logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hari Yang Aneh

Kesempatan kedua, kurasa siapa pun berhak mendapatkan itu. Kesalahan yang dilakukan Mas Yoga sangat fatal, aku tak menampik akan hal itu. Namun, jauh di dasar hatiku, masih berharap ia akan berubah. Pernikahan yang masih seumur jagung ini, masih ingin kupertahankan. Pilihan yang sulit memang, terlalu berisiko untuk hidup dengan seseorang yang telah berkhianat. Yang akan menjadi akhir, hanyalah antara dua. Ia akan berubah atau ia akan mengulangi hal yang sama, lagi dan lagi. Untuk itu, aku sudah sampai pada sebuah kesimpulan. Jika setelah ini Mas Yoga tak benar-benar berubah, maka kesempatan ketiga hanya akan menjadi mimpi baginya.
🌷
Pagi ini Mas Yoga pamit kerja. Katanya ikut bantu panen udang, di tambak milik Haji Sobirin. Untuk sarapan dan uang rokok, langsung diberi di sana. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Aku masih tidak mau berbicara dengannya. Jika ia bicara, aku hanya menatapnya sekilas, lalu melanjutkan pekerjaanku. Mas Yoga sepertinya maklum, ia tak protes. Baguslah, setidaknya ia tahu diri.
Daun pintu yang kemarin lepas, sudah dibenarkan. Tampaknya otak Mas Yoga sudah mulai bisa berpikir lurus. Entah dia sudah benar-benar berubah atau hanya sementara saja. Aku belum bisa memastikan.
Kulirik sekilas jam dinding berbentuk lingkaran, sudah menunjukkan pukul setengah 10. Sebaiknya aku bergegas untuk menuju ke rumah Angel. Meskipun pikiran masih sedikit kalut dengan peristiwa kemarin, aku harus tetap bekerja.
Gang yang biasa aku lalui, hari ini terlihat lebih ramai dari biasanya. Ibu-ibu duduk di warung bergerombol. Entah sekadar berbelanja, atau ditambah dengan sesi menggosip. Saat aku lewat, beberapa pasang mata tampak melirik, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Mulut mereka berbisik-bisik. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
Debu-debu jalanan berterbangan, asap-asap kendaraan memenuhi udara. Cuaca terasa sangat panas, setelah beberapa hari tak disapa hujan. Berhenti di lampu merah, kugunakan kesempatan untuk mengenakan sarung tangan. Rasanya punggung tanganku panas terbakar. Kulitku yang dulu bening dan bersih, sekarang terlihat kecoklatan di sana.
Kumasuki halaman rumah Angel setelah gerbang dibuka. Keadaan tampak sepi. Pintu rumah juga tertutup. Biasanya Angel akan menungguku dengan pintu terbuka. Sedikit ragu, kupencet bel sambil mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum!" seruku. Tak ada jawaban. Kupencet bel sekali lagi.
Suara derap langkah samar terdengar. Pintu terbuka, menampilkan sebuah wajah yang asing di mata. Alis hitam pekat, menaungi mata yang berkilat tajam dengan bulu mata lentik. Hidung mancung, dengan rahang yang tegas. Rambut berwarna cokelat itu, mengingatkanku pada seseorang. Beberapa detik pandangan kami saling beradu. Alisnya bertaut, disusul dengan suara bariton.
"Cari siapa?" tanyanya.
"Ah, eh, ca–cari Angel!" jawabku tergagap
"Mau apa cari anak saya?" selidiknya lagi.
Anak? Berarti, lelaki ini papanya Angel?
"Oh, Anda papanya Angel? Saya guru les privatnya!" Kenapa pula suaraku bergetar?
"Hmm, begitu. Angel dan omanya sedang ke mini market sebentar. Membeli camilan. Silakan masuk!" Ia membuka pintu lebar-lebar setelah memandangiku dari atas sampai bawah.
"Oh, terima kasih!" ucapku. Dengan langkah ragu aku masuk ke dalam. Rasanya sedikit canggung.
"Duduk saja. Mereka akan pulang sebentar lagi." Sosok itu lantas berlalu, kemudian duduk di kursi yang menghadap kolam renang. Di tangannya terbentang koran.
Rumah yang biasanya ramai dengan celotehan Angel, sekarang terasa sangat sepi. Merasa bosan, kukeluarkan ponsel dari tas untuk sekadar mengusir rasa bosan menunggu. Semoga saja Angel dan omanya tidak terlalu lama.
Entah berapa menit berlalu. Pandanganku masih terfokus ke layar pipih di tangan, ketika sosok gagah atletis itu sudah berdiri di hadapan. Mataku sontak melebar, kaget.
"Bisa ... minta tolong?" tanyanya terdengar ragu.
"A–apa?" Entah kenapa aku gugup sekali.
"Kalau tidak keberatan, saya minta tolong buatkan secangkir kopi. Saya tidak tahu takaran kopi dan gula yang pas," pintanya.
Minta buatkan kopi?
"Maaf, tapi, Bik Inah ke mana?" Tanpa sadar aku bangkit. Biasanya Bik Inah selalu siap siaga.
"Entahlah. Kalau Anda keberatan, tidak usah," katanya sambil menjauh.
"Akan saya buatkan! Antar saya ke dapur!" Aku keceplosan.
Wajahnya seketika terlihat bersemangat. Samar kulihat senyum tipis di bibirnya yang penuh. Aku langsung beranjak mengikuti tubuh tingginya, menuju ke ruangan tempat peralatan-peralatan masak mahal dan canggih tertata rapi. Papa Angel menunjukkan di mana letak gula, kopi, dan air panas, lalu keluar dari dapur meninggalkanku yang masih takjub.
Begini rupanya bentuk dapur orang kaya? Selama ini aku hanya pernah melihat di TV. Tak ada wajan dengan pantat berwarna hitam, yang ditambal karena sudah pernah bocor. Tak ada kompor butut dan tabung gas berwarna hijau. Tak ada piring-piring murah hadiah deterjen. Kitchen set yang apik menempel di dinding bagian atas. Sementara lemari pendinginnya, sebesar lemari pakaianku yang berpintu dua. Aku ternganga, tapi cepat tersadar. Kuambil cangkir mengkilap bergambar ukiran bunga, lalu cepat kuisi dengan kopi, gula, dan air panas.
Kuletakkan dengan pelan kopi panas di atas meja. Lelaki berjambang tipis itu melirikku sekilas, sebelum melanjutkan membaca koran.
"Terima kasih," ucapnya datar.
Aku mengangguk, lalu menghempaskan pantatku di sofa ruang tamu. Untunglah, tak lama suara Angel memecah keheningan diikuti dengan Bu Widya.
"Bu guru!" seru Angel, lalu menghampiriku. Aku tersenyum mengacak rambutnya. Ia tertawa geli.
"Mbak Diah, sudah lama? Maaf ya, tadi Angel malah ajak saya jalan ke Indojuni. Mau beli es krim katanya," kata Bu Widya sambil menaruh kantong plastik besar ke lantai.
"Oh, iya, gak apa-apa, Bu. Saya belum lama, kok!"
"Ah, iya! Sudah ketemu sama papanya Angel, ya?" tanya Bu Widya sambil melirik putranya yang tak acuh.
"Inggih, sudah Bu!" jawabku cepat, menatap ke arahnya sekilas. Pandangan kami bertemu, aku langsung berpaling. Kenapa aku berdebar seperti ini? Sadar, Diah!
"Lha, itu bikin kopi sendiri? Emang enak rasanya, Prim?" Bu Widya mendekati putranya. Aku seketika salah tingkah.
"Enak, enak banget, Ma. Manisnya juga pas," ujarnya kalem mengerling sebentar ke arahku, tanpa mengakui siapa yang sudah membuatkannya kopi. Huh!
"Oh, tumben kamu bisa bikin kopi enak. Biasanya tunggu Mama atau Bik Inah. Oh ya, kenalkan, itu Mbak Diah gurunya Angel. Mbak Diah, ini papanya Angel, Prima." Bu Widya memperkenalkan kami.
Aku mengangguk sopan. Ia membalas dengan senyuman kecil yang dikulum. Tampangnya kelihatan sedikit menyebalkan.
"Ah, kalau begitu, saya pamit ke ruangan belajar sama Angel, Bu! Angel, ayo, Sayang!" Aku beranjak, menarik tangan Angel sedikit tergesa. Gadis kecil itu tampak senang. Rambutnya yang dikuncir dua tampak bergoyang-goyang.
Bu Widya sedikit mengernyitkan keningnya, mungkin heran dengan tingkahku yang tak biasa.
🌷
Seperti biasa, Bu Widya membekaliku dengan camilan sebelum pulang. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali. Hari ini ia tampak sedikit kerepotan. Rupanya Bik Inah sedang izin selama dua hari, karena ada saudaranya yang pesta. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar.
Kudapati sosok tinggi sedang berdiri di samping motorku. Tangannya bersedekap, sementara kedua alis tebalnya bertaut. Entah apa yang dia pikirkan.
"Permisi, saya mau nyalakan motornya!" ucapku sopan.
Lelaki bernama Prima itu tampak sedikit terkejut. "Oh, silakan!" katanya, sedikit menjauh.
Aku memasang kunci motor, lalu mulai mengengkol. Dia terus memperhatikan. Entah karena grogi atau apa, motorku tak juga hendak menyala. Tanganku mulai terasa sedikit gemetar. Kenapa pula, Prima masih berdiri di sana? Aku jadi salah tingkah.
"Coba saya!" Tangannya dengan tangkas mengambil alih. Kakinya yang jenjang, menggenjot engkol motorku. Tak lama, suara knalpot terdengar tanda motor menyala.
"Terima kasih! Saya pamit!" kataku sambil mengangguk.
"Sama-sama. Hati-hati," balasnya.
Masih dengan jantung berdebar tak karuan, aku meninggalkan halaman rumah yang luas itu. Kenapa aku begini? Ah ....
🌷
Tujuanku sekarang, adalah ke ATM. Besok uang kontrakan sudah harus dibayar. Aku hanya berjaga-jaga seandainya Mas Yoga belum memberi uang. Walaupun ia sudah bekerja, tapi aku belum tahu berapa hasilnya. Antrian yang sedikit panjang, membuatku harus rela menunggu di depan mesin uang itu. Kuhitung ada empat orang yang berbaris di depan.
Untunglah, orang yang berada dalam bilik kaca itu cepat keluar. Namun, alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok itu. Lastri, keluar sambil menggandeng seorang lelaki yang tampak jauh lebih tua. Pandangan kami bertemu, ia kelihatan sedikit terkejut. Matanya kemudian sinis menatap ke arahku. Tangannya melingkar di pinggang lelaki tua yang kelihatan senang dengan tingkah Lastri. Huft, sudahlah, aku tak mau tahu. Yang jelas, mereka kemudian masuk ke sebuah mobil yang langsung melaju entah kemana.
Kupercepat langkahku masuk ke dalam bilik. Berbekal enam lembar uang merah di tangan, aku kemudian keluar untuk segera pulang. Cuaca sedikit mendung, mungkin hujan akhirnya akan datang setelah tak hadir selama berhari-hari. Semoga saja.
🌷
Pintu rumah tak terkunci. Kudapati Mas Yoga terlihat sedang tiduran di tikar tipis di ruang tengah. Aku baru saja akan menutup pintu, saat sebuah motor yang sangat kukenal beserta pemiliknya, parkir di halaman.
"Loh, Mas Azka?"
Sosoknya turun dari motor sedikit tergesa. Setelah membuka helm, tampaklah raut wajahnya yang penuh amarah.
"Mana Yoga siala* itu?!" tanyanya tanpa basa-basi.
Gawat.
🌷🌷🌷

Komento sa Aklat (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata