada semakin bergemuruh, hatinya serasa tercekat melihat tatapan kosong dari perempuan yang sekarang tepat berada di depannya.
Arin mundur beberapa langkah, seperti ada ketakutan tersendiri berada tepat di depan perempuan berambut panjang, bermuka pias pucat pasi itu.
Dia seperti pernah melihatnya, tapi entah mengapa Arin seperti lupa itu di mana.
Gegas Arin mengambil kunci dari saku celananya, dengan gemetar dia memasukkan anak kunci ke lubangnya. Berkali-kali gagal.
“Aaah...ada apa ini?’’sergah Arin gelisah.
Cekleeek...akhirnya pintu kamarnya berhasil dia buka, Entah kenapa seperti ada keinginan untuk menengok ke arah perempuan yang tadi ditabraknya...dan jantungnya semakin berdegub keras ketika terlihat di depannya sudah tidak ada lagi dia.
‘’Haaah...kemana perginya dia?’’ tanyanya kepada diri sendiri.
‘’Tak mungkin kalau manusia dia bisa secepat itu pergi dari hadapannya karena jarak antara kamar mess dengan ruangan lainnya terbilang cukup jauh. Merinding tiba-tiba bulu kuduk Arin. Tadi ketika dia tak sengaja bertabrakan dengannyapun serasa aneh rasanya, seperti tiba-tiba ada angin dingin berhembus di dekatnya.
‘’Aaah tapi sudahlah...buat apa aku pikirkan dia? sekarang aku harus cepat-cepat ambil air wudu dan menunaikan kewajiban 4 rakaatku saja,’’kata hati Arin.
Cepat-cepat dia berjalan menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Di sana terdapat pula satu kran yang bisa difungsikan untuk banyak hal, di samping berwudu, mencuci, menampung air untuk mandi dan sebagainya.
Arin memutar kran tersebut
Krucuk-krucuk-krucuuuk...terdengar bunyi benda cair keluar dari ujung kran yang tadi diputarnya.
‘’Astagfirullohal’adzim....apa ini? kok merah? Darah??!, hati Arin serasa tercekat.
Hampir pingsan dia ketika terlihat bukan air bening yang mengucur dari ujung kran melainkan cairan berwarna merah darah.
‘’Bismillahirrahmanirrahim...dia nekad menangkupkan kedua telapak tangannya menampung aliran air yang keluar.
‘’Yaaa Allah,... ternyata air bening yang ada di telapak tangannya.
Hatinya semakin tidak karuan rasanya. Dengan mengumpulkan keberaniannya dia berdoa sebisanya untuk kemudian tetap mengambil air wudu.
Entah mengapa setelah dia komat-kamit melafalkan berbagai doa yang dia bisa, air yang tadinya terlihat berwarna merah darah berubah normal seperti layaknya air kran.
Berkali-kali Arin beristigfar, mengumpulkan kekuataannya untuk tetap mengerjakan salat Dhuhur meski lututnya terasa lemas tak berdaya. Sekujur tubuh serasa sulit untuk digerakkan.
Selesai salat, berzikir dan berdoa satu persatu tenaganya pulih meski getar-getar ketakutan masih ada namun kemudian berangsur-angsur hilang.
Selesai melakukan kewajibannya Arin melepaskan mukenah dan melipat sajadahnya. Dengan perasaan yang mulai tenang dia duduk di tepian ranjang.
‘’Ada apa ini?’’pikir Arin.
‘’Sepertinya banyak misteri yang ada di perusahaan ini...tapi apa?’’ batinnya penuh tanda tanya.
‘’Tapi sudahlah...itu bukan urusanku,’’katanya lebih lanjut.
Teeet....tanda waktu istirahat makan siang berbunyi. Perlahan Arin keluar kamar dan berjalan ke kantin ingin membeli minuman sekaligus penasaran dengan suasana di perusahaan itu. Disusurinya papan petunjuk yang mengarah ke kantin. Sesampai di sana terlihat ramai karyawan sedang makan siang. Walaupun makan siang disediakan oleh perusahaan di pantry, tapi tidak sedikit karyawan yang memilih membelinya di kantin. Hanya sebagian dari mereka yang menuju ke pantry untuk makan siang.
Arin memilih minuman yang akan dia beli, mengambil dan membayarnya di kasir.
Celingak-celinguk Arin mencari bangku yang kosong, ketika tiba-tiba seseorang melambaikan tangan mengajaknya duduk di depannya yang kebetulan kosong.
Deeeg, pemuda itu...yang tadi pagi aku lihat sedang mengendarai mobil sportnya,’’bisik lirih batin Arin.
Arin bingung dengan lambaian tangan itu ditujukan kepada siapa. Masih dalam posisi diam Arin berdiri mencari-cari bangku yang kosong.
Pria tadi akhirnya berdiri, melangkah mendekati Arin dan menyeretnya kemudian mendudukkannya di bangku kosong di depannya.
‘’Kamu Arin karyawan baru itu kan?’’sapanya setelah Arin yang masih terbengong-bengong duduk di depannya.
‘’I- iiya Mas,’’jawab Arin terbata.
“Panggil aku Adit saja, tidak usah pakai embel-embel,’’katanya seraya tertawa renyah.
Tatapan matanya sangat tajam, setajam elang. Sorot matanya begitu menusuk jantung di dada. Lidah Arin serasa kelu, dia tidak berani memulai percakapan dengan pria pewaris perusahaan milik tuan Acung yang sekarang sedang duduk tepat di hadapannya.
Ya...Arin sudah mendengar selentingan, anak tuan Acung dan nyonya Lina ada 3, dua perempuan, satu laki-laki. Anak tertua sudah menikah dan dibawa suaminya ke Singapura. Anak ke dua sedang Sekolah Mode di kota yang sangat terkenal maju di bidang Fashion’nya, Paris, Perancis. Satu laki-laki yang sekarang sedang duduk sambil asyik menikmati hidangannya.
‘’Mudah-mudahan kamu betah kerja di sini ya Rin, di tempat yang syahdu ini,’’katanya seraya kembali terkekeh.
Arin hanya tersenyum tak mengerti. Dia hanya berusaha mencerna apa yang didengarnya tadi, tanpa berani menanyakan lebih jauh.
‘’Kamu kenapa tidak melanjutkan kuliah saja Rin? Aku dengar kamu lulusan terbaik di SMK mu?’’
Wooow Administrasi Perkantoran looo Rin, kerreeen...kamu bisa jadi sekretaris yang handal nantinya,’’kata Adit panjang lebar.
Arin hanya tersenyum kecut seraya menjawab lirih,
‘’Ti-tiidak ada bi-ayaanya Maa...eh Dit,’’jawabnya terbata.
‘’Santuy aja kale Rin...ngga’ usah grogi begitu, hehehee.,’’kekeh Adit lucu.
Arin semakin tidak karuan rasanya. Ingin rasanya dia segera pergi dari keadaan di sana, sungguh tidak enak duduk dalam posisi seperti mati kutu begini, tapi pesonanya sungguh luar biasa...belum pernah sekalipun Arin bertemu bahkan berkenalan dengan pria setampan dan segagah Adit. Wanita mana yang tak bakal tergoda dan berbunga-bunga bila bisa menjadi kekasihnya bahkan istrinya.
Tanpa sadar Arin senyum-senyum sendiri.
Ternyata tingkah anehnya ditangkap oleh mata elang Adit hingga sejurus kemudian...
‘’Haiii...napa senyum-senyum sendiri sih...kaya’ ada yang aneh saja?’’tegurnya seraya mukanya pura-pura cemberut.
‘’Eeeh ma aaf Mas eeh Dit...tidak ada apa-apa kok,’’tambah kikuk dan serba salah saja rasanya Arin berduaan seperti ini. Ada perasaan aneh yang menjalar di relung hati terdalamnya.
“Eit tunggu Arin, kamu tidak pantas untuknya...kamu hanya karyawannya saja,’’bisik lirih hatinnya. Pada akhirnya dia memilih untuk pamit meninggalkan kantin itu dan kembali ke kamarnya diiringi pandangan takjub dari Adit.
#####
Teeettt...pukul 15.00 tepat tanda sift pertama berakhir, Arin sedang siap-siap berangkat bekerja di sift keduanya ketika terlihat 3 orang gadis yang sepertinya sebaya dengannya berjalan beriringan menuju kamarnya.
‘’Haiii...,’’sapa salah satu gadis itu.
‘’Kamu Arin ya,’’sapanya ramah.
‘’Kenalkan ya,...aku Martha, ini Melda, ini Aisha,’’katanya memperkenalkan diri.
‘’Aku Arin, kak,’’balasnya ramah.
‘’Panggil namannya saja Rin, tidak usah pakai embel-embel sebutan...biar akrab begitu...kita kan akan jadi teman sekamar sekaligus partner kerja,’’sergah Melda sambil tersenyum ramah.
‘’Nanti kamu tidur di sebelah atas sana ya Rin..maaf soalnya tinggal di sana itu satu-satunya ranjang yang kosong,’’kata Aisha menjelaskan.
‘’Itu nakasmu yang sebelah kanan itu ya Rin, yang lain juga sudah terisi soalnya,’’kembali Aisha menjelaskan.
Arin hanya mengangguk saja mendengarkan celoteh dan titah teman-temannya. Sejurus kemudian dia ambil koper yang sedari dia datang masih tergeletak di sudut kamarnya. Dia buka kopernya, satu persatu mengambil baju-baju dan segala perlengkapannya selama berada di perusahaan tuan Acung, memasukkan dan menata rapi pada nakas yang menjadi bagiannya.
Tiba-tiba temannya tiba-tiba menceletuk,
‘’Tapi cuekin saja ya Rin, kalau kamu ntar lihat yang aneh-aneh,’’kata Martha sembari terkekeh.
Sttt...kedua temannya mengisyaratkan telunjuk yang ditempelkan di bibir pertanda supaya Martha tidak meneruskan ucapannya.
‘’Hahahaa...hanya becanda Rin, ngga’ usah diambil hati omonganku ini, cepetan gih...berangkat kerja, dimarahi mba Niken ntar kalau kamu telat masuknya,’’kata Martha sejurus kemudian.
Arin segera berpamitan kepada teman-teman barunya untuk berangkat kerja menggantikan sift pertama. Tidak lupa dia membawa kunci kamarnya khawatir nanti malam ketika dia pulang teman-temannya sudah tertidur.
Hari itu Arin bekerja di bagian Administrasi dengan cukup lancar. Ketika ada sesuatu yang ingin ditanyakannya dia tanpa segan bertanya kepada Mba Niken sebagai kepala bagian Administrasi merangkap sekretaris pribadi dari nyonya Lina, istri tuan Acung pemilik perusahaan ini.
******

Komento sa Aklat (147)

  • avatar
    AzisAbdul

    wow

    8d

      0
  • avatar
    FauziahNada

    menarik

    03/08

      0
  • avatar
    Ayam RacerKentut

    woow

    28/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata