logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Malam Itu

Malam itu Reisa melajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi menuju ke salah satu kelab malam. Ada sebuah telepon yang mengatakan bahwa Andra, sahabatnya sedang membutuhkan bantuan.
Sekarang sudah hampir jam dua pagi. Dia yang tadinya sudah terlelap, terpaksa harus terbangun karena ponselnya tak berhenti berdering.
Andra mabuk berat. Reisa diminta datang ke sebuah kelab malam. Sesampainya di sana, dia hanya bisa terdiam saat melihat keadaan lelaki itu sedang teler di pangkuan seorang wanita penghibur malam.
Andra terbaring dengan pakaian yang setengah terbuka sambil memegang sebuah botol minuman ber-alkohol.
Wanita penghibur itu tersenyum senang saat menyentuhnya. Sementara Andra hanya pasrah saat diperlakukan begitu, antara sadar dan tidak tetapi sepertinya cukup menikmati.
Berkali-kali Reisa menggeleng karena tak habis pikir, juga begitu risih melihatnya. 
"Dia kenapa?"
Reisa bertanya kepada wanita itu, lalu membuang pandangan karena jijik. Polesan lipstiknya sudah berantakan. Sebagian menempel di wajah Andra.
"Dia nyebutin nama Reisa terus. Jadi gue buka ponselnya. Lu ... yang namanya Reisa, kan?"
"Iya. Aku Reisa."
"Dia minta pulang. Kayaknya lagi patah hati. Tadi minta temenin gue."
Reisa menggerutu, kesal setengah mati. "Dasar kamu, Ndra! Sejak kapan maen ke tempat beginian."
"Jadi ini gimana?"
"Kamu bantuin aku bawa dia ke mobil. Sekarang!" titah Reisa menunjuk wanita itu. Tanpa banyak basa-basi dia bertindak cepat.
Reisa tidak mau berlama-lama berada di tempat itu. Dulu, dia pernah diajak beberapa teman, tetapi menolak. Baginya, mencari hiburan tidak harus ke kelab malam. Mereka bisa saja bersenang-senang dengan cara yang lain, seperti shopping atau traveling ke berbagai kota.
Wanita itu mengangguk patuh. Akhirnya, dengan susah payah mereka berhasil membawa Andra ke mobil. Tubuh sahabatnya yang jangkung dan berat itu membuatnya kepayahan. Hampir saja kepalanya membentur pintu mobil.
"Dia belum bayar jasa gue." Wanita penghibur itu mengulurkan tangan untuk meminta haknya.
Reisa mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah, lalu menyerahkannya dengan cepat. Dia membanting pintu mobil sebagai pelampiasan rasa kesal.
"Kamu yang maen, malah aku yang disuruh bayar. Ngapain aja ini anak sama cewek begituan," sungut Reisa.
"Kamu kenapa sih pake mabok segala. Putus cinta?" gerutunya.
Mereka memang sudah kenal sejak lama, tetapi baru kali ini Reisa mendapati Andra bersikap seperti ini.
"Rei--"
Andra berusaha menggapai wajah Reisa, tetapi gadis itu langsung menepiskannya.
"Ndra, kamu kalau ada masalah cerita, dong. Jangan nyusahin aku aja kayak gini."
Setelah menyalakan mesin, Reisa melajukan mobil meninggalkan tempat itu, lalu berbelok ke jalan utama hingga memasuki sebuah komplek perumahan di ibu kota.
Reisa menekan bel berulang kali. Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh membukakan pagar. Inah, pengurus rumah yang sudah bekerja untuk keluarga Andra sejak lama.
Andra sudah tidak memiliki orang tua. Dia anak tunggal dan yatim piatu. Rumah itu sepi karena hanya ditinggali dua orang. Ada seorang supir tetapi tidak menginap.
"Eh, Non Reisa," sapa Inah ramah.
"Tolong batuin, Bik. Berat banget dia," ucap Reisa.
Mereka berdua memapah Andra masuk ke kamar.
"Mas Andra kenapa, Non?"
"Teler, Bik."
"Loh, kenapa? Biasanya ndak pernah begini juga."
"Putus cinta kali, Bik." jawabnya asal.
Saat ini Reisa tidak bisa berpikir apa pun. Hanya perlu membawa Andra ke kamar kemudian pulang.
"Dengan siapa, Non?"
"Gak tau, Bik. Tadi Rei dapat telepon dari cewek di kelab. Disuruh jemput nih anak."
"Siapa ya pacarnya Mas Andra. Rasanya belum pernah cerita. Biasa juga curhat sama bibik."
Inah membantu membuka sepatu dan kaus kaki tuannya. Sedangkan Reisa membuka lemari dan mencari baju ganti.
"Ga tahu, Bik. Ntar, kalau udah sadar Rei tanyain."
"Patah hati sama Non Reisa kali. Sejak tau Non mau nikahan sama Mas Dimas, Den Andra jadi uring-uringan. Sering marah-marah ndak jelas."
Inah mencoba menjelaskan karena beberapa kali dia mendapati tuannya yang sering termenung, sejak mengetahui bahwa gadis itu akan menikah.
"Ah gak mungkin, Bik. Kita kan cuma temenan. Bibik kan juga tahu dari dulu gimana."
Dengan cekatan Reisa membuka kaus Andra dan menggantinya. Dia menutup hidung karena bau yang begitu menyengat. Tiga puluh menit berlalu dan semua selesai.
Reisa sudah berhasil menggantikan baju Andra, mengatur posisi tidurnya juga memakaikan selimut. Lelaki itu terlihat nyaman dalam lelapnya.
"Bibik ke belakang dulu ya, Non. Kalau ada apa-apa, ketok aja pintu kamar. Bibik suka gak sadar kalau udah tidur," ucap Inah berpamitan.
"Iya. Bibik tidur aja udah malem. Biar Rei yang ngurusin Andra."
"Non mau langsung pulang?"
"Iya."
"Kalau gitu kunci aja pintunya. Simpan di bawah pot bunga. Bibik ada kunci cadangan."
"Siap, Bik."
Inah melangkah keluar dan menutup pintu. Dia tidak berani ikut campur apalagi bertanya banyak. Biasanya juga  tuannya yang akan bercerita. Tidak semua hal, hanya beberapa yang penting.
"Rei ...."
Reisa menoleh saat mendengar Andra memanggilnya.
"Mau minum?"
Andra mengangguk. Belum sempat Reisa keluar, laki-laki itu sudah memegang tangannya.
"Jangan tinggalin gue." Di antara sadar dan tidaknya Andra mulai meracau.
"Gak, Ndra. Aku cuma mau keluar bentar. Mau ambil--"
Tubuh Reisa terjatuh ke tempat tidur saat tangan besar Andra menariknya ke dalam pelukan.
"Sayang ...." Andra membenamkan wajahnya ke ceruk leher Reisa.
"Lepasin, Ndra! Kamu mau apa?" Dia mencoba meronta karena tidak rela dirinya disentuh seperti itu.
"Gue mau lu aja." Andra berusaha menaklukannya.
"Ndra, kamu mabok. Sadar woi!"
Reisa masih meronta, berusaha melepaskan diri dari rengkuhan lelaki itu. Perutnya mual mencium bau asam dari mulut Andra.
Kali ini Andra benar-benar tidak perduli. Dia akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Tubuhnya berbalik menindih, tak membiarkan sang pujaan hati bergerak sedikitpun.
"Ndra, lepasin! Kamu lagi gak sadar. Ini aku Reisa, bukan cewek yang tadi," ucap Reisa sembari menepuk pipi Andra, mencoba menyadarkannya.
Dalam posisi begini, Reisa tak berdaya. Tenaganya terbatas, tetapi dia berusaha mempertahankan kesuciannya.
"Rei, jangan nolak gue."
Tangan Andra mulai berkeliaran, mencari apa yang dia mau.
"Lepas, Ndra! lepas! To--"
Reisa berteriak, masih berusaha mempertahankan diri. Namun tidak ada yang mendengar. Juga tidak ada yang bisa menolong.
Kakinya menendang, tangannya mencakar. Kehormatanya saat ini sedang dipertaruhkan. Apalah daya tubuh kecilnya tak sanggup melawan, walaupun sudah sekuat tenaga mencoba.
"DIAM REI!" bentak Andra.
Seketika itulah Reisa tahu bahwa Andra sebenarnya tidak mabuk. Lelaki itu sepenuhnya sadar. Mata Andra normal seperti biasa. Hanya saja, saat ini sesuatu yang bejat sedang menguasainya.
"Kamu?"
Andra menyumpal mulutnya dengan sebuah ciuman kasar. Tubuh besarnya bergerak sesuka hati, melakukan apa pun yang dimau. Mengambil semua yang dia inginkan pada wanita ini.
Untuk selanjutnya, Reisa tak dapat berbuat apa-apa. Tiada daya dan upaya. Di bawah kungkungan Andra dia kehilangan semua. Kesuciannya direnggut oleh orang yang paling dia percayai. Dirampas oleh orang yang dia sayang.
Seluruh kesakitan yang dia rasakan hanya dapat diungkapkan dengan air mata. Haruskah begini takdirnya? Tak bolehkan dia meminta sama seperti yang lain. Menikah dan hidup bahagia bersama orang yang dicintai.
Mengapa harus begini? Mengapa harus aku, Andra?

Komento sa Aklat (71)

  • avatar
    Mapafi des Laia

    saya suka dengan ceritanya

    03/03/2023

      0
  • avatar
    Gem Bocil

    sangat berkualitaa

    05/02/2023

      0
  • avatar
    Jasmine

    jos

    04/02/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata