logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Lilis Nyasar!!

Sepasang pengantin baru itu berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar mereka. Liany masih memakai gaun pengantinnya hanya riasan rambutnya saja yang dilepasnya. Satria pun hanya memakai kemeja sementara jas-nya sudah disampirkannya di bahu kursi. Mereka berpegangan tangan dengan erat, seulas senyum tipis penuh kebahagiaan tersungging dari bibir keduanya.
“Aku tidak menyangka kita benar-benar sudah sampai di sini, butuh sekian bulan untuk mengetuk pintu hatimu, Lia. Syukurnya Rangga berpihak padaku dari awal, aaahh … great job my Boy!” seru Satria dengan bahagianya. Liany hanya tertawa kecil mendengar penuturan suaminya.
Mereka berbalik bersamaan dan saling berhadapan, Satria menarik tangan Liany dan mengecup punggung jemari Liany dengan lembut.
“Terima kasih karena telah menjadi bagian dari hidupku, aku merasa beruntung memilikimu,” ujar Satria masih memandangi wajah Liany.
“Terima kasih juga karena kau tak lelah berjuang untukku dan Rangga,” ucap Liany lirih.
“Katakan kemana kau ingin berbulan madu?” tanya Satria dengan senyum jenakanya.
“Aku tidak kepikiran hendak kemana karena Tante ehm maksudku, mama saat ini sedang sakit jadi kurasa kita tidak perlu kemana-mana.”
“Ayolah, aku ingin merayakan cinta kita, hmmm… baiklah tak perlu jauh-jauh, kita menginap di hotel saja dua atau tiga malam, Lilis dan Rangga juga ikut,” bujuk Satria lagi. Sesaat Liany berpikir tawaran Satria, dia masih mempertimbangkan kondisi Tante Katrin yang masih sakit.
“Setelah ketegangan ini, aku ingin refreshing sejenak, apa kau tahu jantungku hampir meledak saat mengucapkan ijab kabul? Rasanya amazing!” Satria menghembuskan napasnya berat tetapi penuh dengan kelegaan. Melihat suaminya yang seakan habis pulang berperang dan selamat Liany tersenyum kecil.
“Baiklah, sepertinya kau memang butuh penyegaran, tetapi kita tidak usah lama-lama ya, aku ingin menemani Tante Katrin di rumah sakit. Menjaga dan merawatnya sebisaku.” Liany mengusap pipi Satria dengan lembut.
“Yesss … baik, kita tidak akan lama, aku akan lakukan reservasi dan sore ini kita pindah ke hotel!” seru Satria. Lelaki muda itu bangkit dari tidurnya hendak mencari ponselnya. Namun, tautan tangannya tertahan oleh istrinya. Satria menoleh dan merasa jika tangannya yang ditahan Liany adalah kode baginya untuk tidak buru-buru pergi dari sisinya. Satria menaikkan alisnya sambil tersenyum nakal lalu kembali merebahkan dirinya di atas Liany.
“Apa kau ingin melakukannya sekarang?”bisik Satria sambil mengelus pipi Liany dengan punggung jemarinya. Pipi Liany bersemu merah, dia mengelak ketika wajah Satria menyasar ke wajahnya.
“Ti-tidak … tidak sekarang,,” ujar Liany terbata, matanya terpejam rapat lalu menggigit bibirnya salah tingkah. Satria tersenyum dan mengecup pipi Liany dengan lembut kemudian dia menarik dirinya dari atas tubuh Liany.
“Aku akan buat reservasi hotel, setelah itu kamu, Rangga dan Lilis akan kubawa pindah ke rumahku.” Satria mengambil ponselnya dan mulai menelpon beberapa orang. Liany sendiri memilih untuk mengganti bajunya, Satria yang berdiri di dekat pintu kamar sekilas melirik ke arah Liany. Siluet bayangannya di balik tirai terlihat sedang melepas gaunnya satu persatu, Satria yang sambil mengobrol di ponsel menikmati pemandangan itu. Lelaki itu tak bisa membandingkan istrinya dengan perempuan manapun yang pernah tidur dengannya.
Walaupun Liany seorang janda tetapi dia menjaga harga diri dan kehormatannya dengan baik. Terlepas istrinya yang hampir berada di atas ranjang Om Rudy, Satria tidak mempermasalahkan itu. Liany memang perempuan yang layak untuk mendapatkan perjuangannya. Bibir Satria melengkung ketika siluet Liany menunjukkan jika perempuan itu sedang mengikat baju kimononya. Liany menyibak tirai, lagi pipinya merona memerah karena ternyata aktifitasnya diperhatikan oleh Satria.
“Dengan sikapmu yang malu-malu seperti itu membuatku ingin segera memboyongmu ke hotel,” ujar Satria dengan suara pelan.
“Apaan sih ….” Liany mengelak lagi ketika Satria hendak memeluknya.
“Ganti baju dulu sana,” ujar Liany sambil mendorong Satria menjauh. Suaminya itu hanya terkekeh dan mengambil kopernya di sudut kamar Liany.
“Asal kamu tahu saja yaa, aku tuh suka kalau gak pakai baju di dalam kamar,” goda Satria lagi. Dia berdiri menghadap Liany sambil membuka kancing bajunya satu persatu. Kemeja slim fit-nya itu hanya digulungnya begitu saja, Satria memamerkan bentuk tubuhnya yang atletis dengan perut rata tercetak kotak-kotak. Liany hanya melirik sedikit dan memalingkan wajahnya. Dulu dengan mendiang Adam dia tidak terlalu salah tingkah seperti ini, di hadapan Satria, Liany merasa seperti anak perawan yang belum pernah terjamah.
“A-aku mau melihat Rangga dulu dan memberitahukan Lilis jika kita akan menginap di hotel dua atau tiga malam ini.” Liany segera meninggalkan kamar dan terdengar suaranya yang memanggil Lilis. Kembali Satria tertawa melihat tingkah Liany yang masih kaku di depannya.


Satria memesan dua kamar di hotel, mereka pastinya turut membawa Lilis yang akan menjaga Rangga. Gadis muda sangat senang karena majikannya sebelumnya belum pernah mengajaknya turut serta. Dengan demikian Liany harus berusaha ekstra untuk menjelaskan cara keluar masuk dari kamar yang menggunakan kartu itu. Satria sampai gemas melihat kepolosan Lilis dan tingkah noraknya yang terkagum-kagum dengan suasana hotel yang sangat bagus dan menawan.
“Ingat ya, Lis, kamu di sini kerja, bukan ikutan liburan, kamu harus perhatikan anak saya sebaik mungkin, jaga dia dengan nyawa kamu!” seru Satria dengan kalimat yang sama berulang kali.
“Iya, Tuan, Lilis udah hapal, popoknya eeh pokoknya Lilis akan jaga Den Rangga dengan nyawa Lilis,” jawab gadis itu dengan penuh percaya diri. Lilis masih keponakan asisten rumah tangga Tante Katrin yang baru tiba dari desa. Dulu dia bekerja sebagai asisten rumah tangga seorang juragan di desanya tetapi berhenti karena Lilis tidak kuat dengan pekerjaan yang nyaris dua puluh empat jam dikerjakannya. Bi Asih menjamin jika Lilis adalah anak yang baik, jujur tetapi hanya saja sedikit telmi atau telat mikir.
Sikap Lilis yang ceria, sopan membuat Liany menyukainya terlebih dia telaten dalam mengurus Rangga dan terlihat jelas Lilis penyayang anak kecil.
“Setelah makan malam nanti kamu naik duluan dengan Rangga yaa, kamu sudah hapal jalan ke kamar kamu kan?" tanya Liany memastikan Lilis tidak akan tersasar di menuju kamarnya.
“Iya, Bu Nyonya, Lilis udah hapal, kok,” jawab Lilis dengan sangat yakin.
“Duuh gak usah panggil Bu Nyonya, panggil Ibu aja, gak usah pake Nyonya. Yaa sudah, kamu makan di meja ini ya, saya sama Pak Satria makan sebelah sini. Saya akan pesankan kamu nasi goreng yang paling enak di sini, awas, jangan jauh-jauh karena Rangga tetap di samping saya.” Liany sebenarnya tidak tega dengan memisahkan meja Lilis tetapi suaminya benar-benar ingin makan malam dengan dirinya saja dan Rangga. Menurut Satria paling tidak Lilis tetap makan di restoran yang sama dan tidak dibiarkan menunggu begitu saja tanpa makanan.
“Ohh baik Bu Nyonya eeh Ibu … engh… Nyonya, eeh Ibu aja deeh…” Lilis tersenyum yang membuat Liany menjadi gemas dengan sikap Lilis yang lucu.

Satria dan Liany menikmati makan malam mereka, terdengar obrolan ringan yang membuat Liany tertawa, sementara Rangga tenang berada dalam kereta bayinya. Pekikan kecil dan tawanya ketika Satria mengajaknya berbicara seakan-akan melengkapi obrolan keluarga kecil itu. Di meja samping mereka Lilis memandangi nasi goreng yang porsinya hanya sekepalan tangannya saja.
“Yaa ampuun … restoran segede ini ternyata pelit banget! Perut Lilis mana kenyang kalo cuma segini, masih mending nasi goreng Mang Jaja, lima belas ribu udah dapat empat kali lipat dari ini,” gerutu Lilis pelan. Disuapnya nasi goreng itu dan dinikmatinya dengan penuh perasaan.
“Mana gak ada rasanya lagi, lha ini terus apa nih? Daging kok tipis-tipis kayak gini, nasi goreng Mang Jaja pake sosis gede banget, puas … puaass puaaaas…!” seru Lilis tanpa sadar yang membuat beberapa orang melirik ke arahnya.
“Kamu kenapa Lis?” tegur Satria yang juga kaget karena Lilis yang tiba-tiba hampir bersorak di dekatnya.
Lilis yang masih mengunyah dengan mulut penuh hingga pipinya menggelembung melihat ke sekelilingnya. Cepat-cepat dia menelan isi mulutnya dan dibantu dengan air minum yang diteguknya.
“Anu Tuan, itu … nasi goreng restoran ini kok pelit banget yaa? Nasi goreng Mang Jaja tuh yaa lima belas ribu udah bisa buat porsi dua orang, lha ini, kok dikit banget sayurnya aja yang penuh di bawah nasinya sama daging tipis-tipis gini, rugi Tuaan!” seru Lilis berapi-api.
Satria menepuk dahinya, baru kali ini dia merasa malu karena ulah orang lain. Liany mengulum senyumnya sambil menahan tawanya yang hampir meledak.
“Jadi nasi goreng itu gak cukup buat kamu?” tanya Satria sambil menatap Lilis gemas.
“Iya Tuan…” Lilis terkekeh malu-malu karena memang perutnya masih lapar setelah menghabiskan nasi goreng itu hanya beberapa suapan saja.
“Baik, nanti kamu bisa bungkus dan bawa ke kamarmu, tetapi ingat jangan abaikan Rangga karena saya dan Ibu mau jalan-jalan di pantai sejenak.” Satria menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah memesankan Lilis dua porsi nasi goreng dan mengantarkannya sampai depan lift dan mengajarkannya, Satria dan Liany berbalik menuju samping hotel yang berhubungan langsung dengan pantai. Mereka bergandengan tangan di bawah sinar rembulan dan gemintang yang berkerlip indah. Angin sedikit kencang sehingga Satria meraih bahu Liany agar rapat dengannya dan tidak merasa kedinginan.
“Aku baru tahu jika Lilis bisa sepolos itu sampai noraknya membuatku malu,” keluh Satria mengingat babysitter Rangga yang berkelakuan ajaib.
“Tapi dia anaknya baik lho, Sat, pandai momong anak kecil, telaten dan lucu,” ujar Liany sambil tertawa kecil.
“Yaa semoga dia gak buat masalah besar aja. Aku kayak punya feeling dia tuh bakal nyusahin tau, gak?”
“Aah kamu jangan pikir yang aneh-aneh deeh, aku yakin kalau Lilis iti gadis baik, nanti kamu lagi yang parnoan karena berpikir negatif melulu.” Liany melingkarkan lengannya di pinggang Satria dengan mesra. Mereka menyusuri pantai dan hampir tak ada pengunjung lain karena kedua pasangan pengantin baru itu telah berjalan cukup jauh.
“Liany, aku ingin memberimu sesuatu,” ujar Satria sambil menghentikan langkahnya. Liany pun ikut berhenti dan memandang Satria penuh tanda tanya. Laki-laki itu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru tua.
“Ini apa? Kamu sudah beri aku cincin ketika lamaran dan cincin lagi saat akad nikah, kamu mau kasih apa lagi?” tanya Liany sambil menahan tawa dan penasarannya. Satria adalah lelaki yang suka sekali memberinya kejutan.
Satria membuka kotak putih itu dan terlihat sepasang kunci di dalamnya.
“Ini kunci rumah atas namamu, tetapi belum ada isinya, aku akan persilakan nyonya rumah untuk mengisi sesuai keinginannya,” jawab Satria dengan tatapan serius. Liany merasa terharu dengan hadiah yang diberikan oleh Satria dia tidak menyangka akan diberi naungan yang lebih jauh dari harapannya.
“Aku gak tau harus ngomong apa…” Suara Liany bergetar, rasanya dia ingin memeluk lelaki di depannya itu tetapi ini adalah tempat umum.
“Tidak usah ngomong apa-apa karena kamu gak akan bisa berbicara jika aku melakukan ini,” ucap Satria yang seketika membungkam bibir Liany dengan bibirnya. Mata Liany membulat karena terkejut, Satria mendekapnya dengan erat hingga dia tak leluasa bergerak.
Ponsel Satria berdering di saku celananya, menjeda kemesraan yang baru saja beberapa detik disambut oleh Liany.
“Jawab dulu telponnya, Sat.” Liany menjauhkan wajahnya dengan napas yang tersengal, dahi Satria mengerut ketika nama Lilis terlihat di layarnya.
“Ada apa, Lis?” tanya Satria menahan kesalnya karena babysitter Rangga itu memotong “aktifitas”nya di saat yang tidak tepat.
“Lilis nyasar Tuaaan…” jawab Lilis yang diiringi tangis gadis itu yang tertahan.
“Astagaaaa!” seru Satria kesal, “Kamu nyasar? Yang bener aja, Lis!”
Liany ikut menepuk dahinya mendengar hal itu, Satria menghela napas panjang dan mengajak Liany kembali ke hotel.
“Lihatkan? Firasatku benar!” omel Satria.

Komento sa Aklat (253)

  • avatar
    KusumaMutmainnah Ningtyas

    ceritanya sungguh bagus smpe buat nangis, dan ketawa krn kisahnya😁

    24/01/2022

      0
  • avatar
    FonatabaSiphora Nelly marline

    bagus banget ceritanya kak.. please ada lanjutannya dong semoga Tante Katrin gak meninggal amin

    16/01/2022

      1
  • avatar
    Devi Damayanti

    novel yang sangat baik dan berkualitas penuh arti dalam kehidupannya rumah tangga yang baik juga banyak rintangan dan halangan dari mertua dan adik ipar yang sama-sama ingin menguasai harta yang bukan miliknya, dan kita bisa ambil hikmahnya dari novel tentang pengorbanan seorang istri untuk suami.

    12/01/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata