logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

2 | Kena Prank

Kesialan Faiqa belum berakhir, seakan hari ini Tuhan sedang mengutuknya akibat prinsip yang dia tanam pada diri, tidak akan menikah seumur hidup.
Sesampai di rumah, banyak kendraan yang terparkir di laman rumahnya, sehingga tidak bisa membuat mobilnya masuk ke garasi. Selain itu pikirannya mulai tak fokus, dia mengira Mamanya dalam masalah sampai di kunjungi banyak orang.
Dada Faiqa bergemuruh penuh ketakutan, takut di tinggal satu-satunya orang terkasih yang masih berada sampingnya.
“Mamaaa!” seru Faiqa berlari masuk ke dalam rumah. Pikirannya sudah tak enak. Dia membayangkan Mama sedang berbaring di tengah rumah ditutupi kain putih, di kelilingi banyak orang. Air mata mengalir deras meninggalkan tetesan di tiap langkahnya.
“Ma, maafkan aku, huuhuuhuu. Aku belum bisa menjadi anak yang berbakti, belum bisa mewujudkan permintaan Mama untuk segera menikah, huhu.” Faiqa menangis tersendu-sedan. Rasa kehilangan kini menghantuinya.
“Hu. Hu. Hu. Mama jangan tinggalkan aku” Dia masih menangis tergugu. Dunia dirasakan runtuh menghimpitnya. Orang terkasihnya telah pergi meninggalkannya. Kini hanya tinggal dia sendiri, meski keluarga besar Mama masih banyak, tetapi mereka hidup berjauhan. Tidak mungkin mereka bisa menyayanginya seperti Mama yang menyayangi tanpa tapi.
Akibat matanya yang kabur di penuhi air mata Faiqa tidak bisa memperhatikan keadaan rumah dengan jelas.
Faiqa berdiri menghentikan langkahnya di ruang tamu. Terlalu takut berjalan ke tengah rumah. Bayangan Mama yang terbujur kaku memenuhi pikirannya.
Setelah cukup lama menangis, Faiqa mulai menyadari keadaan, dia bingung hanya dia sendiri yang sesunggukan menangis, selebihnya hening. Tidak seperti rumah duka yang biasa dia kunjungi, penuh dengan raungan dan tangis penyesalan belum rela melepaskan orang terkasih.
Faiqa mengusap air mata dan menghirup ingusnya yang memenuhi hidung. Slrruup.
Faiqa mendongakkan pandangan. Melihat situasi yang terjadi, kenapa terasa sangat hening sekali, padahal di depan rumah banyak kendaraan yang terparkir.
Alangkah terkejutnya dia melihat semua orang yang tengah duduk di ruang tamu juga di ruang tengah menatapnya heran penuh tanya.
Para Lelaki yang tak bukan adalah Paman-pamannya yang duduk di sofa ruang tamu menghakiminya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Begitu juga dengan Ibu-ibu yang tidak lain adalah para Bibinya yang duduk di ruang tengah, kaget melihat kedatangan Faiqa sambil menangis penuh ratapan.
Faiqa kembali mengusap mata, berusaha menjernihkan pandangan dan memahami situasi yang sedang berlangsung. Wajahnya memerah saat semua orang dalam rumahnya mulai terbahak melihat tingkah Faiqa yang aneh.
Faiqa merasa dirinya kena prank, merah padam wajahnya di tertawakan semua orang. Dia berlari ke kamar, menyembunyikan wajah malu.
Tak lama, Mama menyusul masuk ke kamar. Menerangkan bahwa keluarga besar datang untuk membicarakan pernikahan sepupunya yang akan dilangsungkan sebentar lagi. Mama adalah anak tertua, maka mereka semua berembuk di rumahnya.
“Kenapa Mama nggak bilang dari siang kalau keluarga akan datang?” tanya Faiqa sedikit kesal di permalukan di depan keluarga.
Sebenarnya ulah dia sendiri. Tapi dia tidak bisa menyalahkan diri sendiri, alih-alih menyalahkan orang lain. Kali ini, Mama yang jadi objek kekesalannya.
“Mama nggak sempat memberitahu, Nak. Mereka datang sepuluh menit setelah menelfon Mama, mengabarkan akan datang ke sini,” sesal Mama seraya duduk di samping anak kesayangannya di tepi ranjang.
Faiqa menghela nafas, dadanya sesak, sedikit sakit karena kuatnya dia menangis. Matanya mulai bengkak, terlalu banyak air mata yang dikeluarkannya.
“Kamu, sih. Masuk ke rumah langsung meraung nggak jelas begitu. Nggak lihat keadaan dulu. Jika terjadi sesuatu pada Mama kamu pasti segera di hubungi. Lah. Ini nggak ada kabar apapun malah menangis nggak jelas sambil teriak-teriak.” Mamanya mengulum senyum mengingat kelakuan anak semata wayangnya itu.
Faiqa menutup wajahnya dengan bantal. Menyesal telah melakukan aksi di luar kuasanya. Mau gimana lagi, perasaan takut kehilangan lebih dominan memenuhi kepalanya. Di tambah seharian tadi suasana hati sedang memburuk. Takut dia melewatkan sesuatu info dari rumah karena dari tadi nggak sempat memeriksa ponsel.
“Sudah, ayo keluar. Temui Bibi dan Pamanmu. Mereka juga ingin bicara denganmu,” ucap Mama mengelus punggung Faiqa.
“Malu, Ma,” lirihnya di balik bantal.
“Mereka paham, kok. Kamu yang capek pulang kerja pasti kaget melihat keramaian di rumah.” Mama menghibur anak kesayangannya.
“Ayo,” kata Mama mengajak sekali lagi.
Faiqa membuka bantal yang menutup wajahnya. Tidak baik mengacuhkan orang tua sedang bicara. “Mama duluan aja, nanti aku nyusul. Mau ganti baju dulu,” jawabnya meletakkan bantal.
Mama tersenyum lembut sambil mengangguk. Dia memberi ruang pada anaknya untuk berganti baju dan mempersiapkan diri. Mama Kembali ke ruang keluarga, menemui keluarga besar di sana.
Setengah jam kemudian Faiqa keluar dari Kamarnya. Dia berjalan pelan, masih malu dengan tindakannya tadi.
Semua orang maklum, tidak ada yang tertawa menyambut kedatangannya. Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga, menikmati makan malam yang di masak bersama sore tadi sebelum Faiqa pulang.
“Sini, Fai. Makan bersama,” ajak Bi Hindun, Adik Mama nomor 5.
Faiqa manut, duduk di samping Bibinya yang langsung mengulurkan piring padanya.
Suasana makan malam berlangsung khidmat, semua sibuk dengan makanan dalam piringnya masing-masing. Makan malam sambil berkumpul bersama keluarga sungguh nikmat tiada tara, tidak ada yang ingin melewatkan momen berharga tersebut.
Berhubung tempat tinggal yang saling berjauhan, bahkan ada yang dari luar kota malam ini semua keluarga menginap di rumah Faiqa. Moment ini selain untuk membicarakan perihal pernikahan sepupunya, juga sebagai ajang silaturahmi yang jarang sekali terjadi.
Keluarga Mama adalah keluarga perantau, Nenek berasal dari pulau Sumatera. Tepatnya dari bumi Ranah Minang. Mama dua belas orang bersaudara, meninggal tiga. Sisa yang hidup sembilan orang. Dari sembilan itu sudah menghasilkan banyak keturunan. Sehingga saat berkumpul, sudah seperti perkumpulan satu kelurahan.
Saat ini, semua anak Nenek tidak ada yang menetap di kampung halaman. Semua tersebar di seluruh pulau di Indonesia, bahkan ada yang menetap di luar negri. Perantauan bermula dari Nenek saat berusia muda yang merantau ke kota Medan. Hanya Mama yang lahir di kampung, selebihnya lahir di kota Medan. Dari sana, semua anaknya mulai tersebar ke berbagai daerah.
Meski telah lama meninggalkan kampung halaman, keluarga Mama masih kental menerapkan adat nenek moyang. Saat berkumpul mereka akan berbicara dengan bahasa perut Ibunya. Bahasa Minang.
“Fai gimana, Kak. Apa sudah ada bayangan dia akan segera menikah?” tanya Paman Jamal seraya melirik Faiqa yang duduk di sebelah Sarah. Pembicaraan kini beralih pada Faiqa setelah semua pembahasan tentang pernikahan Sarah, anak Bi Jasmin selesai di bahas.
Duh. Salah tempat duduk aku sepertinya, bathin Faiqa. Dia bergerser sedikit menjauhi Sarah. Apa boleh di kata, semua orang mulai membicarakan dia yang tak kunjung menikah.
“Akak juga heran, kenapa ni si Fai ndak juga kunjung memperkenalkan pasangannya. Padahal usia sudah ndak lagi muda,” jawab Mama menatap Faiqa yang beringsut duduk didekatnya.
‘Duh. Makin salah ini,’ lirih Faiqa dalam hati. Keputusan bergeser ke dekat Mama malah membuatnya menjadi objek yang tepat.
“Ndak baik anak padusi –perempuan–terlambat menikah, Nak,” ujar Bi Hindun menasehati.
Faiqa diam saja sambil menunduk mendengar petuah dari Bibi dan Pamannya. Dia tidak bisa mengutarakan alasannya kenapa sampai saat ini masih belum mencari pasangan hidup. Dia takut, Mamanya akan terluka jika mendengar jawabannya.
Faiqa bukanlah gadis berwajah standar yang akan di coret pria dalam kriteria sebagai calon istri. Dia berwajah manis, membuat orang tak bosan untuk memandanganya, alisnya lebat tanpa harus di sulam, bola mata kecoklatan menambah keindahan bingkai wajahnya dengan tulang pipi yang tirus. Wajah cantik alami, khas gadis Ranah Minang.
Semasa sekolah dan kuliah banyak lelaki yang mendekatinya. Tetapi, tidak ada yang berani sampai menyatakan cinta. Melihat sikap Faiqa yang menutup diri dan terkesan galak.
Bukan tanpa alasan, Faiqa menjadi saksi hancurnya jalinan kasih kedua orang tuanya. Dari usianya lima tahun, dia sudah melihat perlakuan kasar Papa pada Mama. Sepanjang hari, Mama selalu di pukuli, di tendang, bahkan di jambak rambutnya. Dalam kondisi sakit, Mama masih harus bekerja membanting tulang menjadi tulang punggung keluarga mengantikan tugas Papa yang pemabuk lagi pemalas.
Penderitaan yang dia alami dan Mama berlangsung 15 tahun menurut sepengetahuannya. Tetapi dia yakin, Mama sudah menderita jauh dari sejak awal menikah.
Setelah bercerai dari sang suami lima belas tahun silam, Mama Faiqa tidak berniat untuk menikah lagi. Dia lebih bahagia bisa menikmati hidup berdua dengan Faiqa.
Melihat hal itu, Faiqa bertekad untuk tidak akan menikah seperti Mamanya yang tidak menikah lagi setelah bercerai. Baginya hidup berdua dengan Mama saja sudah cukup.
Bersambung

Komento sa Aklat (42)

  • avatar
    69Rain

    cerita menarik mantap gan

    3d

      0
  • avatar
    RahmawatiSuci

    Bagus banget

    16d

      0
  • avatar
    Anisa Fauzia

    bagussss

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata