logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hukuman

Memahami apa yang sedang terjadi, aku perlahan mundur lalu berjalan sepelan mungkin meninggalkan rumah. Setelah berada di jalan, aku dengan cepat berlari menuju tempat Pak RT yang hanya berselang tiga rumah. Pikiranku yang kalut masih bisa diajak berpikir jernih.
Setelah sampai, kudapati Pak RT dan istrinya sedang duduk di teras. Melihatku yang berlari seperti kesetanan, mereka berdua khawatir.
"Ya ampun Mbak Diah, ada apa?" tanya keduanya sambil berdiri melihatku yang ngos-ngosan.
"Pak, Bu, tolong ikut ke rumah saya sekarang!" pintaku tanpa basa basi.
Mereka berdua saling pandang, lalu mengangguk. Sedikit berlari kami menuju ke rumahku. Sesampainya di depan pagar, aku meminta Pak RT dan istrinya untuk memelankan suara. Mereka mengangguk.
Tawa lirih masih terdengar di kamar. Sekarang suara si wanita semakin jelas. Pak RT tampak sangat kaget. Sementara istrinya menutup mulut dengan mata melebar seakan tak percaya.
"Kita apakan, Mbak Diah? Dobrak saja?" bisik Pak RT hati-hati.
Aku mengangguk. Pak RT langsung menyuruhku dan istrinya untuk menjauh dari pintu dengan isyarat tangan. Kemudian, ia langsung memasang kuda-kuda. Jantungku berpacu kencang. Tangan sedikit bergetar. Aku berhitung dalam hati. Pada hitungan ke tiga ....
Bruak!
Pintu kamar yang terbuat dari papan itu langsung melayang dan terjerembab di lantai. Dua insan yang sedang berada di dalam langsung terkejut bukan kepalang. Matanya terbelalak lebar dengan mulut menganga.
"Pa–pak RT, Diah?!" seru Mas Yoga.
🌷
Dengan sisa-sisa kesadaran, kedua makhluk hina di hadapan kami itu langsung bergerak. Mas Yoga yang hanya bercelana kolor pendek, langsung memakai baju kaos. Sementara perempuan ber-make up tebal itu langsung membenarkan kancing bajunya yang terbuka sampai menampakkan belahan dada. Rambutnya yang tergerai segera ia ikat sekenanya.
Sungguh, pemandangan yang belum pernah dan tak pernah kubayangkan seumur hidup. Mendapati suamiku berada di dalam kamar bersama dengan wanita lain.
"Apa yang Mas Yoga lakukan bersama perempuan ini di dalam kamar?" tanya Pak RT tajam sambil menatap keduanya bergantian.
"A–anu Pak RT, sa–saya b–bisa jelaskan! Kami tidak ngapa-ngapain! Dia cuma pijat saya, kok!" Mas Yoga tergagap menjawab pertanyaan Pak RT.
Aku menggeleng. Sungguh tak masuk akal. Kupandangi wanita itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mengenakan celana jeans ketat, dengan baju yang tak kalah mengepas di badan. Lekuk tubuhnya tampak nyata, menonjol di sana sini. Bahkan, lipatan lemak di perutnya terlihat sedikit menggelambir. Kutaksir usianya beberapa tahun di atasku.
"Apa wajar seorang laki-laki yang sudah menikah berdua-duaan di kamar dengan perempuan lain, Mas? Pijat, katamu? Menjijikkan!" Sekarang aku bertanya disertai dengan sindiran.
Mas Yoga membuang muka. Si wanita menatapku sinis, sudut bibirnya terangkat. Seolah-olah mengejekku. Kurang aja*!
"Kalian berdua, akan saya beri peringatan! Selain itu, akan saya sidang bersama dengan warga sini!" Pak RT akhirnya memutuskan.
"A–apa! Saya tidak melakukan apa-apa! Buktinya kami masih berpakaian! Saya tidak mau!" tolak Mas Yoga. Si wanita tadi tampak sedikit ketakutan sekarang.
"Siapa wanita ini, Mas? Jawab jujur dan jangan mengelak!" tanyaku dengan suara bergetar. Istri pak RT mengusap punggungku.
"Dia cuma tukang pijat!" elaknya.
"Iya, jangan salah sangka kalian! Saya hanya mencari nafkah! Saya dipanggil untuk pijat! Kami tidak melakukan apa-apa!" Sekarang wanita itu mengeluarkan suaranya yang cempreng. Memuakkan sekali.
"Jangan berkilah kalian! Kami tak tahu apa yang sudah kalian lakukan sebelumnya! Dan lagi, kalau kami tidak cepat datang, entah apa yang akan kalian lakukan! Kalian harus tetap menerima sanksi!" Pak RT gusar. Aku mengangguk setuju. Siapa yang tahu sudah berapa lama mereka berada di kamar ini.
"Tidak! Kalian tidak bisa memaksa seperti itu! Sudah saya bilang Pak RT, saya tidak melakukan apa-apa dengannya!" Mas Yoga tak mau kalah.
"Sudahlah, saya mau pulang saja! Pokonya yang jelas, saya tidak bersalah. Saya hanya dibayar!" Wanita itu lantas bangkit dan mencoba keluar.
"Kamu pikir bisa pergi seenaknya? Jangan harap bisa keluar dari rumah ini dengan tenang! Pertanggung jawabkan perbuatan kalian!" desisku tanpa beranjak dari depan pintu dan mendorong kembali badannya ke dalam kamar. Ia langsung merengek kepada Mas Yoga.
"Mas, gimana dong?" Suaranya manja. Aku hampir muntah. Tidak mungkin hubungan mereka hanya sebatas tukang pijat dan pelanggan biasa.
"Diah! Jangan kasar begitu kamu!" teriak Mas Yoga. Aku terkesiap.
"Apa, kasar? Sekarang kamu membelanya, Mas? Apa hubungan kalian berdua, hah?" Aku tersulut emosi.
"Bu–bukan begitu! Ta—!"
"Sudah, cukup! Bu, sekarang panggil beberapa orang warga sini sebagai saksi tambahan. Sekalian panggil pemilik kontrakan. Ajak mereka semua ke sini!" titah Pak RT kepada istrinya yang langsung mengangguk, kemudian berlalu dengan cepat.
"Pak, tolong, jangan, Pak!" pinta Mas Yoga memelas. Pak RT tak menggubris. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Wanita yang duduk di samping Mas Yoga tampak pucat dan cemas. Sedari tadi tangannya meremas-remas ujung baju.
Dadaku bergemuruh. Tanganku masih gemetar menahan emosi. Ingin rasanya kuluapkan semuanya, tapi kutahan saja. Mataku sudah memanas sedari tadi. Ya Tuhan, kenapa terjadi seperti ini?
"Di, jangan begini, Di! Mas gak ngapa-ngapain!" rengeknya.
"Apa yang kamu perbuat, sudah keterlaluan Mas! Tak kusangka seperti ini tingkahmu saat aku bekerja banting tulang! Kamu malah enak-enakan sampai mengundang wanita lain ke rumah kita. Bahkan ke kamar!" Aku membuang muka, menatap foto pernikahan kami yang tergantung di dinding kamar. Di foto itu terlihat aku dan Mas Yoga saling bergandengan tangan dengan senyum lebar. Sungguh miris.
🌷
Beberapa warga sudah berkumpul di kontrakan sempit kami. Mereka berbisik-bisik sambil memandang Mas Yoga dan si wanita yang hanya menunduk.
"Tuh, kan, apa saya bilang! Si Lastri ini kedoknya saja tukang jamu! Aslinya tukang merayu laki orang!" kata Bu Ipah lantang.
Oh, jadi ini yang namanya Lastri.
"Heh, Ibu jangan asal bicara, ya! Kapan saya merayu laki Ibu?" Lastri membalas dengan mata melotot. Tak tahu diri. Sudah berbuat salah, masih juga mengelak.
"Gak usah membantah kamu! Saya sering lihat kamu ke sini kalau Mbak Diah sedang tidak di rumah! Iya, kan, Mas Yoga?" Bu Ipah terlihat kesal. Beberapa orang lainnya beristighfar.
"Benar begitu, Mas?" tanyaku kepada Mas Yoga yang tampak gelagapan.
"Ng–nggak, Di! Bu Ipah jangan fitnah saya, ya!" Mas Yoga tak terima.
"Fitnah, fitnah, pala lu! Saya melihat dengan mata kepala sendiri!" Bu Ipah menunjuk-nunjuk ke arah Mas Yoga.
"Mas Yoga benar-benar keterlaluan. Sekarang jujur pada kami semua. Apa yang sudah Mas Yoga lakukan sama Mbak Lastri ini!" Pak RT menengahi.
"Duh, Pak RT! Kan sudah saya bilang, kami tidak melakukan apa-apa! Dia cuma tukang pijat panggilan!" Suara Mas Yoga bergetar karena grogi.
"Yah, palingan pijat plus plus tuh!" celetuk salah satu tetangga, yang diiyakan oleh tetangga lainnya.
"Iya, tuh. Masa tukang pijat pakaiannya aja kayak gitu. Terus, kok Mas Yoga gak pesan tukang pijat pria aja?" Tetangga sebelah berkomentar.
Mas Yoga semakin tak berkutik. Sekarang ia menggaruk-garuk kepalanya seperti orang kutuan.
"Untung aja kemarin pas suami saya mau beli jamu sama perempuan itu, saya larang!" sambung tetangga sebelah kiri sinis.
Mata Lastri mendelik, memandangi kami satu persatu. Bernyali juga dia.
"Coba sekarang saya tanya Mbak Lastri. Apa yang sudah kalian lakukan tadi? Jawab jujur!" desak Pak RT.
"Kalian semua tuli, hah? Sudah saya bilang, saya ini cuma tukang pijat! Jangan sembarangan ngomongin saya, ya! Lagian salah sendiri, suami kok gak diurus! Akhirnya minta pijat sama orang lain, kan!" jawabnya dengan nada mengejek.
Aku yang sedari tadi bersabar, akhirnya terbakar emosi. Tanpa sadar aku maju dan mendekati wanita bergincu merah itu. Tanganku menggapai rambutnya yang diikat serampangan. Dengan sekuat tenaga kutarik benda hitam panjang yang terasa kasar itu.
"Apa kamu bilang, hah? Kurang aja*! Kurang aja*!" teriakku sambil menggenggam erat rambutnya.
Lastri terpekik, begitu pun dengan hadirin lainnya. Meraka mencoba meleraiku yang seperti kesetanan.
"Lepas, lepas! Argh, sakit! Lepas! Dasar jalan*!" pekik Lastri. Tanpa ampun kutarik lebih kuat rambutnya itu. Beberapa orang sudah memegangiku yang menggila dengan tangan mengepal erat.
"Jalan* katamu, sadar diri! Kamu yang jalan*!"
"Sudah Mbak Diah, lepas, Mbak!"
"Diah, lepaskan, Di!" teriak Mas Dani.
Setelah merasa puas, kulepaskan rambut wanita kurang aja* itu. Aku menyeringai.
"Hu hu hu ... rambut saya, sakit ...." isak Lastri sembari memegangi rambutnya. Beberapa helai tampak terlepas, di dalam genggamanku.
"Kamu akan dapat giliran juga kalau berani macam-macam lagi, Mas! Pak RT, tolong selesaikan saja urusan ini secepatnya!" Aku benar-benar merasa muak.
Akhirnya, karena tidak terbukti melakukan apa-apa selain berduaan di kamar, mereka hanya menanda tangani surat perjanjian di atas materai. Ditambahi dengan Mas Yoga mendapatkan hukuman jaga ronda seminggu penuh, sedangkan Lastri dilarang masuk ke daerah sini.
Lastri akhirnya pulang dengan tampang kusut dan perasaan malu. Mas Yoga hanya terdiam tak lagi bisa berkata-kata. Wajahnya yang biasa pongah, kini tertunduk lesu.
"Yang sabar ya, Mbak Diah! Kasih aja pelajaran tu si Yoga!" kata Bu Ipah sebelum pamit. Aku mengangguk
"Oh iya, jangan lupa! Uang kontrakannya, ya!" sambungnya sebelum benar-benar berlalu.
🌷
Kini tinggal aku dan Mas Yoga yang berada di ruangan. Lelaki yang kupanggil suami itu masih tertunduk lesu. Aku memandangnya dengan perasaan jijik.
Teringat dengan apa yang mereka lakukan di kamar, aku berlalu ke dalam. Ranjang yang tadi pagi sudah kurapikan, sekarang tampak kusut. Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini aku sering mendapati pemandangan tempat tidur yang berantakan. Berarti ....
Tanpa pikir panjang, kulepas semua sarung bantal dan sprei. Rasa mual tiba-tiba hadir. Mataku terasa mengembun. Apa dosaku sehingga hal seperti ini bisa terjadi?
Kubawa kain-kain yang tak bersalah itu ke halaman. Tak lupa dengan korek di tangan. Tak, lama api dan asap tampak memenuhi udara. Mas Yoga berdiri di ambang pintu menatapku dengan mata melebar. Ada rasa takut di sana.
Aku masuk dan meninggalkan api yang semakin membumbung tinggi. Berharap kenangan menjijikkan itu akan sirna bersama dengan abu-abu yang tercipta.
Mas Yoga menyusul, menjejeri langkahku.
"Di, jangan begini, Di! Mas minta maaf! Mas benar-benar khilaf! Mas benar tidak melakukan apa-apa dengannya, Di! Mas cuma cinta sama kamu!" rayunya sambil memegang tanganku.
"Lepaskan, Mas. Tanganmu yang kotor itu membuatku merasa jijik!" balasku tajam.
"Di, Mas minta maaf, Mas janji akan berubah, Di!" Suaranya memelas sambil memandangku dengan mata mengiba. Untuk sesaat aku merasa kasihan.
"Aku sudah terlalu sabar menghadapimu, Mas! Saat aku sedang bekerja, kamu malah enak-enakan dengan perempuan lain! Aku ingin cerai!" ucapku dengan dada berdebar. Antara sadar dan tidak dengan apa yang baru saja kuucapkan.
"Di, nggak! Mas gak mau bercerai! Mas masih sayang dan cinta sama kamu, Di! Tolong Di, jangan begini!" Mas Yoga menghambur memeluk lututku. Ia terisak di sana.
Aku menghela napas.
"Minggir, Mas! Jangan mempermalukan diri sendiri seperti ini! Buktikan omonganmu kalau benar-benar ingin berubah!" Aku melepaskan kaki dari pelukannya.
"Malam ini, Mas tidur di luar! Dan satu lagi, mulai besok cari kerja! Kalau tidak, aku akan gugat cerai!" Sesampainya di kamar, badanku luruh di samping ranjang. Air mataku tanpa sadar mengalir. Entah kenapa rasanya sakit sekali.
Mas Yoga masih terpaku di tempatnya. Kepalanya tertunduk. Lihat saja, apakah ia akan berubah atau tidak.
***

Komento sa Aklat (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata