logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Surat Pengunduran Diri

Pertemuan dengan Rio, Sabtu kemarin, membawa semangat baru untuk Naura. Dia sempat bercerita kalau dia akan mengundurkan diri dari tempat bekerjanya saat ini, Rio memintanya bertahan sebelum diterima di perusahaan yang baru.
Rio memang tidak terlalu ingin tahu masalah pekerjaan Naura, dia lebih fokus ke persoalan anak-anak Naura. Dinda dan Bagas bisa menghabiskan waktu berjam-jam bicara dengan Rio, hal yang jarang sekali dilakukan Naura. Waktunya habis untuk memikirkan pekerjaannya, begitu tiba di rumah anak-anak pun sudah di kamar masing-masing.
Rio adalah sosok yang mau mendengarkan, berbeda dengan Naura yang menginginkan anaknya mandiri, tidak terlalu bergantung kepada orang lain.
“Tumben udah datang, Bu,” sapa Jaka--office boy kantor.
“Iya,” jawab Naura sambil mengecek beberapa dokumen yang menumpuk di mejanya.
Banyak pekerjaan yang terbengkalai akibat mengurusi masalah impor dan mesti bolak-balik keluar kantor, setelah menandatangani beberapa berkas. Naura membuka brangkas kecil disudut kanan ruang kerjanya, mengambil sebuah amplop coklat berisi uang untuk diserahkan ke Gunawan pagi ini.
“Kita berangkat sekarang, Pak Komar,” ajak Naura.
Pak Komar memang sudah mempersiapkan diri, lalu mobilnya pun melaju ke kantor Gunawan di Jalan Bratayuda, Jakarta Utara.
“Halo, Pak Lukman. Saya otw ke kantor Pak Gunawan, ya, Pak.”
“Siap, saya meluncur, Bu,” jawab Lukman.
Kemudian Naura menghubungi Pak Hendi dan juga Pak Alex, memberitahukan perjalanannya. Hal remeh sebenarnya, tetapi dari awal Naura bergabung di PT. Megastone ini, hal apapun yang ada kaitannya dengan pekerjaan sekecil apapun itu harus dilaporkan. Baik secara langsung maupun via telepon, melelahkan memang dan kini kesabaran Naura sudah sampai di titik nadir.
Setelah satu jam perjalanan, Naura melihat Lukman sudah menunggu di depan kantor Gunawan. Lukman menjabat tangan Naura begitu dia turun dari mobil.
“Pak Gunawan ada, Pak?” tanya Naura.
“Ada, Bu,” jawab Lukman singkat.
“Selamat pagi, Naura. Gimana sudah siap? Jam 08.30 nanti petugas akan memeriksa dokumen dan juga barang kita, kamu sudah siapkan uangnya?” tanya Gunawan sembari memperlihatkan selembar kertas ke arah Naura.
“Ini nama petugasnya, Pak?” Naura balik bertanya sembari menunjuk sebuah nama di kertas itu.
“Betul, kebetulan saya kenal baik. Jadi bisalah kami bantu,” jawab Gunawan tersenyum penuh arti.
“Oke, ini uangnya. Silakan dihitung dulu, ada delapan juta,” ucap Naura lalu mendorong sebuah amplop coklat itu ke arah Gunawan.
“Loh, nggak sepuluh juta, Bu?” ledek Gunawan.
“Nggak, Pak. Bos nggak setuju, Lukman ‘kan mintanya delapan juta?” tanya Naura curiga.
Gunawan tertawa.
“Kalo Bu Naura bisa minta sepuluh juta ‘kan, sisanya bisa kita bagi-bagi, Bu.”
Naura kaget dengan ucapan Gunawan barusan, tetapi dia berusaha menunjukkan ekspresi biasa saja.
“Saya nggak berani, Pak. Malah saya disuruh nego lima juta sama bos saya,” ucap Naura berbohong.
“Nggak mungkinlah, harga barangnya aja hampir setengah milyar. Masa mau ngasih cuma lima juta? Yang ada kita malah ditambahi masalah nanti, Bu!” jawab Lukman ketus.
“Bapak aturlah, main cantik ya, Pak. Saya loh nggak pernah pake uang-uang begini, saya selalu coba negosiasi supaya nggak keluar duit. Saya dibantu agen saya, nggak pernah saya jalan sendiri seperti ini,” jelas Naura.
“Kalo boleh tau, nama agen ibu sebelumnya siapa?” tanya Gunawan sambil menghitung gepokan terakhir uang yang diserahkan Naura barusan.
“PT. Berdikari, pimpinan Pak Manik,” jawab Naura.
“Padahal kemarin saya sudah lihat, sih, di dokumen, Ibu. Hanya ingin memastikan saja,” sahut Gunawan sembari memasukkan kembali uang ke dalam amplop.
“Pak Gun, kenal?” selidik Naura.
“Kenal, Bu. Dunia kepabeanan itu kecil, Bu. Sebelumnya Pak Manik pake PPJK saya juga, lumayan lama. Namun sekarang beliau sudah punya sendiri,” jelas Gunawan.
“Oh, ya? Semoga ke depannya nggak ada masalah, ya, Pak. Rencananya memang kami nggak pake agen lagi, diurus sendiri. Kebetulan ‘kan sudah ada ahlinya, nih. Lima belas tahun pengalaman cukuplah, apalagi punya kenalan PPJK yang hebat juga,” puji Naura.
“Saya belum nego gaji loh, Bu. Beni nggak ngomong apa-apa, cuma minta bantuin beresin ini aja,” keluh Lukman.
“Wah, saya nggak ikutan tuh, Pak. Kalo soal gaji silakan langsung ditanyakan ke Pak Beni, tugas saya hanya memastikan Pak Lukman bisa menyelesaikan masalah ini.”
Lukman menatap Naura tajam, Naura pun membalas tatapan Lukman.
“Oke, saya pamit kembali ke kantor. Sore nanti bisa keluar dong barangnya, Pak?” tanya Naura lalu berdiri.
“Bisa, Bu. Bisa. Paling telat besok pagi,” jawab Gunawan yakin.
“Sip, terima kasih, Pak. Saya pamit, ya,” jawab Naura dan menyalami mereka berdua.
Lukman masih diam, tetapi Naura tidak perduli. Dia pegang omongan Gunawan, karena sesungguhnya Gunawan yang bekerja. Lukman hanya pelaksana saja.
“Kita kembali ke kantor, Pak Komar,” pinta Naura.
Setelah melambaikan tangan ke arah Gunawan dan Lukman, mobil pun melaju membawa Naura kembali ke kantor.
Ada pesan di aplikasi hijau dari Pak Alex.
‘Setelah makan siang kita meeting dengan asisten baru kamu, dia sudah menemukan masalahnya.’
**
Begitu tiba di kantor, Naura merasakan suasana yang berbeda. Dia melihat orang-orang memandangnya dengan tatapan yang berbeda, tatapan menyudutkan. Apakah ini ada kaitannya dengan pesan Pak Alex?
“Naura ... Ke ruangan saya, sebentar,” panggil Tommy.
Naura berjalan agak tergesa, awalnya dia ingin menemui Beni membahas soal gaji Lukman. Tetapi dia urungkan, karena Tommy lebih dulu memanggilnya.
“Senin yang melelahkan!” Naura membatin.
“Alex mau ajak kamu meeting siang nanti sehabis makan siang, dia nggak bolehin aku ikut meeting bareng kamu. Dengar, ya, Naura. Memang aku yang meminta kamu untuk mengurangi pembayaran pajak perusahaan kita, namun seharusnya sebagai seorang profesional kamu bisa dong atur yang benar? Bukan malah menimbulkan masalah besar untuk perusahaan!” ucap Tommy ketus.
Kata-katanya mulai menyudutkan Naura, Tommy mengunci pintu ruangannya. Artinya dia tidak membolehkan orang lain masuk!
Naura mencoba menguasai keadaan, dia tidak ingin terlihat panik di hadapan Tommy.
“Betul, data yang saya berikan memang hasil rekayasa kita. Tetapi ‘kan data itu saya serahkan ke konsultan pajak untuk diperiksa, mereka nggak pernah ada masalah. Yang mengeksekusi data saya juga mereka, yang membuat laporan tahunan juga mereka? Lalu salah saya dimana?” bela Naura.
“Yang kamu berikan data yang salah, data ngawur!” jawab Tommy kesal.
“Atas permintaan siapa, Tom?” tanya Naura sengit.
Tommy mulai emosi, dia tidak ingin menjadi tameng atas kesalahan Naura.
“Kamu atasan saya, Tom. Sekecil apapun saya selalu berdiskusi denganmu, apa pernah saya berikan data yang tidak kamu tandatangani? Apa pernah saya nggak cerita sebelumnya ke kamu?” bantah Naura.
Hanya dengan Tommy, Naura bisa berbicara lepas tanpa harus memanggilnya “Pak” jika mereka sedang berdebat. Namun semua itu hanya bisa terjadi di dalam ruangan Tommy, diluar itu Naura tidak akan berani memanggil hanya nama saja.
“Aku nggak mau kamu salahkan terus, Naura!” ucap Tommy sambil menggebrak meja.
Naura sempat kaget beberapa detik, “maafkan, aku,” ujar Tommy lalu berdiri.
Naura tidak bereaksi apa pun, dia lihat Tommy mengambil botol air mineral dari kulkas kecil di depannya. Meminumnya lalu menyerahkan satu botol untuk Naura.
“Pekerjaanmu bagaimana hari ini? Masih ada masalah?” tanya Tommy lembut mengalihkan pembicaraan.
“Sudah hampir beres, cek yang aku minta kemarin hanya terpakai delapan juta. Lukman bisa nego dengan bea cukai,” jawab Naura.
“Good, dong. Trus ..., kapan barangnya keluar?”
Tommy sudah mulai bisa mengontrol emosinya, “paling lambat besok pagi,” jawab Naura.
Naura menyodorkan selembar kertas ke arah Tommy.
“Aku minta, aku tidak ditahan lagi, ya, Tom. Aku sudah menimbulkan banyak kekacauan di kantor ini, sudah ada orang baru yang lebih mampu menggantikan posisiku.”
Tommy terdiam.
“Aku terlalu keras ke kamu, ya? Maafkan aku,” rengek Tommy.
Pria berusia lima puluh dua tahun yang duduk di hadapan Naura saat ini, walaupun seorang direktur keuangan namun terlihat lemah di hadapan Naura. Dia tegas ke karyawan yang lain, tetapi tidak dengan Naura.
“Tom, Naura di ruanganmu? Kalau sudah selesai tolong ke ruangan saya, saya mau bicara dengannya.”
Suara Pak Alex terdengar di speaker phone Tommy.
“Aku ingin menahanmu, namun sepertinya nggak mungkin. Kamu sudah begitu membenciku,” ujar Tommy dengan suara mendayu-dayu.
Rio saja tidak pernah berkata seperti itu, Naura memang tidak pernah mengambil hati untuk semua ucapan Tommy.
“Aku nggak bisa. Aku ke ruangan Pak Alex dulu, wish me luck,” ucap Naura.
“I’ll dear. Nanti aku traktir dinner, ya,” pinta Tommy.
“Oke!” jawab Naura.

Komento sa Aklat (109)

  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    DavidHimang

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    Moh Zamzam

    din sanmers ajgd aburuts anvvsagdyemnjaki skjis akis

    16/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata