logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

SERRALOVA

SERRALOVA

Vina Rosse


Suara Hati

Aku pernah benci terlahir di keluarga ini. Andai waktu bisa berputar dan andai Tuhan mengijinkan untuk memilih, aku tidak mau memilih untuk terlahir sebagai anak Ibu dan Ayah. Rasanya aku ingin menjauh, berlari, dan tak mau kembali ke sini. Namun, semua pikiran itu selalu ku tepis lagi, dan lagi. Kubuang semua niat burukku, sesaat memejamkan mata, menghela napas dan merenung, lalu memohon ampun.
Siapa aku berhak marah pada Tuhan? Aku hanya manusia kecil dan hina. Bahkan aku tidak berhak memilih mau terlahir dari keluarga mana dan mau menjadi apa sebelumnya. Aku tahu, Allah punya alasan tersendiri atas takdir yang Ia berikan padaku.
Di ujung ruang, berselimutkan sayatan dingin angin malam, aku termangu merenungi diri. Seketika terbayang wajah seorang Ibu. Paras yang seolah mencerminkan kebahagiaan, kini terasa seperti menghancurkan jiwa ini berkeping-keping.
Masa remaja yang seharusnya dihabiskan untuk hari-hari yang menyenangkan bersama keluarga dan kawan-kawan, justru berbeda terbalik denganku. Diri ini lebih suka menghabiskan waktu sendiri dan tidak terlalu sering bergaul dengan orang. Di sekolah pun aku tidak punya banyak teman, dari satu kelas, terhitung hanya satu orang yang dekat denganku. Dia adalah teman sebangkuku. Bahkan, dari sekian banyak siswa di sekolah, hanya hitungan jari yang dekat. Bukan mereka yang menjauh, tapi aku yang tidak suka mendekati mereka. Aku lebih banyak diam dibanding teman-teman yang lain. Aku yang saat itu masih SMP. Kondisi mental dan kepribadianku tanpa terasa mulai terganggu. Tak seharusnya aku mengalami semua ini. Namun, inilah kehidupanku.
****
Setiap hari, di rumah ini. Yang ku dengar hanya teriakkan Ibu memaki Ayah. Terkadang sadang saat emosinya memuncak, Ibu melempar prabotan rumah di hadapan Ayah. Di saat-saat seperti itu, Ayah hanya terdiam merelakan telinganya berdengung mendengar cacian Ibu. Parahnya lagi, aku juga seringkali turut menjadi korban kemarahannya. Bukan hanya sekedar marah, sumpah serapah pun ia keluarkan padaku. Sama seperti Ayah, aku hanya bisa diam tanpa membalas sedikitpun murka Ibu. Apa yang Ibu lakukan pada aku dan Ayah tentu sangat menyakitkan. Saat emosi Ibu sedang memuncak biasanya Ayah menyuruku masuk kamar atau pergi ke luar rumah.
"Ibu gak pernah memikirkan perasaanku, padahal aku anak perempuan satu-satunya," gumamku dalam hati.
"Neng, pergi dulu ya keluar, main gih sama temen-temen." Ayah menyuruhku keluar dan berusaha menenangkanku.
"Tapi, Yah ...?" Namun aku berusaha menolak.
"Udah gak papa, gak usah dipikirin, Ibu cuma marah sebentar. Mungkin karena capek. Serra keluar dulu ya. Ayah mau bicara dulu sama Ibu." Rupanya Ayah tau apa yang aku pikirkan.
Akupun pergi ke teras samping rumah sambil membawa walkman kesayangan. Ku rebahkan badan di gazebo bambu yang dibuat sendiri oleh Ayah. Sayup angin membelai rambutku yang tergerai. Kicau burung terdengar memecah suasana hening siang itu. Kupu-kupu berterbangan, sesekali hinggap pada kuncup bunga mawar  yang tertata rapih di pot-pot batu dan bunga petunia yang menggantung mengelilingi gazebo. Ku kaitkan headset di telinga, lalu ku putar lagu "Shaka-Ibu" dan sesaat membiarkan diri ini tenggelam pada lirik-lirik lagu yang ku dengarkan.
IBU
by. Shaka
Sebening tetesan embun pagi
Secerah sinarnya mentari
Bila ku tatap wajahmu, Ibu
Ada kehangatan di dalam hatiku
Air wudhu selalu membasahimu
Ayat suci selalu di kumandangkan
Suara lembut penuh keluh dan kesah
Berdoa untuk putra putrinya
reff
Oh ibuku... engkaulah wanita
Yang ku cinta selama hidupku
Maafkan anakmu bila ada salah
Pengorbananmu tanpa balas jasa
Ya Allah...
Ampuni dosanya
Sayangilah seperti menyayangiku
Berilah ia kebahagiaan
Di dunia juga di aherat
Kupandang matahari yang masih terik. Sorotnya tajam dan membuat jemariku segera menghalangi silaunya.
"Hai, matahari. Apakah keluarga lain sama halnya dengan keluargaku yang selalu seperti ini? Rasanya aku ingin tahu se harmonis apa keluarga lain," celotehku.
Siang berganti malam, jam dinding di kamar berdenting memecah keheningan. Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mata ini tak mau terpejam. Entah karena memang enggan terlelap atau karena telingaku bising akan cekcok antara manusia paruh baya. Ya, siapa lagi kalau bukan orang tuaku. Apakah orang dewasa selalu memecahkan masalah dengan bertengkar? Entahlah. Seolah terbiasa dengan adu mulut mereka, aku hanya diam mengintip dari celah pintu kamar. Batinku meronta seolah ingin melerai mereka. Namun, ku urungkan kembali niatku itu. Sampai suatu ketika aku mendengar Ibu berteriak meminta cerai dari Ayah. Tampak Ayah terkejut mendengar perkataan Ibu. Di sisi lain, aku hanya terdiam melihat semua kejadian ini. Tiba-tiba Ibu menghampiriku di balik pintu kamar. Ia memintaku untuk ikut pergi dengan Ayah. Kejam sekali pikirku saat itu, bahkan Ibu tidak mau meminta aku untuk tinggal.  
"Bu, pikirkan lagi perkataan Ibu tadi. Istighfar, Bu. Berpisah tidak akan menyelesaikan masalah. Coba pikirkan juga tentang anak kita. Bagaimana nasib mereka nanti?" Ayah berusaha membujuk Ibu.
"Udahlah, Ibu ga mau denger Ayah ngomong lagi!" Teriak Ibu dengan penuh emosi.
Ayah terlihat sangat kecewa dengan perlakuan dan keputusan Ibu. Sesekali aku mendengar hela napasnya. Aku merasa kasian dengan Ayah. Pasti pikirannya saat ini berkecamuk. Setelah kejadian itu, Ayah memutuskan pergi dari rumah. Itulah awal dari kebahagiaanku yang mulai menghilang.
                                           ***
Aku terlahir dari keluarga berkecukupan. Ayahku seorang pebisnis. Di wilayah Cimahi-Bandung, Ayah membuka toko property. Selain itu, di kawasan Lembang-Bandung, ada rumah makan khas sunda yang Ayah kembangkan saat masih belum punya anak. Bukan hanya itu, di depan rumah kami Ayah juga membuat showroom jual beli mobil second.
Awalnya, bisnis Ayah berjalan dengan lancar. Namun, semua itu akhirnya harus kami jual karena untuk membiayai kakakku selama sakit. Satu persatu, usaha yang selama ini ayah kembangkan ia jual.
Kami mulai kesulitan dalam hal keuangan. Ayah memutuskan merantau ke Jakarta. Beliau membuka kedai jamu tradisional. Sementara Ibu tidak bekerja. Sejak saat itulah emosi Ibu mulai kurang terkontrol.
Setiap hari minggu Ibu menyuruhku pergi ke wartel, menelpon Ayah untuk segera mengirimkan uang. Aku sangat bahagia tiap kali Ibu menyuruhku ke tempat itu. Bukan apa-apa, karena kebahagiaanku saat itu hanyalah  bisa berbicara dengan Ayah. Terkadang air mataku pecah tiap kali mendengar suaranya. Meski hanya beberapa menit, tak ingin ku sia-siakan waktu singkat itu. Segera aku katakan pesan Ibu dan sesekali aku menceritakan kejadian apa saja yang terjadi di rumah selama tidak ada ayah.  Terkadang, aku juga menceritakan kegiatanku selama di sekolah.  Selama Ayah pergi merantau, wartel adalah jalan satu-satunya tempatku terhubung dengannya. Aku juga sering menyisakan sisa koin jajan untuk aku tabung sendiri kalau-kalau aku ingin curhat dengan Ayah. Selama ini, beliau adalah laki-laki paling pengertian yang aku punya. Ayah adalah orang yang paling mengerti anak-anaknya.  Namun, dari tiga anak Ibu dan Ayah, hanya aku yang paling terbuka kepada Ayah. Hal apapun, selalu aku ceritakan padanya.
"Ayah, kapan pulang? 'kan udah dua bulan Ayah di sana. Biasanya sebulan sekali Ayah pulang, 'kan?  kenapa sekarang belum juga balik ke sini?" ucapku sambil terbata-bata menahan tangis.
"Beberapa hari lagi Ayah pulang. Serra sama Ibu sehat?" tanya Ayah, mencoba mengalihkan suasana.
"Alhamdulillah sehat, Ayah gimana di sana?" tanyaku lagi.
"Ayah juga sehat, Nak ... gimana sekolahnya? katanya minggu kemaren ujian?" Ayah terdengar antusias dengan pertanyaan itu.
"Eumm ... iya kemaren abis UAS, Yah. Tapiii ... maaf ya Ayah, kayaknya nilaiku jelek. Semester sekarang nilaiku turun deh Yah," jawabku dengan perasaan sedih.
"Ya udah gak papa, nanti belajar lebih giat lagi. Sebentar lagi Ayah pulang, Teteh baik-baik di rumah ya." Entah kenapa perkataannya cukup membuat hatiku tenang.
"Ya udah kalau gitu aku tutup telponnya ya, Yah. Ayah juga jaga kesehatan di sana. Da Ayah ... Assalamualaikum." Ku tutup telepon berharap masih bisa lebih lama berbincang dengannya.
Semenjak Ayah merantau, keadaan rumah begitu sepi. Kehangatan mulai menghilang dari rumahku. Setiap hari ada saja sesuatu yang Ibu salahkan. Aku yang sedang ujian akhir semester saat itu mulai tidak fokus. Materi yang sudah kuhafal dan ku pelajari semuanya hilang begitu saja. Pikiranku bercabang antara ujian sekolah dan keadaan di rumah. Alhasil hampir semua nilai pelajaranku turun. Padahal, di kelas satu aku mendapatkan peringkat kedua. Aku pasrah dengan nilaiku yang sekarang. Aku juga pasrah dengan reaksi Ibu nanti saat menerima nilai raporku. Mungkin aku akan mendapatkan murka Ibu lagi. Namun, rasanya aku sudah tidak peduli.
****
Benar saja, saat pembagian rapor. Ibu terkejut melihat hampir semua nilai pelajaranku turun. Bahkan aku tidak mendapat peringkat sama sekali. Wali kelasku pun heran, beliau lalu memanggil orang tuaku untuk segera menemuinya. Untunglah saat itu Ayah sudah pulang. Jadi, Ayahlah yang menemui wali kelasku.
Saat ayah tidak ada di rumah, Ibu kerap mencubit lenganku dan memukuliku dengan sapu lidi. Ibu sangat marah mengetahui nilai ku turun. Sedih dan sakitnya hati ini. Kenapa Ibu hanya marah dan tidak pernah menanyakan alasan nilai ku buruk. Aku hanya mematung mendengar kemarahan Ibu dan pergi ke kamar. Mengunci pintu rapat-rapat, lalu menangis sejadi-jadinya. Aku selalu menyembunyikan semua ini dari Ayah. Perlahan pikiranku mulai kacau, karena hal tersebut terjadi hampir setiap hari. Aku mulai terjebak ke dalam pikiran yang negatif. Aku benci keluarga ini, aku benci rumah ini, aku benci keadaan ini, dan aku mulai benci dengan diriku sendiri. 
Kejenuhan juga rupanya mulai menggerogoti otakku. Rumah bukan lagi tempat tinggal ternyaman. Kini, rumah bagiku sangat membosankan dan menyeramkan. Bosan karena karena tidak ada canda dan tawa seperti dulu. Menyeramkan karena yang ada sekarang hanya aura kemarahan Ibu yang terpancar di setiap sudut ruang dan waktu. Ketika di rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Bahkan saat jam makan siang, atau malam pun aku tidak keluar. Ibu pun sekarang sudah mulai jarang memasak untuk kami.  Ada perasaan tidak nyaman saat aku berdekatan dengan Ibu.

Komento sa Aklat (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata