logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Didikan Ibu yang Keras

Suatu ketika, Ayah mengetahui keadaan kaki dan lenganku yang memar dan penuh bekas luka akibat kibasan sapu lidi yang melayang tanpa ampun. Kujelaskan bahwa aku baik-baik saja. Namun, Ayah tidak percaya, raut paniknya terpampang jelas. Segera Ayah mengobati lukaku, mengompresnya dengan air dingin. Sesekali aku menyeringis menahan sakit. Ibu yang melihat tindakan Ayah seperti tidak memperlihatkan raut penyesalan sama sekali. 
"Aku gak papa, Ayah. aku baik-baik aja kok." Sambil menahan sakit, aku mencoba meyakinkan Ayah.
"Tuh anaknya aja bilang gak papa," gertak Ibu.
"Kalau dia gak salah ya ga mungkin ibu pukul dia 'kan, Yah?" lanjutnya.
"Ibu cuma kasih sedikit pelajaran ke anak biar ke depannya gak kaya gitu lagi," ucap Ibu dengan nada tinggi.
"Tapi, gak gitu juga, Bu, cara didik anak," tampik ayah. Manik matanya melirik ke arah Ibu. Rautnya menyiratkan kekhawatiran terhadapku.
"Gak dengan kekerasan, apalagi Ibu sampe mukul dan Serra sampai banyak luka memar gitu." Dengan tenang Ayah memberitahu Ibu sambil mengoleskan krim untuk menghilangkan luka lebam.
“Jadi, Ayah nyalahin Ibu?" tanya Ibu sambil mendekati Ayah yang hampir selesai mengobati kakiku.
"Yah, coba Ayah didik sendiri anaknya. Tanya sendiri kenapa Ibu sampe mukul dia. Pasti Ayah juga sama keselnya kaya Ibu!" Nada bicaranya semakin tinggi. Sepertinya Ibu semakin kesal karena merasa tidak mendapat dukungan dari Ayah.
"Ibu bener kok, Yah. Ibu marah gara-gara nilaiku anjlok. Aku ga bisa ngerjain ujian dengan baik," jawabku sambil mencoba tersenyum lebar.
“Serra, keluar dulu, ya." Sudah ku duga Ayah akan menyuruhku keluar lagi di saat-saat seperti ini.
Aku pun bergegas ingin segera pergi. Namun, rasanya betis ini begitu berat hanya sekedar untuk bangun dari tempat duduk. Dibantu ayah, aku berdiri lalu pergi ke luar rumah. Di balik jendela ruang keluarga, aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
"Bu, Ibu gak nanya dulu sama Serra kenapa nilai dia bisa turun?" tanya Ayah penasaran.
"Ga perlu ditanya juga udah ketauan kok,Yah. Anak itu cuma males! Kerjanya cuma makan, tidur aja tiap hari. Kalau gak tidur ya nonton TV seharian," jelas Ibu penuh percaya diri.
Sesekali Ayah menghela napas. Lalu mencoba menjelaskan dengan tenang tanpa menyakiti perasaan Ibu.
"Kita boleh ngasih tau anak kalau memang salah, tapi tidak dengan kekerasan, Bu. Ayah yakin ada alasan lain kenapa nilai Serra bisa turun. Ngomong dulu baik-baik sama Serra. Kalau memang beberapa kali masih kaya gitu kita kasih tindankan tegas. Tapi sekali lagi Bu, ga perlu dengan mukul. Itu malah bikin anak semakin gak respect atau gak nurut sama kita lho, Bu." Aku berharap penjelasan Ayah bisa merubah pola pikir Ibu dan meluluhkan hatinya.
"Ya udahlah, Ibu paham ko. Ibu capek, mau istirahat dulu sebentar." Sepertinya Ibu tetap tidak terima dengan apa yang Ayah sampaikan.
****
Pada dasarnya, setiap anak menginginkan keluarganya harmonis. Setiap anak menginginkan kedua orang tuanya selalu memperhatikannya. Kebahagiaanku sebagai anak sebenarnya hanya ingin diperhatikan oleh kedua orang tua. Aku ingin didengarkan bukan hanya oleh Ayah, tapi juga oleh Ibu. Mungkin sebagai anak, akulah yang egois karena selalu menginginkan perhatian. Namun, ketika Ibu sudah mematahkan hatiku dengan kekerasan, saat itulah kebahagiaanku mulai sedikit demi sedikit terpatahkan. Sebenarnya aku tidak ingin menyalahkan didikan Ibu yang sangat keras. Karena aku juga tahu bahwa sikapnya yang keras kepadaku bukan murni karena kesalahannya dalam mendidik. 
Setiap orang tua pun pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Setiap orang tua pasti mempunyai cara masing-masing dalam mendidik putra dan putrinya. Begitu pun dengan orang tuaku. Cara Ayah dan Ibu dalam mendidik kami jelas berbeda, tapi punya tujuan yang sama. Ibu mendidikku dengan keras dan tegas agar aku menjadi anak yang mandiri. Meskipun aku seorang wanita tapi jangan melulu selalu bergantung pada orang. Ibu pernah mengatakan kalau perempuan pun bisa mandiri. Aku dididik tidak boleh cengeng, manja dan lemah. Ibu pernah mengatakan bahwa aku harus menjadi wanita kuat. Maksud Ibu memang sangat baik, tidak ada yang salah dengan apa yang Ibu katakan. Namun, di sisi lain aku merasa tertekan dengan tindakan Ibu. Setiap kesalahan yang aku lakukan pasti ada konsekuensinya. Tidak main-main, sapu lidi adalah alat andalannya untuk menghukumku. Kakiku sering memar karena kibasannya. Tidak puas sampai di situ, terkadang Ibu mengunci aku di kamar dan tidak diberi makanan apapun seharian. Semua itu mulai terbiasa bagiku meski otakku berbicara kalau aku benci diperlakukan seperti ini. 
Sementara itu, Ayah mendidik kami dengan cara yang berbeda. Lembut tapi tetap tegas. Bagiku, Ayah adalah laki-laki terbaik yang aku miliki. Sekalipun, belum pernah Ayah membentak apalagi sampai memukul. Beliau lebih mengutamakan komunikasi dengan anak-anaknya. Jika ada konflik, beliau selalu memanggil kami duduk dan membicarakannya sambil memberikan nasihat-nasihat yang menyejukkan hati. Aku belajar nilai-nilai demokrasi darinya. Ayah memang membebaskan anak-anaknya untuk berpendapat, akan tetapi masih dalam batasan-batasan tertentu. Cara tersebut rupanya lebih cocok denganku. Aku lebih banyak mendengarkan Ayah daripada Ibu karena ia tidak mengijinkan kami bicara apalagi sampai menentang keinginannya. Jika Ibu sudah bicara meskipun kesalahan bukan ada pada kami, tetap kami harus diam. Menurutnya, anak harus selalu mendengarkan apa yang orang tua sampaikan. Tidak boleh ada sanggahan apapun saat orang tua sedang marah pada kami, anak-anaknya. Baginya, orang tua selalu benar dan anak ketika salah sudah pasti salah. Namun, meski keras Ibu mendidik kami, ada hikmah dan pelajaran yang kudapatkan. 
****
Sudah sekitar 7 bulan semenjak ibu minta cerai. Ayah kemudian jadi jarang berlama-lama di rumah. Beliau tidak mau berpisah dari ibu karena memikirkan nasib kami, anak-anaknya. Ayah pun sebenarnya masih menyayangi ibu. Untuk menghindari konflik dengan ibu semakin besar, ayah kemudian memutuskan merantau ke Jakarta. Meninggalkan pekerjaan di sini dan memilih membuka kedai jamu di Rawamangun. Sebulan sekali ayah pulang dan hanya 4 hari di rumah. Waktu yang sangat singkat itu ayah manfaatkan sebaik mungkin dengan keluarga. Akupun memanfaatkan momen tersebut untuk sepuasnya curhat dengan ayah. Hanya empat atau lima hari saja aku bisa bicara tatap muka dengannya. Sisanya, hanya bisa lewat telepon. 
Saat Ayah masih stand bye di rumah, aku selalu bercerita apapun kepadanya. Bahkan hal kecil yang mungkin menurut orang tua tidak penting selalu aku sampaikan. Biasanya, kami duduk santai di kursi teras samping rumah atau di gazebo sambil meneguk teh manis. Ayah berusaha mendengar semua ceritaku. Namun sekarang, sulit sekali komunikasi karena Ayah di luar kota dan aku belum memiliki ponsel saat itu. Komunikasi kami sangat terbatas. Aku memang terbiasa melampiaskan semua isi hatiku kepada Ayah. Saat komunikasi kami mulai jarang, aku alihkan semua isi hati ke buku diary. Aku tuliskan semua hal yang aku rasakan. Meski rasanya tetap saja berbeda. Ketika harus meluapkan semuanya secara langsung kepada ayah, hatiku terasa lega. Aku yang masih sekolah menengah pertama, sedikit demi sedikit mulai kehilangan perhatian seorang ayah.

Komento sa Aklat (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata