logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Suamiku Pandai Bersandiwara

Suamiku Pandai Bersandiwara

Erie Sawn


Gara-Gara Uang Dua Ribu

“Ci, sudah sana cepat, belikan rokok di warung Mbak Yul!”
“Warungnya masih tutup, Mas. Ini kan baru jam lima.”
“Ya digedor kek, cepet!”
Pagi-pagi Mas Jono sudah minta dibelikan rokok. Padahal beras sudah mau habis. Aku sudah memintanya membelikan beras karena uang jatah bulanan habis. Tapi sepertinya mas Jono lupa atau memang tidak mau membelikan.
“Mana sisa kembaliannya!”
“Habis, Mas.”
“Jangan bohong!”
“Yang dua ribu ini untuk tabungan Rara, sebentar lagi masuk SD.”
“Udah, nggak usah mikir sekolah. Paling juga nanti aku yang bayar. Emang Kamu punya uang? Sekarang mana kembalian beli rokok tadi!”
Aku mengeluarkan uang kembalian dua ribuan dari saku rok. Mas Jono langsung merebutnya dengan cepat.
“Dua ribu itu bisa untuk bayar parkir, tahu?”
“Aku cuma ingin berusaha nabung biar nanti nggak berat bayar sekolah Rara.”
“Alah, sudah! Nggak usah banyak alasan!”
Aku jadi tak habis pikir dengan Mas Jono. Semakin lama, semakin tambah pelitnya. Itu dimulai sejak dua bulan lalu. Awalnya jatah belanja bulanan dikurangi lima ratus ribu sebulan. Bulan kedua dikurangi lagi lima ratus ribu. Dan bulan ini, aku hanya diberi lima ratus ribu untuk belanja bulanan. Aku langsung protes kepada Mas Jono.
“Kalo lima ratus, aku nggak sanggup Mas. Udah Mas Jono aja yang belanja mentahan, aku tinggal masak.”
“Enak aja, apa nggak bisa mikir dikit, hah? Mas sudah kerja capek, masih disuruh belanja segala.”
“Aku juga capek di rumah. Bersih-bersih rumah, masak, mengasuh Rara. Belum nanti rewel masih minta gendong.”
“Itu kan salahmu! Siapa juga yang minta anak cepat-cepat?”
“Loh, bukannya Ibu Mas Jono yang selalu tanya, kapan punya anak tiap hari?”
“Terus maumu apa, hah?” teriak mas Jono sambil menggebrak meja makan.
Suara tutup gelas jatuh ke lantai membangunkan Rara yang masih tertidur pulas.
“Ibu … hu … hu … hu … Ibu sini,” tangis Rara karena terkejut.
Aku bergegas menggendong Rara yang nangis ketakutan. Rara pun memelukku erat. Kuusap air matanya yang berlinang deras.
“Cup … cup … cup … udah diam ya?Nanti ayah tambah marah kalo Rara nangis terus. Udah diam!”
“Pagi-pagi mau kerja malah ngajak ribut. Mbok ya kalo suami lagi susah, itu ya dibantu kek, malah bisanya nuntut terus.”
Aku hanya diam tidak membalas. Kubawa pergi Rara ke ruang dapur agar tidak melihat wajah Mas Jono yang lagi marah. Kubiarkan Mas Jono langsung keluar rumah tanpa pamit.
Pada akhirnya, aku juga yang harus mengalah. Kulakukan demi menjaga agar tidak menimbulkan pertengkaran yang lebih parah lagi. Terkadang, malu juga aku dengan tetangga sebelah. Hampir tiap hari selalu saja ada pertengkaran di antara kami berdua.
Begitu mas Jono pergi, aku langsung membawa Rara ke kamar tidur lagi. Aku mencoba menidurkan Rara kembali. Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.30. Lagian kalo Rara bangun aku jadi tidak bisa mengerjakan apa-apa karena harus menjaganya.
Setelah Rara tidur, aku mengambil buku catatan kas harian. Aku harus putar otak bagaimana supaya semuanya jadi cukup. Aku tidak boleh menyerah. Beruntung aku dulu sempat diajari mengatur neraca keuangan sederhana oleh Tari, temanku saat belajar di SMK dulu.
Tapi berapa kali pun corat-coret di buku aku lakukan, tetap tidak dapat menutupi kekurangan yang ada. Mau mengurangi jatah kopi dan gula, pasti mas Jono marah. Mau mengurangi beras juga nanti salah. Maunya mas Jono nasi harus fres. Kalo nasi kemarin harus dibuang. Lauk pauk juga nggak bisa, harus ada meskipun hanya tahu atau tempe.
Ah ... mungkin memang aku yang harus mengalah tidak mengapa. Semoga Ini menjadi ladang amalku bagiku. Bukankah membantu suami dengan meringankan beban hidupnya itu juga sedekah?
Tanpa sepengetahuan mas Jono, aku akan menjual cincin pernikahan untuk menutupi kekurangan belanja harian. Inilah awal mula aku mulai berani melawan mas Jono dengan caraku sendiri.
Aku harus bisa mensiasati keadaan. Aku tidak mau mengambil uang mas Jono tanpa sepengetahuannya. Meskipun katanya ada ustaz yang membolehkan, tapi aku merasa cara itu seperti menusuk dari belakang.
Meskipun aku tahu ini bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Tapi entahlah, bagaimana besok aja. Sekali-kali perlu juga dipikir sambil jalan, agar beban hidup terasa ringan meski hanya sehari saja.
Segera kuambil hp menelpon Bu Broto, orang terkaya di kampungku yang suka membeli barang orang yang membutuhkan uang cepat, seperti diriku.
[Maaf Bu Broto, pagi-pagi sudah mengganggu]
Kuketik pesan ke Bu Broto. Alhamdulillah langsung centang dua, meskipun belum berwarna biru. Aku mengecek Rara lagi di kamar. Rupanya tidurnya Rara masih pulas.
Aku memeriksa ban sepeda, ternyata ban belakang kurang angin. Aku mengambil pompa angin. Baru memompa tiga kali kudengar hapeku berbunyi. Bu Broto membalas pesanku.
[Ada, apa Ci?]
[Saya mau jual cincin, tapi tidak ada suratnya. Kira-kira Tante mau beli tidak ya?]
[Oh, ga papa. Tapi harganya jadi turun dari pasaran gimana? Mau?]
[Mau Tante. ]
[brp gr cincinnya?]
[tiga gram]
[dua jt, kalo mau]
[Nggak bisa nambah dikit, Tante?]
[Itu dah bagus, kalo mau tak anter sekarang. Kalo nggak mau ya sudah. Tapi ingat, harga itu cuma berlaku hari ini. Kalo besok mungkin nggak nyampe segitu.]
[Yau dahlah. O, iya, nggak usah ke sini, biar aku aja yang ke rumah tante.]
[Datang sebelum jam tujuh ya?]
Aku bergegas mengeluarkan sepeda. Sebelum berangkat kutengok lagi Rara untuk memastikan masih tertidur pulas. Aku berpikir tidak akan lama karena rumah bu Broto tidak jauh, hanya beda blok.
Bu Broto adalah janda kembang di kampungku. Suaminya dulu adalah pengusaha batubara di Kalimantan yang sukses. Namun, karena persaingan bisnis, suaminya hilang entah kemana. Ada yang mengatakan diculik. Ada pula yang mengatakan diracun koleganya lalu dibuang ke tengah laut.
Untung bu Broto bukan perempuan yang suka foya-foya. Semasa jaya-jayanya bu Broto berhasil membangun tiga rumah kos-kosan di kota. Bu Broto juga buka salon kecantikan. Tak heran bila di usianya yang menginjak usia empat puluhan, wajah dan tubuhnya masih seperti anak kuliahan semester akhir. Mungkin karena perawatan yang rutin dan mahal. Banyak orang memanggilnya tante karena memang awet muda.
Banyak lelaki yang tertarik ingin memilikinya sebagai istri.
Tak sampai sepuluh menit aku sudah berada di depan rumah bu Broto. Aku sempat deg-degan karena rumahnya masih tertutup. Lampu luar juga masih menyala.
Tetiba ada suara anjing yang menyalak. Ketika aku hendak balik badan, terdengar suara bu Broto memintaku masuk.
“Jangan takut, itu si Pleky memang begitu. Sebenarnya dia nggak galak kalo sudah kenal dengan orang asing.”
“Iya, tante aku di luar pagar saja.”
“Nih uangnya, hitung dulu!”
Aku terima uang dari tangan bu Broto. Kuhitung uang pecahan lima puluh ribuan itu sampai tiga kali. Kurasa masih kurang.
“Maaf tante, kalo saya nggak salah hitung kok masih kurang seratus ya?”
“Oh, gini ya, karena kamu baru kali pertama menjual, cuma tante potong segitu. Biasanya malah lebih loh. Anggap saja itu kamu nabung ke tante. Atau uang jaminanlah bila sewaktu-waktu kamu butuh pinjaman uang. Gimana jadi dijual tidak?”

Komento sa Aklat (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    28d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata