logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Unpredictable Husband

Unpredictable Husband

Dayunie


Lelaki Itu Ternyata Dia

“Aaarg!”
Suara erangan keluar dari mulut Johan. Kedua tangannya refleks menyentuh bagian bawah perut yang baru saja menerima hunjaman keras dari lutut kanan Rayya. Lelaki itu terkapar.
Bagai singa betina, Rayya bangkit dan menghadiahkan tendangan lagi ke pinggang. Sekali lagi lelaki br*ngs*k itu berteriak kesakitan. Hukuman setimpal untuk seorang yang nyaris merenggut mahkotanya.
Gadis berseragam abu putih itu berlari menuju pintu. Berusaha membuka kunci dengan tangan terikat. Sulit tapi berhasil. Tunggu, dia melihat kunci mobil di atas kursi. Diambilnya dengan mulut lalu berlari ke luar dan meninggalkan Johan, terkunci di dalam sana.
“Aku akan membalasmu, Rayya!” Ia tidak peduli teriakan dari dalam sana. Tujuannya hanya satu, segera pergi dari tempat sialan itu.
Ini semua gara-gara Mang Beni---sopirnya---yang telat menjemput karena mobil mogok. Tak ingin berlama-lama sendirian di halte dengan tubuh kedinginan karena cuaca mendung dan berangin, terpaksa gadis yang nyaris celaka itu memesan taksi online.
Lima menit kemudian sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca pintu depan bergerak turun, seorang pria dengan masker biru menoleh.
“Rayya?” katanya memberi isyarat sebagai sopir mobil yang ia pesan.
Tanpa menunggu lama, ia mengangkat tasnya di atas kepala, berlari dan membuka pintu, lalu duduk sambil mengelap tetesan air hujan pada tas.
“Sesuai aplikasi ya, Pak!”
“Siap.” Mobil melaju pelan.
Hari ini cukup melelahkan dan menguras emosi. Rayya memejamkan mata sejenak, bersandar pada kursi sambil menenangkan diri.
Hingga ia merasakan mobil berhenti. Perlahan matanya terbuka, tidak ada siapa-siapa di kursi pengemudi. Melihat sekeliling, ini bukan rumahnya.
Belum sepenuhnya menyadari situasi, pintu terbuka. Kedua tangannya ditarik ke luar, langsung diikat dengan tali. Tubuh mungil itu meronta, tapi hanya membuat kehabisan tenaga. Lelaki dengan masker biru itu membopongnya, mengabaikan teriakan dan gigitan di punggung.
Sopir misterius itu membawanya ke sebuah rumah kosong. Ia dilemparkan ke atas kasur.
“Siapa kamu? Apa maumu?” Pertanyaan bodoh. Rayya sudah bisa menduga apa mau lelaki kurang ajar itu.
Masker pun dilepas.
“Jo—Johan.” Rayya panik. Johan, mantan kakak kelas yang pernah ditolaknya mentah-mentah kini tertawa jahat di depannya.
“Wow, kau mengingatku. Aku tersanjung, hahaha.” Johan menaiki ranjang, kedua lutut menopang tubuhnya yang kekar. Jaketnya dilepas dan dilemparkan ke sisi kanan.
Rayya memindai sekeliling. Ada asbak kaca di atas nakas. Tak berguna, kedua tangannya terikat. Satu-satunya cara adalah lari. Sayangnya kedua tangan Johan menekan pundaknya, mepet ke tembok.
“Jangan coba-coba menyentuhku sedikit pun!” ancamnya sok berani.
“Cuma orang bodoh yang akan menyentuhmu sedikit, aku mau ...,”-ditatapnya tubuh Rayya seperti singa lapar-“semuanya.”
Rayya meronta, tapi cengkeraman di pundaknya semakin kuat. Kesempatan datang ketika Johan memajukan wajahnya. Dia menyemburkan ludah, membuat Johan terkejut dan melepaskan tangan kanan untuk menyeka air ludah di kelopak matanya. Itulah saat ketika lelaki itu menerima serangan pertama Rayya.
Air matanya terus mengucur kala mengingat kejadian barusan. Rayya mengemudi dengan tangan terikat dan gemetar. Haruskah ia langsung pulang? Kedua orangtuanya masih di Saudi untuk ibadah umroh, kakak laki-lakinya sedang berada di Singapura, kakak pertamanya terpisah oleh samudra.
Kantor polisi! Dia harus melaporkan kejadian ini, untuk memastikan Johan tidak menjadi ancaman. Kemudi diputar ke arah kiri. Menuju kantor polisi terdekat.
Dengan sesenggukan diberikannya keterangan pada seorang polwan yang berusaha menenangkan. Mereka akan menangkap Johan, tapi Rayya harus ikut untuk menunjukkan jalan.
Dua mobil polisi melakukan penjemputan. Rayya duduk di kursi belakang ditemani polwan tadi.
Pintu rumah itu masih terbuka, persis ketika Rayya tinggalkan tadi. Dua orang polisi masuk, lalu keluar dengan tawanan yang tak berdaya.
Rayya melihatnya, jaket yang tadi dilepas kini terpasang kembali di badan Jo.... Tunggu, lelaki itu mengangkat kepalanya. Itu bukan Johan. Apa yang terjadi?
***
Dua tahun kemudian.
Rumah bercat biru langit itu sedang lengkap personilnya. Sepasang suami istri dengan dua anak yang tak lagi bocah, satu anak sudah berkeluarga dan tinggal di tempat berbeda, jadi tak masuk hitungan.
Meja makan adalah tempat favorit mereka untuk mengobrol, selain ruang keluarga dan teras belakang.
“Ayy, gimana Nak? Teman Papa nawarin anaknya buat kamu. Masih muda orangnya.” Papa Rizal membuka pembicaraan yang selalu merusak mood Rayya.
“Apa sih Pa, jodohin melulu. Nggak bosen, apa?” Putri bungsunya itu menjawab malas.
“Nak, kamu itu cantik. Papa pusing mikirin alasan tiap ada rekan bisnis Papa yang minta kamu jadi menantu. Lebih baik kamu segera nikah, atau tunangan aja dulu.”
“Pokoknya nggak, Ayy mau kuliah dulu,” protes Rayya yang kesekian kalinya.
“Ya kan kuliah masih bisa setelah nikah.” Tuh kan, si Papa pantang mundur.
“Tapi Pa, Ayy masih mau bebas. Ya ampun Pa, Ayy baru dua puluh tahun, belum bisa ngurus anak orang.” Rayya terus saja menolak. Terbayang repotnya mengurus suami dan anak. Dia ingat Nadya, kakak sulungnya, terpaksa melepas karir yang sedang menanjak demi keluarga kecilnya.
“Memangnya kamu disuruh nikah sama bocah?” Haikal, anak kedua yang usianya terpaut delapan tahun dengan Rayya, ikut berbicara. ”Biarin aja dia ngurus dirinya sendiri. Kamu cukup nemani tidur, aww....” Centong nasi mendarat di jidat Haikal.
“Ngomong apa kamu, bujang lapuk?” Mama Mira melotot garang.
“Baru dua lapan Ma, belum lapuk.” Diusapnya jidat yang memerah.
“Umur dua lapan Papa sudah punya kamu,” timpal si Papa. “Harusnya kamu juga sudah ngasih cucu,” lanjutnya. Wah, sepertinya sidang untuk mengadili Rayya kini berbalik mengadili Haikal.
“Gimana mau ngasih cucu, gandeng cewek aja gak pernah.” Tuh kan, kalau Mama Mira sudah bicara, panjang urusan. “Mama curiga ini anak nggak normal,” katanya sambil memicingkan mata, penuh intimidasi.
“Sembarangan, Ikal normal 100%. Ini jomblo bukan sembarang jomblo, Ma.” Sombong!
“Memang, jomblo karatan, ”kata Mama Mira sambil menusuk bistik daging dengan garpu.
“Bukan karatan Ma, berkualitas,” bela Haikal, masih membanggakan kejombloannya.
“Cih, berkualitas katanya, Mama nggak percaya sebelum kamu gandeng istrimu ke rumah ini. Jangan motor saja yang digandeg.” Mama benaran kompor, kan.
“Motor nggak digandeng Ma, tapi ditunggangi, aww....” Kali ini bukan centong nasi di jidat, tapi tangan di kuping. Mama menjewer kuping si Jomblo tanpa ampun.
“Ada aja ya jawaban kamu.”
“Aduh, sakit Ma. Noh liat, Rayya udah kabur,” Benar saja, Rayya sudah beridiri di anak tangga paling atas, bersiap menuju kamar. Dan Haikal pun kabur, memanfaatkan kelengahan mamanya.
“HAIKAAAL,” teriak mamanya. Papa hanya geleng-geleng kepala.
***
Rayya sebenarnya anak yang penurut, tapi kalau berbicara soal perjodohan, ia pikir-pikir dulu. Ini bukan perkara sehari dua hari, tapi seumur hidup. Siapa yang sudi mendampingi seseorang yang tidak dicintai. Sejauh yang ia lihat, papanya hanya merasa tidak nyaman dengan permintaan rekan-rekan bisnis. Setiap orang yang melihat Rayya akan meminta menjadi besan, bahkan beberapa menawarkan diri sendiri.
Ada alasan lain, Rayya memendam rasa pada kawan masa kecilnya. Sayang, ia belum punya cara untuk mengungkapkan pada keluarganya. Apalagi jika sudah menyangkut kasta, aduh susah bicaranya.
***
“Pa, please ini yang terakhir ya. Ayy bosen dipajangin gini terus. Papa kok tega banget sih sama anak sendiri.” Untuk kesekian kalinya Rayya protes permintaan Papa Rizal untuk bertemu dengan lelaki yang katanya ingin menjalin hubungan keluarga.
“Maksud Papa baik, Sayang. Papa ingin menjaga kamu. Ingat nggak berita tentang hilangnya gadis-gadis? Papa takut kejadian itu menimpa kamu. Ingat, korbannya rata-rata mahasiswi dan cantik-cantik.” Mama Mira tampak mendukung niat suaminya.
“Ayy bisa jaga diri kok. Ayy nggak pernah keluyuran, langsung pulang. Paling juga ke kosan Lisa, aman Ma.”
“Dicomblangin lagi dicomblangin lagi. Ayy, kalau nggak mau dicariin Papa, bawa sini lelaki pilihan kamu.” Haikal lagi-lagi ikut nimbrung dengan ide konyolnya.
“Nah, Papa setuju.” Di luar dugaan, Papa Rizal menerima ide Haikal. “Tapi setelah ketemu yang satu ini,” tambahnya.
“Gimana, Sayang? Kamu punya seseorang yang bisa dikenalin?” tanya mamanya.
Satu-satunya lelaki yang diingat Rayya adalah Faisal, tapi itu mustahil. Levelnya jauh dibanding rekan bisnis papanya yang semuanya pengusaha sukses.
“Baik, Ayy setuju.” Tak ada pilihan. Lebih baik menerima kesempatan itu sambil memikirkan solusi lainnya.
Rayya tak pernah tertarik menjalin hubungan dengan lelaki. Baginya, menikah bukan prioritas saat ini. Lebih baik menyibukkan diri dengan kuliah dan menikmati masa muda dengan sahabatnya.
Orang yang ditunggu Papa Rizal akhirnya datang. Lelaki itu duduk di sofa berhadapan dengan tuan rumah. Rayya yang sebelumnya sudah diberitahu oleh salah satu ART di rumah itu segera menemui mereka. Berharap urusan ini cepat selesai.
“Ini putri bungsu kami.” Papa Rizal mengenalkan Rayya yang menunduk malas. Gadis itu hanya menatap tepi meja, sama sekali tak tertarik dengan pria yang entah siapa itu.
“Sayang, kenalan dulu dengan teman Papa.” Mau tak mau Rayya mengangkat kepalanya.
“Johan?” Wajahnya pucat seketika.

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    NoepRoslin

    Ceritanya sungguh menarik..🥰🥰

    18/09/2023

      0
  • avatar
    LanchangVonica

    bagus

    06/03/2023

      0
  • avatar
    HandayaniSri

    bestt sekali

    05/03/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata