logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

H-3

Rayya meraih ponsel di atas nakas. Ada nama Papa Tega di sana. Dengan malas digesernya tanda hijau pada layar.
“Iya Pa, Ayy ingat.” Ia langsung menjawab tanpa menunggu ditanya. Sudah menduga apa yang akan dikatakan papanya.
Iya, Papa Rizal selalu membicarakan hal yang sama setiap kali menelepon. Ingin sekali menjadikan Johan sebagai menantu. Yakin putrinya akan bahagia dengan orang itu. Andai ia tahu kelakuan Johan.
Ah sayang, tak ada yang mendengarkan saat Rayya keukeuh menceritakan segala keburukan Johan, termasuk percobaan pemerkosaan dua tahun lalu. Siapa yang akan percaya? Bahkan orang yang disangka pelaku masih mendekam di penjara. Keluarganya malah menganggap ia mengada-ngada karena tak ingin dijodohkan dengan Johan.  Sepertinya lelaki brengsek itu bukan orang sembarangan.
Rayya meninggalkan rumah kakaknya, masuk ke mobil lalu mengemudi dengan lesu. Kampus tampak ramai. Ujian masih berlangsung hingga lusa. Jika biasanya para mahasiswa menantikan hari terakhir ujian, maka tidak bagi Rayya. Ia malah berharap ujian diperpanjang hingga bulan depan. Libur semester kali ini adalah momok baginya.
Dengan semangat level zero, Rayya mengemudikan mobilnya menuju area parkir. Dari balik kaca, ia melihat kedua sahabatnya mengobrol di kursi taman. Gadis itu bergabung, duduk di samping Dian dan minum softdrink yang terletak di antara mereka.
“Sudah datang tanpa salam, minum tanpa ijin pula.” Dian protes minumannya ludes.
“Pelit! Ini yang kamu sebut sahabat rasa saudara?“ Duh, kelihatannya lagi sensitif nih.
“lya iya, bercanda. Ambil deh sebanyak yang kamu mau.” Dian mendadak jinak. Ingat betapa royal temannya ini.
“Telat.” Rayya masih sinis.
“Kamu kenapa sih  Ayy? Perasaan dari minggu lalu nggak semangat banget. Kusut banget tuh muka.” Lisa jengah juga melihat tingkah sahabatnya. Rayya tidak menjawab. Ia memutar bola mata dengan malas, lalu mengusap wajahnya kasar.
“Tau tuh si Ayy, disuruh kawin kok malah sedih. Kalau aku langsung embat aja. Kan asik ada yang nemanin bobo.” Dian nyerocos sok tahu.
“Itu kamu, dasar mesum!” Rayya mencubit lengan Dian dengan jengkel.
“Aww, sakit Ayy. Astaga, cantik-cantik ganas.” Dian meringis sambil mengusap lengannya.
“Makanya, mulut tuh pake filter. Ngomong seenak udel. Bukannya ngasih solusi juga.” Lisa ikutan ngomel.
Tapi bukan Dian namanya kalau tidak bisa mengelak, “Loh, justru aku tuh ngasih solusi. Rayya disuruh nikah sama cowok tampan.Apa susahnya coba.” Ia lalu memutar tubuhnya menghadap penuh pada Rayya. “Ayy, kamu kan bilang kalau papa kamu tuh kepala batu berkulit badak.” Dian spontan menutup mulutnya saat gadis di dekatnya menatapnya galak.
“Kapan aku bilang begitu?”
“Eemm, ya waktu itu kan kamu bilang papamu keras kepala,” bela Dian.
“Keras kepala, bukan kepala batu,” protes Rayya.
“Sama aja kan?”
“Sama apanya? Aku nggak pernah bilang papaku kepala batu, apalagi berkulit badak. Itu sama aja kamu mengumpat orang tuaku. Dosa tau.” Dasar Dian, bikin Rayya makin kesal.
“Iya deh, maaf.” Dian mengalah.
“Maaf gundulmu, kamu tuh ya kebiasaan ngomong nggak sesuai fakta. Begini nih orang keseringan ngengosip, nggak nyadar kan kalo ngomong suka lebih. Kebanyakan makan bangkai sesama. Dasar cewek!” Astaga, Rayya makin galak.
‘Lah, memang aku cewek. Dan kapan aku gundul?’ Dian hanya membatin, malas menanggapi omelan Rayya. Gadis cantik satu ini, tampak kalem di luar tapi barbar di dalam. Kamu berani bikin dia kesal, berarti siap menerima omongan penuh cabe.
“Iya deh, aku diam.” Dian mencoba meredakan suasana.
“Siapa yang nyuruh diam? Kasih solusi!” Dih, salah lagi deh.
Dian benar-benar gemas, “Kamu mau aku kasi solusi? Denger nih baik-baik. Kamu nggak punya pacar, sementara Faisal nggak masuk hitungan papamu. Jadi,” -diam sejenak dan menarik napas- “sebaiknya kamu mulai berburu.”
“Berburu? Kamu pikir aku nyari binatang?” Please deh Ayy, dengar dulu sampai tuntas.
“Yang bilang gitu siapa?” Kan, jadi emosi. “Maksud aku tuh, kamu harus mulai nyari cowok ganteng tajir yang sesuai kriteria papamu.”
Rayya tampak ingin protes, tapi buru-buru Dian lanjut bicara, “Iya, aku tahu kamu anti pacaran. Aku nggak nyuruh kamu nyari pacar beneran kok. Tapi pacar pura-pura. Yaa semacam pacar sewaan gitu, jadi kamu yang nentukan aturannya. Gimana?” Dian berhenti bicara dan senyum sambil menaik turunkan alis, merasa puas dengan solusinya.
Bukannya dipuji, malah dapat toyoran di kepala. “Dasar teman gak guna. Bisa-bisanya kamu nyuruh aku nipu orangtuaku.” Dian menatap Lisa mencari dukungan, yang ditatap hanya mengedikkan bahu.
***
“Ayy, gimana ideku tadi. Bagus kan?” Dian bertanya sambil menuang sambal ke dalam mangkuk bakso.
“Bagus apanya? Yang ada kalau ketahuan bisa digantung aku,” jawab Rayya sambil mencelupkan pentol bakso ke dalam kecap manis yang tadi dituangnya di atas piring kecil. Ck ck ck, anak sultan selera jelata.
“Berarti fix, kamu terima aja tawaran papa kamu. Entar seserahannya biar kami yang nyusun. Karena kita setia kawan, biar ikutan dapat, kita buat semuanya rangkap tiga.”
Lisa tertawa mendengar kata rangkap tiga. “Itu seserahan atau makalah?”
“Bukan, soal ujian. Ujian hidup Rayya, hahaha.” Rayya menatap sebal kedua sahabatnya.
“Seneng ya liat sahabat sendiri menderita.”Rayya melempar remasan tisu ke arah Dian.
“Bercanda, Ayy. Eh ada Faisal, Ayy.” Rayya mengikuti arah pandangan Dian.
Faisal, lelaki jebolan pesantren idola Rayya,  tengah asyik menikmati sepiring gado-gado. Kemeja bermotif kotak-kotak yang kancingnya dibiarkan terbuka menampilkan kaos berwarna abu muda. Celana kain yang ujung bawah hanya sampai mata kaki sempurna mengekspos kaki yang tertutup sneakers, jangan lupakan kabel kecil menjuntai dari dalam telinga kanannya terhubung ke ponsel yang terletak di atas meja.
Rayya menebak-nebak, kalau bukan murottal, lelaki itu mungkin sedang mendengarkan ceramah dari ponselnya.
Rayya mengenal Faisal sejak hari pertama masuk SD. Bocah ceria berambut ikal yang meminjaminya pensil saat kotak pensilnya tertinggal di mobil papanya. Mereka berteman hingga lulus. Mereka berpisah saat Rayya memilih sekolah umum sedangkan Faisal memilih masuk pesantren.
“Idaman banget ya, Ayy,” kata Dian membuyarkan memori Rayya. Lelaki itu masih di sana. Memasukkan suapan terakhir ke mulutnya lalu meneguk air putih dari botol minumnya sendiri. Ia ingat, mereka dulu sering berbagi bekas bibir di mulut botol yang sama. Mungkinkah ada kesempatan mengulang kenangan manis itu?
“Buruan Ayy, ajak dia ketemu papamu. Buktikan kekuatan cinta mengalahkan harta dan tahta.” Dian terus saja nyerocos, tidak tahu perang dalam batin Rayya.
Faisal, lelaki yang kini tidak akan menatapnya lebih dari lima detik. Bagaimana mungkin ia menggandeng tangannya tanpa status halal?
Rayya menarik napasnya, tepat ketika Lisa melakukan hal yang sama. Rayya tahu, di meja itu bukan dia satu-satunya yang menaruh harapan.

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    NoepRoslin

    Ceritanya sungguh menarik..🥰🥰

    18/09/2023

      0
  • avatar
    LanchangVonica

    bagus

    06/03/2023

      0
  • avatar
    HandayaniSri

    bestt sekali

    05/03/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata