logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Rencana licik ibu dan anak

Liany baru saja tiba dari kantor bertemu dengan Karinda sekretarisnya yang sedang membantunya untuk mencarikan perguruan tinggi baginya. Sementara Satria menelponnya untuk mengabarkan jika dia akan lembur malam ini di Sparkling. Sekotak brownies dari sebuah toko terkenal diletakkannya di atas meja dapur dan mencari Lilis pengasuhnya.
“Rangga tidur yaa, Lis? Sini kita makan kue yuuk,” ajak Liany ketika Lilis sedang merapikan perlengkapan Rangga.
“Iya, Bu, kayaknya badan Rangga agak hangat deh, Bu,” lapor Lilis pada majikannya. Liany menyentuh dahi Rangga dan memeriksa suhu tubuh putranya.
“Mungkin karena efek imunisasi terakhinya kali ya, Lis. Bi Inah mana?” Liany mengecup lembut pipi Rangga, bayi itu sedikit menggeliat.
“Bi Inah pulang, mau bersih-bersih dulu katanya, Non Myla dan Tuan Rudy masih lama pulang dari luar negeri.” LIlis membuatkan Liany secangkir teh untuk menemaninya bersantap brownies yang dibelinya tadi. Liany mempersilakan duduk di depannya, Lilis mengamati kue itu sejenak, digigitnya sehingga lidahnya mengecap rasa lezat yang baru baginya.
“Enaaaak banget, Buuuu… yaa ampuun, baru kali ini Lilis makan kue yang gak bikin seret di leher Lilis,” puji Lilis yang membuat Liany tersenyum. Dulu dia hanya mampu menahan air liurnya ketika hamil muda Rangga, betapa Liany mengidamkan sekotak brownies itu tetapi Eve tak mau membaginya. Untuk membelinya Liany berpikir berkali-kali karena uang kiriman mendiang Adam dipegang oleh mantan ibu mertuanya. Kini Liany berbagi dengan Lilis dan rasanya nikmat sekali.
“Lilis, kamu lulusan apa?” tanya Liany setelah menyesap teh di cangkirnya.
“Lilis dulu sempat sekolah sampai kelas satu SMU, Bu, tetapi abah Lilis meninggal jadi Lilis harus bantu Emak cari duit,” tutur Lilis sambil menghabiskan potongan terakhir kuenya.
“Kamu mau lanjut sekolah lagi gak?” Liany memikirkan sesaat pendidikan Lilis, sebenarnya dia gadis yang pintar dan bersemangat tinggi.
“Gak aah, Bu, nanti yang jagain Rangga siapa? Apalagi Ibu sendiri mau lanjutkan kuliah dan sekarang sudah jadi pemilik perusahaan besar, Ibu pasti kerepotan ‘kan?” tolak LIlis halus, dia sudah bersyukur dengan pekerjaannya sekarang.
“Sayang lhoo, Lis, kamu masih muda, saya aja yang udah punya anak masih mau sekolah lagi,” bujuk Liany lagi. Sejenak Lilis berpikir mempertimbangkan tawaran Liany yang tak semua pekerja seperti dirinya bisa dapat kesempatan itu.
“Lilis berterima kasih sekali, Bu, tetapi cukuplah Lilis kerja sama Ibu, bisa kirim uang ke Emak aja Lilis udah seneng banget, Bu. Lilis Cuma mau mengabdi di keluarga ini, selama yang Lilis bisa.” Lilis menatap Liany dengan penuh haru membuat Liany menjadi semakin tersentuh dengan ketulusan Lilis.
Obrolan mereka pun terputus karena suara deru mobil Satria yang tiba di garasi. Liany melirik jam dinding, dia bangkit dari tempat duduknya dan keluar menyambut suaminya yang tadi menyatakan akan lembur di kantor.
“Kok pulangnya cepat, tadi katanya mau lembur ‘kan?” tanya Liany yang mengambil tas kerja Satria, suaminya itu meraih pinggang istrinya dan mengecup dahi Liany dengan mesra.
“Maaf, Lia, mendadak aku harus keluar kota, ada pertemuan penting dengan Bimo di sana,” jawab Satria sambil melonggarkan dasinya.
“Kamu gak apa-apa ‘kan aku tinggal? Yaa paling dua hari saja ini.” Satria tak langsung ke kamarnya tetapi masuk ke kamar Rangga, dilihatnya putranya itu sedang tertidur dia urung untuk menggendongnya.
“Yaah … Jagoan Papa lagi bobo, padahal Papa mau berangkat nih, Papa bakal kangen sama Rangga,” bisik Satria sambil membelai pipi Rangga dengan punggung jemarinya.
“Kayaknya badan Rangga agak hangat yaa?” tanya Satria pada istrinya yang mengawasi suaminya di dekat pintu kamar.
“Mungkin karena efek imunisasi, tadi pagi, kamu tidak usah khawatir, Rangga akan baik-baik saja, kalau ada apa-apa aku akan bawa dia ke dokter segera.”
“Huumh, baiklah, jaga dia baik-baik,” ujar Satria dan mendaratkan kecupan kecil di kepala Rangga dengan penuh kasih sayang.
“Bantu aku berkemas yaa,” pinta Satria sambil kembali meraih pinggang Liany menuju kamar mereka.
“Mungkin aku memang harus pertimbangkan kembali untuk membelikanmu mobil dan mencari seorang sopir, jadi kalau kamu mau kemana-mana mudah jadinya.” Satria membuka satu persatu kancing kemejanya sementara Liany mempersiapkan baju ganti suaminya dan baju yang akan dikemasnya ke dalam tas pakaian Satria.
“Nanti saja, aku belum butuh-butuh amat, masih ada keperluan lain yang lebih penting,” jawab Liany. Segala kemewahan yang dilimpahkan Satria kepadanya tak membuatnya berubah atau gelap mata.
“Ingat yaa, kamu itu Ibu komisaris Karisma Developer sekarang, masa sih Ibu Komisaris pake taksi online kemana-mana?” Satria paham jika Liany adalah perempuan yang sederhana dan tidak ingin terlihat mewah tetapi Satria berpikir Liany kini harus menyesuaikan dirinya.
“Iyaaa Sayangku, iyaaa nanti … nanti kamu yang cari mobilnya, aku gak ngerti soal mobil. Kamu mandi dulu deeh!” seru Liany dari arah kamar mandi yang tengah menyiapkan air hangat di bathup seperti yang diminta Satria. Menurutnya berendam di air hangat sepulang kerja mampu meredakan rasa lelah dan membuatnya rileks.
Satria menarik garis bibirnya dan terlintas sesuatu di dalam pikirannya. Tangannya menarik handuk segera dan menghadang istrinya yang akan keluar.
“Eeeh … eeehh … mau ngapain ini?” Liany terkejut ketika Satria menahannya kemudian mengangkat tubuhnya ala bridal style dan menceburkannya ke dalam bath up sehingga membuat daster yang dikenakannya basah mencetak lekuk tubuhnya, betisnya yang tersingkap membuat Satria semakin bergairah.
“I’m really in love with you, Liany, you make me crazy, Beib,” desis Satria yang ikut masuk ke dalam bathup.
“Iyaaa… kamu gila banget! Kamu sampai rendam aku kayak cucian gini!” seru Liany yang melihat ke seluruh dasternya yang basah kuyup. Satria tertawa kecil, dan mulai mendekati istrinya.
“Aku akan keluar kota, aku bakal kangen banget sama kamu, jadi aku mau bersama kamu saat ini,” bisik Satria di telinga Liany, hangatnya air membuat keduanya menjadi terpercik gelora asmara. Tangan Satria mulai bekerja dan Liany menyambut hasrat suaminya dengan mesra membara.

Eve menyodorkan amplop kepada dua orang laki-laki di depannya, mereka mengaku kepada Eve jika mampu membantunya mencari jejak Liany di manapun perempuan itu kini berada. Amplop coklat itu tebal tanda harga yang dibayar Eve atas informasi itu tidak main-main jumlahnya. Salah seorang dari lelaki itu mengambil dan mengintip isinya lalu tersenyum puas.
“Kami jamin dalam minggu ini Anda sudah bisa mendapatkan informasi yang Anda inginkan,” ujar laki-laki itu dengan penuh percaya diri.
“Jangan membuat saya kecewa, jika kalian berhasil saya akan membayar sisanya,” ucap Eve penuh penekanan. Dia memasang kacamatanya dan meninggalkan café itu sambil menaiki mobil sedan keluaran terbaru. Suaminya memang orang kaya, sehingga mampu memenuhi kemauan Eve apa saja. Namun, tuntutan mertuanya yang ingin segera menimang cucu dari Yuda dan Eve membuat Eve pusing.
Eve belum siap untuk hamil secepat itu, dia masih ingin bersenang-senang dengan kemewahan yang dimiliki keluarga Yuda. Baru setengah tahun tetapi keluarga suaminya menuntut untuk cepat hamil, Eve merasa kebebasannya akan terenggut. Mungkin memang bayi itu belum miliknya karena tanpa kontrasepsi pun Eve belum bisa hamil juga sehingga mertuanya menuduhnya mandul.
Kini dia merasa Yuda sedang bermain api ditambah mertuanya yang mulai tak peduli kepadanya, Eve merasa hampir gila. Lalu kini ibunya meminta dirinya mencari Liany mantan iparnya yang buluk, kampungan dan hanya seorang perempuan miskin sebatang kara.
“Awas yaa kalau ketemu dan dia mau persulit aku mengambil anaknya, kuhabisi sekalian dia,” geram Eve sambil mencengkram setir mobilnya. Diarahkan laju mobilnya ke jalan menuju rumah ibunya untuk pulang, berkali-kali dia menelpon suaminya tetapi Yuda tak juga menerima panggilannya.
“Kalau Yuda berani ketemu lagi sama pelakor itu … awas saja, bukan Eve kalau gak bertindak keras!” ancam Eve sambil melemparkan ponselnya ke kursi mobil.

Perempuan muda yang berpenampilan modis itu masuk ke dalam dengan wajah yang tertekuk lalu menghempaskan bokongnya di sofa yang empuk.
“Gimana pertemuan kamu dengan orang yang bisa mencari Liany?” tanya Ibu Witri yang muncul dari ruang tengah.
“Lancar, dalam minggu ini kita bisa tahu di mana Liany janda sial itu berada,” jawab Eve pendek. Matanya terpejam sambil bersandar di bahu sofa.
“Apa rencana Ibu kalau Liany udah ketemu? Emang susah cari perempuan kampung itu, dia gak pake sosial media, bikin repot aja,” gerutu Eve lagi.
“Ibu bakal minta perwalian untuk anaknya, toh dia cuma perempuan miskin, bisa apa dia buat hidupi anaknya? Kita punya jaminan laba keuntungan dari mendiang ayahnya, cukup untuk dia sampai sekolah nanti. Kalau dia gak mau kita rebut paksa dan ancam pake pengacara!” seru Ibu Witri berapi-api. Eve tersenyum sinis mendengar rencana ibunya, apa yang diinginkan ibunya selama ini bisa terwujud, apalagi hanya menghadapi seorang perempuan lemah seperti Liany.
“Eh Bu, ngomong-ngomong Liany punya anak laki-laki atau perempuan sih? Kita kan gak tahu apa bayi itu lahir selamat atau tidak…” Eve menatap ibunya dengan penuh tanda tanya. Ibu Witri pun berpikir sejenak lalu mengedikkan bahunya.
“Itulah gunanya orang-orang itu kita bayar ‘kan? Lagian kalau memang anaknya gak ada yaa kita minta lah sama Liany pengalihan profit itu atas nama kita.” Ibu Witri begitu percaya diri atas rencananya itu. Lalu keduanya tertawa merasa sudah menang sebelum berperang.


Satria berangkat selepas magrib dengan mengendarai mobilnya sendiri, Liany melepasnya hingga di halaman rumah. Setahu Liany, Satria memang rutin untuk memeriksa langsung Sparkling dalam kurun waktu tertentu. Setelah mobil Satria menghilang di ujung jalan Liany menutup pintu dan menghampiri kamar Rangga. Bayi itu terdengar menangis dan Liany segera masuk untuk melihatnya.
“Rangga kenapa, Lis?” tanya Liany yang melihat Rangga gelisah dalam gendongan Lilis.
“Demam Den Rangga sepertinya semakin naik, Bu. Kita harus bagaimana?” Lilis menyerahkan Rangga ke dalam gendongan Liany.
“Biar kita kompres dulu, besok kita bawa ke dokter,” jawab Liany menahan kecemasannya. Rangga menjadi sangat rewel dan cengeng, Liany dan Lilis bergantian untuk menggendongnya. Sejam kemudian ponsel Liany berdering, nama suaminya tertera di layar.
“Yaa Sat, ada apa?” tanya Liany di sela tangisan Rangga.
“Perasaanku gak enak mikir ke rumah terus, Rangga kenapa menangis?” jawab Satria yang menepi di dalan untuk menelpon istrinya.
“Rangga demam, badannya panas sekali, aku lagi kompres dia, jadinya dia rewel dan menangis terus,” ujar Liany sambil berusaha membujuk Rangga agar mau tidur dalam gendongannya.
“Aku pulang sekarang!” seru Satria, tanpa menunggu jawaban Liany, dia memutar balik mobilnya dan membatalkan sementara pertemuannya dengan Bimo.
“Papa pulang sekarang, kamu tunggu yaa, Nak,” gumam Satria sambil melajukan mobilnya dengan cepat.

Komento sa Aklat (253)

  • avatar
    KusumaMutmainnah Ningtyas

    ceritanya sungguh bagus smpe buat nangis, dan ketawa krn kisahnya😁

    24/01/2022

      0
  • avatar
    FonatabaSiphora Nelly marline

    bagus banget ceritanya kak.. please ada lanjutannya dong semoga Tante Katrin gak meninggal amin

    16/01/2022

      1
  • avatar
    Devi Damayanti

    novel yang sangat baik dan berkualitas penuh arti dalam kehidupannya rumah tangga yang baik juga banyak rintangan dan halangan dari mertua dan adik ipar yang sama-sama ingin menguasai harta yang bukan miliknya, dan kita bisa ambil hikmahnya dari novel tentang pengorbanan seorang istri untuk suami.

    12/01/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata