logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Alka (Merajut Kisah yang Koyak)

Alka (Merajut Kisah yang Koyak)

Syaesha


Manggung

"Ayo Guna Karya, semua bernyanyi!" teriakku di atas panggung. Di hadapan ratusan murid SMA yang malam ini sedang mengadakan perpisahan.
Kuambil gitar dan mulai memainkan
Lagu lama yang biasa kita nyanyikan
Tapi tak sepatah kata yang bisa terucap
Hanya ingatan yang ada di kepala
Aku menyeringai menatap satu persatu murid yang berdiri di barisan paling depan. Mereka jelas mengikutiku bernyanyi.
Hari berganti angin tetap berhembus
Cuaca berubah daun-daun tetap tumbuh
Kata hatiku pun tak pernah berubah
Berjalan dengan apa adanya
Lagu Slank dengan judul terlalu manis ini kurasa cocok kami cover di acara perpisahan. Setelah tadi sempat membawakan sebuah lagu beraliran rock, tak ada salahnya kami bermain dengan tempo rendah. Biar perpisahan mereka semakin terasa indah, tak mudah dilupakan.
Di malam yang dingin dan gelap sepi
Benakku melayang pada kisah kita (ayo Guna Karya, semua!)
Aku lagi-lagi berteriak, meminta mereka lebih gila lagi ikut bernyanyi denganku.
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah bersamamu tinggalah mimpi
Terlalu manis untuk dilupakan
Walau kita memang tak saling cinta, takkan terjadi diantara kita
Namaku Alka Handaru, vokalis grup band yang tak memiliki lagu. Hahaha, iyes! Kami yang terbentuk dalam grup band bernama Penthatonic, seringnya meng-cover lagu-lagu milik band papan atas saja.
"Ayo, Guna Karya semua!"
Sya-la-la, sya-la-la, sya-la-la, sya-la-la,
Sya-la-la, sya-la-la, sya-la-la (beri suaramu yang paling keras!)
Band kami baru terbentuk sejak setahun yang lalu. Jam terbang masih belum tinggi. Dengan formasi empat orang, aku sebagai vokalis tentu bukan leader dari ketiga temanku yang lain. Yang paling sering bergerak mencari job adalah, Bella. Si gadis berambut merah yang memiliki posisi sebagai drummer di grup band ini.
Di malam yang dingin dan gelap sepi
Benakku melayang pada kisah kita, yeah!
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah bersamamu tinggalah mimpi
Terlalu manis untuk dilupakan
Walau kita memang tak saling cinta, takkan terjadi
Terlalu manis untuk dilupakan
Kenangan yang indah di Guna Karya takkan kulupakan
Makasih, Guna Karya!
Bella lebih lama menabuh drumnya, sebagai tanda bahwa penampilan kami telah usai.
"Lagi, lagi, lagi!"
"Lagi, lagi, lagi!"
Teriakan para remaja itu hiruk-pikuk terdengar oleh telingaku.
"Satu lagu lagi, deh!" teriak Bella mengomando.
Aku sebenarnya sudah lelah. Hari ini kami memang banjir job. Tadi pagi sudah mengisi acara pensi di salah satu SMP beken di kota Depok. Siangnya lanjut tampil di Kafe, acara ulang tahun seorang selebgram. Dan, malamnya kami lagi-lagi jadi bintang tamu di SMA Guna Karya.
Kami memang bisa menyanyikan lagu apa saja, bisa sesuai permintaan. Tak berpatok pada satu aliran. Tergantung siapa yang mengundang, dan acara apa yang sedang dihadiri.
"Kemesraan ini, deh. Tuh lihat, gurunya pada dateng," tunjuk Bella dengan dagunya ke arah beberapa orang guru yang duduk di kursi, barisan paling depan.
"Ok!" Aku tak mau ambil pusing, yang penting aku hafal lirik dan tahu betul lagunya. Dan, sepertinya cocok juga untuk menutup penampilan kami malam ini.
"Baiklah, lagu terakhir malam ini. Mari semuanya saling berpegangan tangan. Mengenang masa-masa indah selama tiga tahun bareng kawan, guru, atau bahkan pacar!" teriakku, menyulut semangat mereka.
Suara teriakan langsung menyerbu, kusapukan pandangan dan mendapati banyak pasangan yang sepertinya adalah kekasih saling berpegang tangan.
"Kalau yang udah jadi mantan, usahakan jangan sampai baper. Apalagi kalo udah ada gebetan baru," lanjutku padahal sedang mengulur waktu sembari menunggu temanku mengatur tempo.
Suara riuh kembali terdengar.
"Balikan sama mantan itu kek baca novel yang sama untuk kedua kalinya. Endingnya ya gitu aja," celetukku mengutip sebuah kalimat yang pernah aku baca. Entah di mana aku lupa.
"Siap buat lagu terakhir?" tanyaku dengan suara lantang.
"Siap!" balas mereka tak kalah lantang.
"Spesial untuk bapak dan ibu guru yang telah banyak memberikan pendidikan, petuah dan wawasan untuk murid-muridnya. Nyanyi bareng ya, Pak, Bu. Kemesraan ini, by Bang Iwan Fals dan Bunda Rafika Duri." Aku kembali berteriak.
Dari rona yang dipancarkan oleh guru-guru, mereka terlihat senang. Ya, memang itu tujuan kami.
Suatu hari
Dikala kita duduk ditepi pantai
Dan memandang ombak dilautan yang kian menepi
Burung camar terbang
Bermain diderunya air
Suara alam ini
Hangatkan jiwa kita
"Mungkin ada bapak atau ibu guru yang mau menemani saya bernyanyi?" tanyaku sopan pada guru yang duduk di barisan depan sebelah kanan.
Terlihat mereka saling membisik dan saling mendorong bahu. Persis anak SD saat diminta tampil.
"Ayo maju maju, jangan malu-malu!" Murid-murid malah menggoda dengan nada dibuat-dibuat.
"Ayo maju maju, jangan malu-malu!" Lagi suara mereka akhirnya membuat seorang guru berdiri dan berjalan ke atas panggung.
Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta
Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu
Aku kembali meneruskan bernyanyi, dan mulai duet dengan si ibu tinggi besar yang memakai hijab kuning.
"Nyanyi sama-sama ya, Bu?" Aku menawarkan diri dan merangkul sopan bahu si ibu.
Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram di samping mu
Hatiku damai
Jiwa ku tentram
Bersamamu
"Jangan lupakan kawan, jangan lupakan guru, jangan lupakan lawan haha, canda lawan. Lupakan mantan, eh apa lagi mantan udah Jan dibawa-bawa lagi," candaku sebelum kembali bernyanyi.
Kuberikan kesempatan pada Ibu berkerudung kuning untuk melanjutkan bernyanyi, beliau mengangguk seraya tersenyum.
Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta
Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu
"Nama ibu siapa?" tanyaku berbisik.
"Ibu Shanta, guru kesenian," balasnya.
Wow! Pantas suaranya bagus, kukira tadi titisan Bunda Rafika Duri.
"Ayo semua, saling pegang tangan temannya. Meski berpisah, jangan lupakan masa-masa indah kalian. Tetap jaga tali silaturahmi." Tentu itu hanya cuap-cuap belaka.
Pada kenyataannya hanya akan ada beberapa orang yang masih menganggap teman setelah kita lulus. Atau bahkan saat bertemu kembali, hanya ada rasa canggung seolah tidak mengenal sebelumnya. Itu yang aku rasakan, entah bagi orang lain.
Sejak lulus sekolah beberapa tahun lalu, aku bersama ibu dan adik perempuanku terpaksa pindah tempat tinggal. Yes, dari kampung ke kota. Sulit, tentu saja. Namun, hidup harus tetap berlanjut. Aku hampir tak lagi memiliki ambisi untuk hidup, tapi sebagai anak tertua dan laki-laki aku harus bisa jadi tulang punggung keluarga.
Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram di samping mu
Hatiku damai
Jiwa ku tentram
Bersamamu
Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram di samping mu
Hatiku damai
Jiwa ku tentram
Bersamamu
"Terima kasih, atas undangannya SMA Guna Karya. Semoga kalian sukses, sampai jumpa. Selamat malam!" Aku akhiri penampilan malam ini.
Setelah merapikan diri, kami pamit dari sekolah mewah itu. Menumpang mobil Bella. Satu-satunya manusia dengan duit paling banyak di antara kami.
"Punya gue, buat elo aja," bisik Bella menyerahkan amplop putih padaku.
Bella selalu seperti itu, honor bagiannya selalu diberikan padaku. Slentingan kata teman-teman yang lain, dia naksir padaku. Oh, tidak! Jangan harap Bella. Aku sudah ada gadis lain yang kusukai.
"Nggak perlu," tolakku. Kami kini berada dalam mobil Bella dengan Oris yang menyetir. Aku dan Bella duduk berdua di kursi penumpang.
"Buat ade, lo," paksa Bella menyusupkan amplop itu ke saku jaket belelku. Biar belel tapi wangi.
"Enggak perlu, Be. Gue masih punya duit." Sekali lagi aku berusaha menolak.
Aku tak mau memberi harapan pada Bella. Entahlah, semenjak mengenal seorang gadis hatiku seolah terpatri tak mau yang lain.
Bella tampak murung, ia masukan amplop itu ke dalam Sling bag hitamnya. Wajahnya cemberut, pandangannya beralih ke jendela samping. Mungkin kecewa denganku.
Bahkan hingga aku turun dari mobil, Bella tak mau bicara padaku. Dia tak menghiraukan saat aku pamit dan mengucap terima kasih padanya. Ya, biasalah! Gadis manja! Besok lusa juga berhaha hihi lagi.
Aku sempatkan menelepon adikku karena mendapati pintu kontrakan dikunci. Jelas dikunci, ini sudah jam 23.45. Meski di jalanan masih ramai, tapi di sekitar tempat tinggalku sudah sepi.
Tak lama pintu dibuka, kulihat adikku yang memakai hijab instan berwarna hitam dengan muka bantalnya di hadapan.
"Maaf udah ganggu," ucapku seraya sekilas mengusap pucuk kepalanya.
"Iya, udah biasa. Abang kunci lagi dah pintunya, aku mau lanjut tidur," ujarnya dengan malas meninggalkanku.
Aku tersenyum melihat punggungnya yang hilang masuk kembali ke kamar tanpa pintu. Hanya tirai merah yang sudah bolong sebagai penutup ruangan yang kami sebut kamar itu.
Sakit sebenarnya belum bisa memberikan tempat tinggal terbaik bagi adik dan juga ibuku. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku kesulitan mendapat pekerjaan akibat catatan kriminalku semasa sekolah terlampau banyak. Aku selalu menjadi langganan masuk sel. Kasusnya sama, tawuran. Dan yang terakhir memang sangat fatal, aku dan ketiga temanku yang lain menghabisi nyawa musuh kami. Meski kami bebas sebab yang kami lakukan adalah pembelaan diri. Dan, salah satu teman kami pun terlebih dahulu mereka habisi nyawanya.
Sebab itulah, lulus dari sekolah ibu membawaku dan Lala akhirnya pindah ke mari. Depok, tempat tinggal ibu saat masih kecil hingga remaja. Ayah kami? Jangan tanyakan, sedari kecil aku tak pernah merasa memiliki ayah. Dia ada tapi, tak memberi kami kehidupan yang baik.
Setidaknya, bila tak bisa bahagiakan kami dengan harta maka beri kami kasih sayang. Tapi, pria yang kini tengah mendekam di balik jeruji besi itu tak berikan kami keduanya.
Ibu pontang panting bekerja agar bisa membiayai aku dan Lala. Bo dohnya aku, tak bisa membawa diri. Bukannya jadi anak baik, aku dengan sejuta luka yang selalu menusuk hati malah jadi berandalan. Ya, aku memang tak tahu diri. Tak kasihan pada ibu. Terlibat tawuran, Genk Genk an, dan dunia kelam lainnya. Hanya satu yang tak kusentuh, free s*x. Untuk hal itu, aku jijik membayangkannya.
Adikku gadis, ibuku wanita jadi, aku tak sampai hati bila harus bersenang-senang dengan cara mempermainkan anak gadis orang.
Aku membersihkan diri seadanya sebelum masuk ke kamar. Lelah sekali hari ini, meski uang yang didapat memang tak sebanding dengan apa yang kami kerjakan. Namun, aku bisa apa lagi selain mencari uang dengan cara seperti ini? Masih untung ada yang mau mengundang kami untuk tampil.
"Bang Alka minta kontaknya dong!" teriakan para gadis remaja masih saja terngiang-ngiang di Indra pendengaran ku.
"Bang Alka kok ganteng, kenapa enggak ke Korea aja main Drakor!" canda mereka saat tadi aku naik panggung.
Ada-ada saja tingkah mereka, aku hanya menanggapi dengan senyuman saja. Tak mau terlalu larut dengan pujian mereka. Pujian kadang menjadi jebakan, melenakan yang jika kita hanyut justru akan menjadikan kehancuran.
Kunyalakan lampu kamarku, dan langsung kudapati poster besar yang menampilkan wajah cantik gadis pujaan ku.
"Elo cantik banget, sih," gumamku seraya mendekati poster itu.
Namanya Ayuni Ratulangi atau Ayuni Herdian. Seorang artis yang ketenarannya seolah tak pernah padam. Aku menyukainya sejak dia menjadi penyanyi cilik. Dalam pandanganku kecantikannya tak pernah pudar. Apalagi setelah dewasa. Pahatan indah hasil karya Tuhan yang sempurna. Membuatku ingin memilikinya. Tapi, apakah mungkin?
Kukecup pipinya, kemudian dahinya, dan ah. Itu bagian terlarang. Aku tak berani menyentuhnya meski hanya sebuah gambar. Ayuni Ratulangi, semoga kita bisa berjumpa dan saling jatuh cinta.
***

Komento sa Aklat (39)

  • avatar
    JayaBintang

    daimons epep

    15/08

      0
  • avatar
    BINTI MOHD NORROZAINI

    good

    13/07

      0
  • avatar
    M Nauval

    dafa

    05/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata