logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Sesuai perjanjian

Vino mencari Rara.  Sesuai perjanjian,  cowok itu    dia sudah membawa resep obat yang dijanjikan pada gadis itu.  Vino tidak bodoh,  dia memalsukan resep obat itu. Ya,  resep obat itu adalah resep vitamin yang dibelinya beberapa bulan lalu.
  Tak berselang lama,  Vino menemukan Rara sedang bersandar di sebuah pohon yang ada di taman kampus.  Cowok itu segera menghampirinya.
  "Ini sesuai janji gue, " Vino menyodorkan resep itu pada Rara.  Gadis itu langsung menerima uluran resep itu.  Karena penasaran sejak awal,  Rara langsung membaca resep itu.
  "Vitamin? " Rara setengah tidak percaya.  Dia menggelengkan kepala.  "Lo mau bohongin gue,  ya? "
Vino mengangkat sebelah alis.  "Lo itu memang suka nuduh sembarangan! " serunya mulai kesal.  Apapun yang terjadi, dia tidak boleh ketahuan kalau sudah membohongi Rara.  Hanya boleh Azar yang tahu apa yang terjadi. 
  Seketika Azar lewat,  Vino segera menarik lengan temannya itu.  "Nih,  Zar,  temen lo, " Vino menunjuk Rara. 
Rara tidak terima saat Vino seenak jidat menunjuk dirinya.  Segera, gadis itu bangkit dan langsung mendorong  tubuh Vino sampai tersungkur di rerumputan.
   "Rasain! " seru Rara memandang Vino tajam.  Sebelum rasa kesalnya semakin memuncak,   gadis itu segera pergi dari sana.
  Azar yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo.  Dia langsung membantu Vino untuk segera bangun.
  "Lo nggak apa? " Azar bertanya memastikan.
"Gue nggak apa,  Zar, " jawab Vino sambil membersihkan baju yang terkena pasir.
Akhirnya,   keduanya langsung mencari Rara.  Vino masih tidak terima dengan perlakuan Rara.  Kenapa Rara malah marah?  Bukannya Vino sudah menepati  janjinya. Walaupun resep itu palsu. 
"Rara! " seru Vino saat melihat Rara sedang di kantin bersama Isna.
  "Apa? " Rara memasang wajah judes. 
"Nggak apa,  Ra. Eh,  ada Bebeb Isna." Vino mengalihkan pandangan.  Isna hanya terdiam,  tidak menanggapi. Ya,  dia mau menerima Vino karena apa yang diceritakan Rara waktu itu.  Jujur,  Isna tidak punya perasaan apapun terhadap cowok itu.  Supaya Vino  tidak curiga,  Isna harus bersikap manis pada cowok itu.
"Eh,  ada Mas Pacar, " jawab  Isna,  dalam hatinya sedikit jijik.  Bayangkan saja bersikap manis pada orang yang tidak kamu sukai.  Pasti rasanya aneh,  bukan?
"Iya, Beb," Vino mendekat dan menggengam tangan Isna erat.  "Yuk, kita pergi dari sini. "
Isna mengangguk,  dan mengikuti langkah Vino keluar dari kantin.
"Dasar bucin si Vino itu! " Rara mengentakkan sepatunya dengan kesal.
  Azar tertawa melihat muka Rara yang benar-benar kesal. "Kenapa? Lo cemburu lihat mereka? "
Rara langsung bergidik.  "Ish,  amit-amit! "
Azar tersenyum dan menarik Rara ke taman kampus. 
  "Elah,  Azar,  ngapain ajakin gue ke sini lagi? "
"Ya,  nggak apa,  Ra. Lagian kita udah nggak ada kegiatan lagi, 'kan?"
Rara mengangguk.  "Eh,  gue pulang aja,  deh."
Rara membalikkan badan dan  melambaikan tangan ke arah Azar.  Cowok itu membalas  lambaian Rara.
Ada  perasaan sakit dalam diri Azar. Jujur,  dia juga menyukai Isna. Sayang,  gadis itu sudah jadian dengan sahabatnya sendiri.   Mau tidak mau dia harus ikhlas menerima kenyataan pahit.  Mungkin benar,  cinta harus mengikhlaskan saat melihat kebahagiaannya bersama orang lain.  Azar harus belajar ikhlas dan tetap tersenyum meskipun sakit.
   "Gue bahagia kalau liat lo bahagia, Is," Azar tersenyum.  Kali ini dia tersenyum kecut.  Ternyata mengikhlaskan tak semudah   kata-kata yang sering ditulis orang-orang.
****
    "Ra,  gue mau jujur sama lo, " kata Azar saat bertemu Rara di kantin sedang duduk sendirian.
"Bilang aja,  Zar."
Azar berubah pikiran.  Sebenernya cowok itu ingin menceritakan apa yang ada di hatinya.  Ya,  soal perasaannya pada Isna.
  "Nggak jadi,  Ra. "
"Lo gimana, sih? " Gadis dengan ciri khas dikuncir ke samping itu  mulai kesal.
  Azar terdiam,  dia langsung berdiri dan berlalu meninggalkan Rara.  Rara merasa ada yang aneh dengan sikap Azar. Seperti ada yang disembunyikan.  Akhirnya,  gadis itu membuntuti Azar sampai di parkiran.
  "Lo kenapa, Zar? " tanya Rara sembari menepuk bahu cowok itu.
Azar membalikkan badan dan menatap Rara.  Dia bingung apakah dia harus bercerita pada gadis itu soal perasaannya pada Isna.  Azar hanya takut kalau dia menceritakan pada Rara,  dia akan mengadu pada Isna.
Tak hanya di situ saja,  kalau Isna memberitahukan pada Vino,  pasti dia akan marah besar. Seusai memikirkan matang-matang, Azar memilih mengurungkan niat untuk menceritakan semuanya.
"Nggak apa,  gue cuma bercanda aja,  Ra."
Rara masih tidak puas dengan jawaban Azar.  Pasti ada yang disembunyikan, pikirnya. 
  "Gue balik dulu,  ya,  Ra, " pamit Azar berjalan mengambil motornya.
Sedangkan Rara kembali ke taman kampus untuk sekadar numpang wi-fi.
  Saat Rara hendak berbelok menuju taman kampus,  dia kaget bukan main saat menabrak seorang cowok. 
  "Maaf,  gue nggak sengaja, " kata cowok itu.  Aneh saja,  padahal Rara yang menabraknya,  malah dia yang meminta maaf.  Rara hanya tersenyum dan dilihatnya muka cowok itu mirip pangeran yang selalu dalam mimpinya.
  "Nggak apa. Santai aja, " jawab Rara tersenyum.
Kemudian cowok itu mengulurkan tangannya.  "Nama gue Fahri. "
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan,  Rara membalas uluran tangan cowok itu.  "Rara. "
   "Salam kenal Rara." Cowok bernama Fahri itu tersenyum lagi.  Entah kenapa hati Rara berdebar tak karuan.
Rara hanya mengangguk. 
Cowok itu langsung berlalu dari hadapan Rara. Gadis itu lalu melanjutkan langkahnya menuju taman kampus.
   "Kok cowok itu mirip orang yang ada di mimpiku,  ya? " Rara tersenyum geli.  "Jangan-jangan dia jodohku? "
****
Rara sedang merevisi naskah skripsinya sesuai apa yang dianjurkan dosen pembimbingnya. Gadis dengan ciri khas dikuncir satu itu mengerjakannya di meja taman kampus. Dengan wajah tersenyum,  akhirnya dia menyelesaikan revisiannya.  Rara mengeratkan kedua tangan dan menariknya ke depan.  Pinggangnya terasa sangat pegal.
"Tinggal tunggu waktu yang tepat aja buat bimbingan lagi,  deh, "guman Rara. 
Seketika ada yang menepuk punggungnya dari belakang.  Refleks,  dia menoleh. 
"Gue udah tahu semuanya,  Ra, " ucap Vino.
Tangan kanan Rara langsung menarik tangan Vino,  cowok itu langsung duduk di sebelah gadis itu.  "Lo bilang apa sih,  Vin?  Gue nggak ngerti. "
Vino menelan ludah.  Jujur,  kenyataan yang baru dia alami sangatlah menyakitkan.  Dia masih terdiam,  masih belum angkat bicara.
"Vin? " Rara memegang jidat cowok itu.  "Lo kenapa? "
Dengan napas panjang,  akhirnya dia angkat bicara.  "Gue tahu Isna nerima gue karena lo bilang umur gue nggak lama lagi,  kan?  Dan lo bilang kalau gue itu suka nyakitin gue sendiri kalau gue nggak bisa dapatin apa yang gue inginkan."
Jawaban Vino membuat Rara tersambar petir.  Bagaimana bisa Isna mengatakan hal itu semua pada Vino?  Isna sudah berjanji tidak akan berkata apa-apa pada cowok itu.  Terbongkar sudah misinya.  Ya,  awalnya Rara hanya berniat ingin tahu rahasia cowok itu.  Entah kenapa,  dia sekarang malah merasa kasihan pada cowok di sampingnya ini.
"Vin...  gue nggak ada maksud gimana-gimana,  kok." Rara menunduk,  dia benar-benar merasa tidak enak pada Vino.  Ini semua tidak seperti perjanjian awal mereka.  Rara sadar semua ini salahnya,  dia terlalu berambisi ingin  tahu obat yang selalu dibawa Vino.  Sekarang semuanya malah semakin rumit.  Vino pasti merasa kecewa terhadapnya.
"Gue nggak apa,  Ra, " jawab Vino.  "Mungkin gue yang terlalu memaksa Isna juga. "
"Ini semua gara-gara gue,  Vin. "
Vino menggeleng.  "Santai aja,  Ra. "
"Lo nggak marah sama gue setelah apa yang gue lakuin ke lo? " Rara memegang lengan baju panjang cowok itu.  Spontan,  Vino langsung merintih kesakitan.  Rara yang mengetahui itu langsung sedikit membuka lengan baju Vino. Terlihat ada beberapa luka di tangan cowok itu.
"Ini kemarin dicakar kucing gue,  kok,  Ra," ucap Vino tersenyum. 
"Lo serius? " Rara menyelidik.  Dia merasa ada yang sedang ditutupi oleh temannya ini.
Vino mengangguk.
Beberapa menit kemudian,  keduanya terdiam.
"Gue sekarang sadar,  Ra,  cinta emang nggak bisa dipaksakan. Gue sadar selama ini gue terlalu memaksakan cintanya Isna," Vino tersenyum getir.  Jujur, rasa sakit masih menyelimuti hatinya.  Akhirnya,  dia memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Isna walaupun usia pacaran mereka baru beberapa hari.  Bagi Vino buat apa hubungan  tanpa cinta.  Ya,  sebuah hubungan lantaran karena terpaksa akan tidak baik pada akhirnya.  Sesakit apa pun rasa sakit Vino,  cowok itu senang karena Isna mau jujur tentang perasaan yang hanya menganggap Vino sebagai teman,  meskipun mereka sempat berpacaran.
"Gue jadi nggak enak sama lo deh, Vin.  Emmm...  gue nggak ada maksud, " Rara menepuk bahu Vino lembut.
"Santai aja,  Ra. "
Rara membuka ransel tasnya lalu menyodorkan sebuah roti untuk Vino.
"Buat gue? " Vino tersenyum dan menerima pemberian roti itu.
Rara mengangguk.  "Orang yang baru sakit hati harus makan yang banyak,  biar bisa menerima kenyataan pahit,  Vin. "
Vino yang sedang makan roti dari gadis itu langsung menghentikan mengunyah roti itu dan tangannya lalu menjitak kepala Rara.  "Hobi lo ledekin gue mulu."
Rara menjulurkan lidahnya.  "Kan bener,  Vin."
Vino membenarkan perkataan Rara. "Lo kalau ngomong suka bener,  ya? " Vino mengeser duduknya lebih dekat lagi dengan gadis itu,  lalu merangkulnya.  "Gue pikir lo itu cewek yang judes,  menyebalkan,  tapi ternyata lo nggak seburuk yang gue kira. "
Rara merasa sangat canggung saat Vini merangkul bahunya.  Tapi,  dia masih bisa menetralkan rasa itu.  "Makanya jangan suka menilai orang dari sampulnya aja. "
"Iya,  deh,  Ra, " jawab Vino. 
Saat mereka asyik bercakap-cakap keduanya melihat Azar dan Isna bergandengan tangan erat sambil tersenyum bahagia.
"Azar tukang tikung tuh,  Vin! " seru Rara. Dia merasa tidak terima atas kelakuan Azar.  Gadis itu tidak menyangka Azar malah merebut Isna setelah Vino putus dengan Isna.
"Biarin aja,  Ra.  Lagian Isna juga udah lama suka  sama Azar.  Gue lah penghalang keduanya."
"Oke deh,  kalau gitu,  Vin. " Rara berdiri sambil mengendong tasnya.  "Gue mau ke kantin,  lo mau ikutan kagak? "
Vino menggeleng. "Lo aja,  gue mau balik aja. "
"Lo udah bimbingan lagi? " tanya Rara.
"Belum selesai gue revisiannya. "
"Kalau udah WA gue ya,  bimbingan bareng, " Rara melambaikan tangannya pada Vino yang langsung mendapat balasan lambaian tangan juga dari cowok itu.
"Siap."
****

Komento sa Aklat (87)

  • avatar
    Erna Wati

    mantap

    7d

      0
  • avatar
    asmidahnurshamidah

    sangat terhibur

    8d

      0
  • avatar
    Kurnia Adhi

    mantap

    29d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata