logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kulakukan Demi Keluarga

Kulakukan Demi Keluarga

winda_zakiya


Aku Pulang Bu.

 
"Silvi, akhirnya kamu pulang juga Nak, setelah sekian lama, kamu baru kembali, ibu merindukanmu, apa kamu baik-baik saja?" ucap ibu menangkup kedua belah pipiku, matanya berbinar saat menatapku.
Aku baru sampai ke kampung halaman langsung disambut hangat, oleh perempuan berbalut daster batik setengah betis lengan sesiku, dengan kerudung bergo hitam penutup kepalanya.
Lima bulan aku baru menyambangi rumah ibu, tanpa kabar dan berita. Aku tinggal bersama Mas Alex, pria yang baik dan sangat menghargai seorang wanita, di kota yang jauh dari jangkauan Devan, si bajingan yang telah merenggut kesucianku.
"Baik Bu, aku sehat-sehat saja, lalu bagaimana dengan Ibu?" balasku, balik bertanya seraya memegang bahu Ibu lalu kupeluk ia dengan erat.
Air mataku tumpah meluapkan rasa rindu karena bisa bertemu ibu lagi, juga luapan rasa sedih karena aku sedang mengandung anak Devan tanpa ibu ketahui. 
Ya, aku mengandung anak haram atas perbuatan bejat lelaki yang sudah menipuku, dengan dalih memberikan pekerjaan sebagai asisten pribadi, padahal aku hanya dijadikan sebagai budak nafsunya.
"Silvi, itu siapa Nak?" tanya Ibu menoleh ke arah pria berjaket kulit hitam dan celana jeans biru, yang berdiri dekat pintu pagar besi rumah ibu.
"Bu, itu Mas Alex," jawabku lembut, sambil menyunggingkan senyuman. Mas Alex mengangguk di barengi dengan senyum ramah.
"Pacar kamu, Sil?" tanya ibu antusias, dengan binar di matanya.
"Bukan! Dia cuma teman. Bu," sanggahku, ia memang bukan kekasihku. Tapi, dia adalah pelindung bagiku. Aku belum siap untuk menerima lelaki didalam hidupku. Trauma karena perbuatan Devan, yang masih terbayang di jiwa dan pikiranku.
 Mas Alex menghampiri ibu, dan mengulurkan tangannya, dengan ramah dan senyuman ibu menerima uluran tangan Mas Alex.
"Bu, kenalkan saya Alex, temen dekat Silvi," ucap Mas Alex mengangkat kepalanya, setelah mencium punggung tangan ibu.
"Eum, teman ... Ibu kira, kalian pacaran?"
Mas Alex mengusap tengkuknya sambil tersenyum kaku, ia melirik ke arahku, ada rasa malu dan tak enak hati, gegas aku memalingkan wajah dari tatapannya.
 "Ah, ibu, apaan sih?" sergahku sambil mengerucutkan bibir diiringi hentakkan kaki, aku merasa kikuk di depan Mas Alex.
"Ya sudah, kalau kalian gak punya hubungan apa-apa, gak usah gitu juga kali Sil! Tapi, ibu berharap kalian ada hubungan, nak Alex sepertinya juga suka sama kamu," ucap ibu dengan tatapan menelisik.
"Lagian ibu," gumamku, seraya mencebik bibir.
Mas Alex mencondongkan tubuhnya ke samping, mendekatkan wajahnya ke kupingku.
"Di bilang pacaran juga, gak apa-apa kali," timpal Mas Alex berbisik. Ibu menatapku lagi dengan tatapan menggoda.
"Tuh kan, Nak Alex aja gak keberatan!" timpal ibu mengibaskan tangannya ke arahku, seluas senyuman bahagia terbit dari bibir ibu.
Andai ibu tau keada'anku saat ini, senyumnya pasti langsung meredup dan sirna dari wajahnya. Aku harus menyembunyikan aib ini rapat-rapat, dari ibu sampai aku siap dan menunggu waktu yang tepat, untuk berterus terang.
Ada rasa perih di hati ini, karena aku menyimpan kebohongan yang besar pada ibu. Menyesal itulah yang aku rasakan saat ini, menyesal karena telah percaya pada Devan, sehingga aku seperti ini, menanggung malu dalam hidupku.
"Ya. Tapi, aku belum siap untuk punya pacar, Bu. Aku masih ingin menikmati masa remaja, lagian aku juga baru sembilan belas tahun, itu juga belum genap," tuturku berbohong. 
Bukan tak ingin menerima cinta Mas Alex, tapi ibu dan ayahnya sangat tak menyukaiku. Mereka menginginkan menantu yang baik, tak sepertiku, perempuan hina yang sudah tak bermahkota.
"Nikah, muda juga gak ada salahnya sih. Ibu dulu menikah dengan ayahmu waktu itu, usia ibu belum genap delapan belas tahun. Tapi, gak ada masalah, malah harmonis, sampai maut memisahkan," ujar ibu begitu yakin, sepertinya ibu sangat faham dengan hati Mas Alex.
"Iya, Bu saya setuju. Lagian saya juga siap kok jadi suaminya Silvi, asalkan ibu merestui kami," jawab Mas Alex begitu percaya diri atas dukungan dari ibu.
"Ya ampun ... ibu sampai lupa, saking asiknya ngobrol, kita masuk yuk! Gak bagus lho, lama-lama ngobrol di luar! Gak enak juga dilihat sama tetangga. Sebaiknya kita bicaranya didalam, sambil minum teh. Kalian pasti lelah, ibu akan buatkan makanan untuk kalian!" seru ibu.
"Iya, mas. Kita masuk yuk! Aku capek," timpalku seraya memijat tengkuk yang terasa berat, dan pinggangku mulai pegal, ditambah perutku bagian bawah yang terasa kram.  
"Ayo!" jawab Mas Alex sembari mengusap bahuku. 
"Ibu duluan, ya," ujar ibu membalikan badannya lalu melangkah menuju pintu masuk.
"Iya Bu, nanti kami nyusul," sahut ku. Aku beralih menatap Mas Alex yang berdiri di sampingku.
"Ayo Mas, kita masuk!" ajakku pada Mas Alex, dia menoleh seraya mengerlingkan matanya, dan seulas senyuman ia tampilkan, kedua alis tebalnya terangkat, membuat pesonanya kian terpancar.
"Ish." Aku mendelik sok jaim.
"Apa?" bisiknya sembari menyenggol bahuku dengan bahunya.
"Au, ah," pungkas ku, dan beranjak meninggalkan Mas Alex yang masih berdiri kokoh di halaman rumah.
Aku pun mengikuti langkah ibu ke dalam, disusul Mas Alex dari belakang, kami berjalan beriringan.
 Sesampainya di ambang pintu, aku mendongak menatap sekeliling isi rumah. Kini rumah ibu lumayan nyaman dan layak huni tak seperti beberapa bulan lalu sebelum aku ke kota, dan bertemu Devan. Pria yang sudah merusak hidupku dan kini aku mengandung benihnya.
Tapi beruntung Mas Alex orangnya baik, dan tak mempermasalahkan masa laluku yang kelam. Dia mau menerimaku dengan hati terbuka, meskipun aku sedang mengandung anak dari pria lain.
 Mas Alex bersedia menampung ku di rumahnya, dan aku tinggal bersama dia beberapa bulan terakhir ini, dia juga selalu siaga mengantarku untuk periksa kandungan, layaknya suami menjaga istrinya.
Dia begitu baik padaku. Namun, aku tidak enak karena terlalu banyak menerima kebaikan darinya. Aku juga tidak pantas untuk dia, dan aku juga tak mau memberi harapan lebih jauh padanya.
"Sil, rumahmu nyaman ya, adem tak seperti di kota. Mas mau tinggal di sini sama kamu,"
"Kumpul kebo dong, namanya," protesku sambil duduk di kursi ruang tamu, kursi kayu yang dulu usang kini telah diganti menjadi kursi tamu yang empuk.
"Enggak Lah, kita kan, akan segera menikah. Mas gak sabar ingin menjadi ayah," ucap Mas Alex membuat hati ini terenyuh, sekaligus sedih. Bagaimana bisa orang baik seperti dia bersedia menerima diriku yang hina ini, dan menerima bayi yang bukan darah dagingnya.
"Kok diam?" tanya Mas Alex memegang pipiku dengan tatapan penuh tanya.
"Gak apa-apa Mas, aku hanya letih," sangkal ku, tak ingin menunjukkan kesedihan padanya.
"Serius. Kamu gak mikirin yang macam-macam, kan? Jangan mikir terlalu jauh, percaya sama, Mas! Mas tidak akan pernah menyia-nyiakan kalian," ucap Mas Alex seraya mengusap air mataku, yang tak sengaja aku teteskan.
"Aku gak mikirin apa-apa, aku hanya khawatir, kalau ibu tahu tentang kehamilanku, ini," 
"Gak apa-apa, jika ibumu harus tahu. Karena Mas yang akan bertanggung jawab," 
"Tak usah repot-repot Mas! Aku gak mau membebani hidup kamu terus,"
"Kamu bukan beban bagi Mas, tapi bagian hidup Mas." 
Aku hanya diam mendengar penuturan Mas Alex yang begitu yakin, tapi sungguh aku malu pada diriku sendiri, orang yang makan nangkanya Mas Alex yang terkena getahnya.
Saat aku sedang menangis tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku, gegas kuseka air mata ini yang tak sengaja menetes.
"Eh, ibu," ucapku tanpa menoleh.
"Sil, nak Alex kok gak di kasih minum, sih ... dia pasti lelah, juga haus," protes ibu sembari duduk di sampingku.
"Iya, Bu. Maaf Mas, aku lupa," ucapku.
"Tak apa, santai aja, lagian di sini juga cukup adem," ujar Mas Alex seraya menautkan kedua jemari.
"Ya sudah, ibu ke belakang lagi ya, kalian lanjutkan ngobrol! Sementara ibu memasak buat kalian! Gak usah sungkan Nak Alex, anggap saja rumah sendiri," ujar Ibu, dan bangkit lalu melangkah menuju pintu penghubung ruang tengah. Namun, ibu menghentikan langkahnya dan kembali berbalik padaku.
"Sil, ambilkan minuman dingin, pilih aja sendiri, banyak varian rasanya kok, tuh di kulkas, biar segar!" seru ibu menunjuk ke arah ruangan samping rumah, yang dulu dipakai untuk kamarku sekarang diubah menjadi warung sembako dan sayuran.
Rumah ibu di lebarin kamarku di geser ke bekas kamar tengah, sementara kamar ibu bekas dapur, dan kamar Sandi juga Seno tetap di tempatnya, rumah ini lumayan luas tanah kosong samping rumah, tempatku menjemur pakaian kini dibangun untuk dapur dan kamar mandi.
Kini ibu menjemur baju menggunakan jemuran stainless steel, tidak repot seperti dahulu, memakai tambang dan tiang bambu, kehidupan kami memang berubah seratus delapan puluh derajat, semenjak aku kenal Devan.
Namun, timpal baliknya kini aku menanggung aib, di perutku tumbuh janin yang setiap bulannya kian membesar.
"Nak Alex, ibu kebelakang lagi, ya," sambung ibu sebelum meninggalkan kami.
 Kami mengangguk seraya tersenyum, ibu berlalu menuju dapur, sepeninggalnya ibu, aku merasa canggung dengan tatapan Mas Alex.
"Mas, sebentar ya, aku mau ambil minum," ucapku sambil berdiri. Namun, dengan cepat tangan Mas Alex menarikku, membuat aku duduk kembali, "Mas, jangan begini! Malu,"
"Malu kenapa?"
"Mas, cuma masih ingin duduk bersamamu,"
"Tapi aku disuruh ibu ambilkan minuman dingin untukmu!"
"Nanti saja, Mas juga belum terlalu haus,"
"Kamu pasti capek, Mas saja yang ambilkan,"
"Tak usah Mas, aku terlalu merepotkanmu, kamu tamu di rumah ini, maka harus aku layani,"
"Tak masalah, Mas malah senang kok, melayani seorang putri seperti kamu, calon permaisuriku,"
"Terima kasih, ya Mas. Tapi, itu berlebihan," jawabku pada pria berjaket hitam dan celana jeans biru. Ia tak menjawab malah menatapku dengan waktu beberapa saat membuatku jengah.
"Ada apa sih Mas, kok lihatnya seperti itu?" tanya ku dengan wajah memberengut. Mas Alex tersenyum tipis.
"Memangnya, ada yang melarang? Wajahmu enak untuk dipandang gak bosenin! Lagian kamu adalah calon istri, Mas," jawab Mas Alex dengan santainya.
"Apaan kali." Aku memutar bola mata, sembari mencebik bibir.
"Ya, emang kamu cantik, Mas cinta sama kamu! Mas ingin segera melamar kamu." 
Mendengar ucapan Mas Alex mataku mengembun, aku terharu mendengar ucapannya, tapi aku gak bisa menerima dia, Mas Alex terlalu sempurna untukku.
Dia bisa mendapatkan wanita yang lebih baik daripada aku, aku hanya seorang pelacur, yang hina dan tak berharga.

Komento sa Aklat (174)

  • avatar
    Azzam Dayang

    bacana deg2an bagus bgt ceritana

    11d

      0
  • avatar
    EndangKus

    jalan ceritanya bagus

    11d

      0
  • avatar
    SalsabilaSafira

    baguss

    26d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata