logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

BERTEMU CALON MERTUA

"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya.
"Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.
Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya.
"Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."
Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada."
"Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak.
"Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.
Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat untuk kuliah. Lebih baik obrolannya sampai sini aja. Saya akan cari cara juga supaya saya nggak menikah."
Situasi berubah menjadi super canggung. Janu sampai kesulitan untuk pamit. "Niat Ibu nanti bisa saya pikirkan dulu, tapi harapan saya tetap sama. Saya mau Mika melanjutkab studinya. Jangan dibiarkab gitu aja. Sayang." Janu menatap Bunda dengan mata memohon.
Sebelum pamit, Janu menyalamkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah kepada Bunda. Tanpa malu, Bunda menerima pemberian Janu, meskipun Mika mencoba untuk menghalangi.
"Ayo, Pak. Saya antar sampai depan gang." Mika tetap kukuh berusaha untuk membuat Janu segera pulang.
Makin lama di rumahnya, tingkah Bunda cuma akan menjadi-jadi.
***
"Boleh Bapak tanya, apa kamu benar-benar nggak punya keinginan untuk kuliah?" Janu bertanya saat dia dan Mika berjalan menuju persimpangan gang rumah Mika. Mobil Janu terpaksa diparkir di halaman salah satu ruko yang berada di depan gang.
Air muka Mika sedikit berubah. Dia bingung mesti jujur atau menutupi perasaannya sendiri.
"Kalau kamu nggak mau jawab nggak apa-apa, Bapak nggak akan maksa." Janu menambah.
"Kalau hati saya ..., saya pingin lanjut, Pak," aku Mika malu-malu.
"Boleh tau jurusan apa yang kamu minati? Kamu mau jadi apa di masa depan?"
Mika mengulum senyum ragu-ragu. "Pengacara ... atau jaksa," jawabnya pelan.
Janu terperangah. Ini pertama kali dia mengetahui impian Mika. Selama ini dia kira Mika minat dengan bidang sains.
"Kamu mau masuk bidang hukum ..., tapi ambil Ilmu Pengetahuan Alam?"
Mika mengangguk setengah tersipu. "Saya pilih IPA karena saya pikir kesempatannya lebih banyak, Pak. Tapi ... kalau untuk karier, saya pingin banget kerja di bidang hukum." Tiba-tiba wajah Mika murung.
Langkah keduanya makin melambat, untuk melewati beberapa meter saja rasanya butuh waktu sekian menit. "Sejak kecil ..., hidup saya hanya tentang ketidak-adilan. Kami selalu punya masalah dengan hukum. Semua itu karena kesalahan ayah saya. Rumah kami, dan apapun yang tersisa, bisa habis kapan aja. Bunda juga bisa dipenjara kapan aja. Karena itu saya pikir ..., saya harus paham hukum untuk bisa melindungi Bunda. Seenggaknya saya mau menjaga Bunda tetap aman, jauh dari orang-orang jahat yang mau menzolimi kami."
Sekali lagi Janu terperangah. Mungkin setelah tiga tahun mengenal Mika, ini pertama kali dia mendengar Mika bicara sebanyak ini. Dia bisa merasakan semangat Mika. Ketegaran sekaligus kelembutan yang jarang dia jumpai di diri anak-anak muda pada umumnya.
"Kamu harus kuliah kalau gitu. Kamu harus berhasil jadi pelindung buat bunda kamu." Janu berhenti melangkah.
Mika ikut berhenti. Mereka berhadap-hadapan. Agak kikuk. "Apa ... kamu mau menikah sama bapak-bapak itu? Yang mau menjadikan kamu istri ketiganya. Itu yang kamu mau?"
Kepala Mika langsung nenggeleng.
"Kalau gitu jangan. Jangan nikah sama dia. Bapak yang akan menikahi kamu."
Mata Mika terbelalak seketika. "Bapak jangan ngaco! Saya ... saya ..."
"Tenang," potong Janu cepat. "Bapak juga tau diri, kok. Kamu jangan salah paham. Bapak lakukan ini supaya kamu bisa lanjut kuliah. Dengan status sebagai suami, Bapak bisa membiayai kuliah kamu, juga biaya hidup kamu. Bundamu nggak akan cemas lagi. Tapi ini bukan nikah sungguhan."
"Hah?" Mika melongo.
Kedua tangan Janu memegang bahu Mika lembut. "Setelah kamu lulus, kita akan bercerai. Bapak lakukan ini supaya bundamu percaya. Dia pasti nggak akan tenang kalau kita nggak punya ikatan resmi. Setelah emoat tahun, kamu lulus. Kamu bisa kerja, melunasi utang kamu. Bahkan biaya kuliah pun boleh kamu kembalikan kalau kamu nggak nyaman itu jadi utang." Janu menjelaskan niatnya.
Mika masih melongo. Di matanya sendiri, Janu adalah sosok guru pendiam dan misterius. Dia hampir tak pernah terlihat berbaur dengan guru-guru yang lain. Ini juga kali pertama dia melihat Janu begitu gigih dengan niatnya, sorot matanya sungguh-sungguh.
Mengetahui ada seseorang yang rela berkorban sebegini besar demi pendidikannya, hati Mika tiba-tiba menghangat. Ayahnya bahkan tak pernah peduli dengan nilai yang dia peroleh. Sekolah atau tidak, ayahnya tidak peduli.
Lantas mengapa, Janu yang bisa dibilang merupakan orang asing dalam hidupnya sebegitu keras mengkhawatirkan pendidikannya?
"Gimana? Kamu mau? Kita bisa bikin surat perjanjian kalau kamu ragu. Bapak nggak akan ambil keuntungan sedikit pun. Kamu akan dilindungi hukum. Bapak janji."
***
Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.
Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.
Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.
Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.
Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk.
"Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan, secara alami mulut Janu mengeluarkan umpatan.
Entah bagaimana cara wanita keji itu bisa melanjutkan hidup seolah tak ada apa-apa, dan suaminya sanggup menerima segala keburukan di dalam dirinya. Lantaran dia seorang, Janu seumur hidup tak akan bisa memiliki kehidupan normal. Sesuatu di hidupnya yang paling berharga sudah dihancurkan. Dan tak ada siapapun yang bisa mengubahnya.
Ketika dia masih sibuk melamun mengingat wajah mantan kekasih terburuknya, tiba-tiba saja ponsel pintarnya berbunyi. Masuk sebuah panggilan dari sebuah nomor kontak yang tak asing.
"Ha ... kenapa, Ma?" Janu mengangkat panggilan itu setengah hati. Dia memang kerap menghindar dari teror ibunya yang tak henti-henti.
"Emangnya Mama nggak boleh telpon kamu? Kenapa kamu nggak balas pesan Mama?!" Ibunya protes dari ujung sana.
"Ya karena aku bosan sama pertanyaan Mama." Janu menjawab cuek, ibunya makin menyebalkan sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia menjadi ibu posesif yang selalu mau tau urusan anaknya, mirip ibu pengangguran yang kesepian. Janu paham situasinya, tapi belakangan sikap ibunya memang makin keterlaluan.
"Kamu ini kenapa sih, Jan?! Mama kan mama kamu, wajar kalau Mama cemas. Kamu liat nggak? Mantan kamu, Ratih. Dia udah nikah!"
Otomatis Janu memijat pelipisnya. Dia terbakar tiap kali nama itu disebut. Sudah agak lama dia menahan pikirannya itu tak mencetuskan nama itu. Belum lagi, soal ini sudah basi, dia sudah tahu sejak seminggu lalu.
"Ya terus kenapa? Biar aja. Dia kan udah dewasa, biar aja dia lanjutkan hidupnya."
"Ya terus kamu kapan?! Hah?! Ingat, Jan. Umur kamu sudah mau tiga puluh. Kamu sudah matang, tau? Sudah waktunya kamu nikah kayak si Ratih. Mama juga pingin punya cucu!"
Janu meraih bungkus rokok dari ujung mejanya, lagi-lagi pertanyaan serupa mencekoki dirinya. Dia nyalakan pemantik lalu mengisap dalam-dalam satu batang rokok.
"Kamu nggak mau jawab pertanyaan Mama, Jan?!" desak Mama tak sabaran.
Janu membuka jendelanya lebih lebar agar asap rokoknya bisa terbang keluar. Tanpa semangat sama sekali dia menyahut, "Aku udah ada niat untuk menikah, kok."
"Hah?!!! Yang benar kamu?!! Siapa?! Siapa pacar kamu?!" Mama bertanya dengan suara ditinggikan.
"Besok aja sekalian ketemu langsung. Mama siap-siap aja. Aku mau ajak dia makan siang bareng. Mama bisa kan siapin semuanya?"
"Pastinya, Janu! Pasti! Mama nggak nyangka loh! Kebetulan banget malam ini Mama telpon kamu. Tiba-tiba kamu bilang udah punya pacar, Mama kira kamu nggak akan pernah punya pacar lagi, loh!"
Janu cuma bisa menghela napas pasrah. Seperti benang takdir, semuanya saling mengikat. Tepat setelah Ratih menikah, ibunya mendesak dia pula untuk menikah, dan ada Mika yang akan dia nikahi. Meski pernikahan itu tak serius sebenarnya, tapi rasanya, semua sudah diatur oleh alam. Apa mau dikata, Janu cuma bisa ikut arus. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Mika membasahi bibirnya yang kering dengan saliva. Saking gugupnya, sejak tadi keringat mengucur agak banyak di pelipis dan lehernya.
"Santai aja, ibu saya bukan orang aneh, kok." Janu yang menyetir santai di samping Mika seakan bisa membaca pikiran gadis itu.
"Nggak tau, Pak ..."
"Jangan panggil 'pak', dong." Janu memotong kalimat Mika. "Kita harus keliatan alami sebagai pasangan. Panggil aja 'mas' atau 'sayang', ngomong santai aja," katanya lagi.
Mika menelan salivanya lebih berat. Memanggil mantan wali kelasnya sendiri sebagai 'sayang'? Hal ini tak pernah dia pikirkan, terbersit satu detik di kepala pun tidak.
"Ba ... baik, Mas kalau gitu." Mika menurut walau pipinya terasa akan terbakar.
"Kamu udah yakin kan sama keputusan kamu? Kalau sekali setuju, kamu nggak akan bisa mundur lagi. Ini bukan kontrak main-main."
"Iya, soal itu saya ..., eh, aku ... udah yakin. Aku mau kuliah. Menikah empat tahun bukan masalah." Mika mengangguk setuju. "Cuma ..., apa Mas juga yakin? Kenapa Mas mau melakukan hal sejauh ini cuma untuk aku?"
"Jangan berpikir aneh-aneh. Orang tua aku juga udah menuntut aku untuk nikah. Jadi aku pikir, kita sama-sama diuntungkan, kok. Setelah kita cerai nanti, mungkin dia bakal sadar dan nggak akan menuntut aku buat nikah lagi."
Sejenak Mika tercenung. "Tapi ..., kenapa Mas nggak nikah sungguhan aja? Mas kan pasti bisa cari calon istri beneran. Kenapa nggak mau nikah selamanya?" selidik Mika penasaran.
"Soal itu kurasa kamu nggak perlu tau," tegas Janu tiba-tiba berubah sikap menjadi dingin.
"Maaf Mas, aku lancang. Aku nggak akan tanya hal privasi lagi."
"Udahlah. Lupakan aja. Tujuanku cuma mau bantu kamu. Kamu murid berprestasi. Kamu punya impian dan tujuan mulia. Kamu cukup pikirkan sekolah aja nanti. Fokus. Soal hubungan kita ..., nggak akan terjadi apa-apa. Aku nggak akan berusaha untuk membuat kamu suka sama aku. Tenang aja, kita bakal hidup masing-masing di atas atap yang sama. Kamu bisa punya pacar sendiri. Aku nggak akan melarang, asal nggak ada orang yang tau."
"Hah? Pacar?"
"Ya. Bilang aja dia selingkuhan kamu. Bilang aja kalau pernikahan kita udah retak. Setelah kita cerai, kamu bisa nikah sama pacar kamu yang sebenarnya. Mudah, kan?" Janu tersenyum pahit.
Entah bagaimana, penjelasan Janu barusan membuat hati Mika sedih. Sekalipun pernikahan ini hanya kedok, tapi rasanya dia tak akan berselingkuh. "Mana mungkinlah ada cowok yang mau pacaran sama perempuan yang udah nikah." Mika mendesis.
"Kamu terlalu naif. Yang pacaran sama ibu-ibu aja banyak. Apalagi kamu, kamu muda, cantik, manis. Pasti di kampus nanti banyak yang ngecengin kamu."
Mika terdiam, dia tersipu dan wajahnya memerah. Barusan Janu seolah memberinya pujian tanpa dia sadari.
"Yup. Kita udah sampai. Jangan sampe salah ngomong, ya."

Komento sa Aklat (45)

  • avatar
    ZNayman Azkayra Azkayra

    bagus

    06/02/2023

      0
  • avatar
    SanicoAngel

    💓💓

    14/01/2023

      0
  • avatar
    Pluviophile

    good

    12/10/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata