logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Malam kelam

Suara khas berbagai macam game yang sedang dimainkan oleh beberapa anak muda yang sengaja menghabiskan masa liburannya di Timezone, menggema nyaring di salah satu lantai sebuah departement store. Kegiatan itu menjadi pilihan yang mutlak untuk Devian lakoni. Setiap kali dirinya mulai merasa bosan di rumah. Permen lolipop yang menyumpal mulutnya, terus bergerak ke kanan dan kiri. Seirama dengan gerakan tangan remaja itu yang tengah sibuk memainkan game balap mobil.
Di lap terakhir, mobil merah yang Devian pilih berhasil menyalip mobil hitam yang berada di barisan paling depan. Dalam jangka beberapa detik saja, garis finish yang Devian perjuangkan sejak awal permainan tadi, akhirnya berhasil ia lewati dengan mulus.
"YES!!!" Satu tangan pemuda yang memiliki gaya rambut spike itu mengepal tinggi ke udara. Merayakan kemenangannya dengan cepat-cepat mengambil kupon yang keluar dari mesin permainan tersebut, kemudian berjalan ringan menuju counter penukaran hadiah.
Sebelum menyapa pegawai wanita yang berdiri di balik meja kasir, Devian lebih dulu menyelipkan lolipop di antara gusi dan pipinya. "Nih, Mbak. Aku mau nukerin kupon ini dengan hadiah," tukas pemuda itu tersenyum ceria, mengamati deretan hadiah yang terpajang di dalam lemari etalase berukuran besar di depannya.
Kesepuluh jemarinya yang mengetuk-ngetuk meja counter, memperlihatkan sifat tak sabar Devian yang seolah ingin ikut turun tangan membantu kasir tadi, untuk mengambil bola basket sebagai hadiah yang akan diperolehnya.
Garis lengkung yang sejak tadi menghiasi bibir Devian lenyap seketika, bertepatan dengan diasongkannya boneka beruang cokelat yang mengenakan hoodie merah oleh sang kasir. "Ini ... silakan diambil hadiahnya," ucap pegawai mal tersebut membuat kedua alis tebal Devian bertaut.
"Loh, kok boneka sih? Mbak, salah ambil ya? Harusnya 'kan aku dapet bola basket itu." Tunjuk Devian mengarahkan satu jarinya ke arah bola basket yang berada di bagian paling kanan atas lemari etalase.
"Ooh ... kupon yang Mas dapat itu, hanya cukup untuk mendapatkan boneka ini sebagai hadiah. Kalo Masnya ingin menukar kupon dengan bola itu ... ya berarti, Mas butuh 100 kupon lagi," terang sang kasir yang berhasil membuat Devian mendesah kecewa.
"Seratus kupon lagi?"
Sang kasir mengangguk mantap. "Iya, Mas. Jadi, gimana? Mau main game lain lagi buat dapetin kupon untuk bola basket itu atau ...."
"Gak usah deh, Mbak. Bonekanya aku ambil aja. Makasih ya!" sela Devian meraih boneka itu lalu beranjak meninggalkan mal yang paling terkenal di jalan Malioboro, Yogyakarta tersebut.
*****
Langit malam yang gelap mulai berbaur dengan warna biru cerah yang muncul dari ufuk Timur. Ini masih pukul 02:06 AM, jalanan kecil di depan sebuah warung sederhana yang ada di pertigaan jalan yang dipadati pemukiman penduduk itu juga tampak kosong, hanya ada segelintir warga yang mendapatkan tugas untuk berpatroli saja yang masih setia duduk bergumul di atas balai-balai bambu; yang posisinya berhadapan langsung dengan sebuah tabung televisi. Satu-satunya media hiburan yang sengaja dipasang oleh pemilik warung, untuk menarik para pelanggan.
Suara beberapa orang yang gemas menonton aksi permainan club jagoannya yang tengah memperebutkan sebuah bola sepak yang masih dikuasai tim lawan, sesekali membuat suasana sepi tak lagi terasa ngeri.
Udara dingin dini hari itu membuat seorang warga yang usianya ditaksir paling tua daripada ketiga temannya yang lain, menyembunyikan sekujur tubuhnya di dalam sarung biru kotak-kotaknya. Dan hanya menyisakan kepala dengan rambut berubannya saja yang tidak sampai tertutupi.
"Ini, Mase ... kopinya," ucap Joko, si pemilik warung menyuguhkan pesanan dari lelaki tua yang kedinginan itu.
"Yo ... makasih, Ko!" sahut Paijo dibalas anggukan dari Joko yang kemudian kembali masuk ke dalam warungnya, untuk membersihkan meja yang penuh dengan bungkus kopi dan juga mi instan yang berserakan.
Lelaki berusia 35 tahun itu memasukan semua bungkus kosong tersebut ke dalam tempat sampah yang ada di kolong meja warungnya.
"Waduuh, wis kepenuhan toh!" gumam Joko, setelah melihat plastik hitam besar di bawah meja warungnya sudah terisi penuh dengan berbagai macam sampah. Karena tidak ingin aroma tak sedap dari kumpulan sampah itu terhirup pembeli atau mencemari barang dagangannya, Joko lantas membawanya menuju pintu bagian belakang warung.
"Ko! Kamu mau ke mana toh malam-malam begini?" tegur Paijo menghentikan langkah kaki Joko yang sudah sebelahnya berada di luar warung.
"Mau bakar sampah, Mas. Udah banyak banget soalnya," sahut lelaki berkulit sawo matang itu mengulas senyumnya tipis.
"Malam-malam begini bakar sampah? Di belakang warung lagi. Apa ndak takut? Nanti tau-tau ada yang nemenin loh ...," goda lelaki tua itu menakut-nakuti.
"Ahaha, Mas ini. Ya ndak mungkin toh, lah wong istri saya aja masih lagi tidur pules di kamar. Jadi, mana ada yang nemenin. Titip warung bentar ya, Mas!" timpal Joko, tak mengacuhkan ucapan Paijo yang sebenarnya mencoba untuk memperingatinya. Karena di belakang warung milik Joko, terdapat pohon kersen yang rumornya menjadi tempat tinggal makhluk tak kasat mata.
Lampu putih yang menyala redup di salah satu sudut bagian luar warung, menjadi satu-satunya alat penerang yang dapat membantu Joko melangkahkan kaki tanpa tersandung bebatuan kecil yang tersebar banyak di sana. Semilir angin yang datang berembus mempermainkan rimbunnya dedaunan sepasang pohon kersen yang berdiri sejajar di dekat pagar tembok yang menjulang tinggi itu, sukses membuat bulu kuduk di tengkuk Joko meremang.
Meski merasa sedikit merinding, lelaki jangkung itu masih tampak santai menyapu dedaunan kering dan ranting pohon di sekitar sana yang akan ia bakar bersama dengan plastik sampah yang dibawanya dari dalam warung tadi. Setelah dikumpulkan di satu tempat, Joko mulai merogoh kantong celana batik panjangnya untuk mengambil korek api.
JREZZT ....
Satu batang kayu berukuran kecil yang dilapisi fosfor di salah satu ujungnya itu berhasil memercikan api kecil, yang kemudian Joko letakan di atas tumpukan sampah. Sembari menunggu apinya membesar, kedua tangan Joko kembali melanjutkan kegiatannya mengais daun-daun kering yang bisa tangannya jangkau.
"Loh, kok apinya mati sih?" Joko mengernyit heran. Kala api yang menyala di atas tumpukan sampahnya tadi, sudah padam. Tepat saat Joko membalikan badannya untuk menaruh dedaunan kering yang berhasil ia pungut tadi di atas kobaran api.
Mengingat tiupan angin yang berembus ke arahnya cukup kencang, membuat Joko lebih berhati-hati lagi saat menyalakan korek api berikutnya. Kali ini karena takut api yang menyala akan cepat padam, Joko menaruh batang kayu dari pemantik api tersebut di bawah tumpukan sampah.
Dengan wajah seriusnya, lelaki berambut klimis itu menunggu dengan sabar supaya api yang dinyalakannya dapat menyebar sempurna membakar tumpukan sampah.
"Akhirnya, nyala juga." Joko tersenyum senang, dengan satu tangan yang mulai sibuk menyimpan pemantik api tersebut kembali ke dalam saku celananya. Namun karena tidak menyimpannya dengan benar, korek api itu akhirnya jatuh ke tanah. Sadar pemantik apinya terjatuh, Joko pun langsung menoleh ke samping untuk memungut korek apinya.
Namun alangkah terkejutnya Joko, karena saat ia menghadapkan tubuhnya kembali ke depan. Api yang tadi sudah membumbung tinggi, kini telah habis tak tersisa. Merasa ada kejanggalan dari kejadian yang baru saja dialaminya, Joko mulai curiga.
"Aneh, kenapa bisa mati ya? Padahal tadi 'kan ndak ada angin yang datang," gumam Joko yang mau tidak mau harus kembali menyalakan korek apinya.
JREZZZT ....
Untuk yang kesekian kalinya, nyala korek api yang batang kayunya di apit dua jari tangan Joko kembali padam. Seperti baru saja ditiup oleh seseorang; padahal saat itu Joko tengah sendirian di halaman belakang rumahnya. Karena penasaran, Joko pun mulai menggerakkan bola matanya sejajar dengan arah tiupan angin yang tadi mematikan api dari korek yang dipegangnya tersebut.
Sepasang mata Joko langsung membulat sempurna seolah akan keluar dari tempatnya, manakala lelaki jangkung itu mendapati seorang wanita berdaster putih dengan rambut hitam panjang yang menutupi wajahnya, tengah duduk berseberangan arah dengan Joko, sembari menjilati sebuah pembalut yang masih terdapat banyak darah dari tumpukan sampah itu.
Belum sempat Joko memberikan respon apa pun terhadap apa yang ia lihat, makhluk astral itu sudah lebih dulu melesat terbang dengan tawa khasnya yang membuat semua orang yang mendengarnya langsung bergidik ngeri.
"HIHIHI ... HIHIHI ...."
Mendengar tawa cekikikan hantu wanita itu, Joko yang syok sampai jatuh terjengkang ke tanah. Dengan bibir hitamnya yang bergetar hebat, jari telunjuk Joko bergerak menunjuk-nunjuk hantu wanita tadi yang kini sudah bertengger di salah satu dahan pohon kersen yang paling tinggi.
"K-Kun ... KUNTILANAK!!!" Joko lari kocar-kacir masuk ke dalam warungnya dengan langkah memburu dan langsung membanting pintu belakang warungnya keras. Membuat para pelanggannya yang masih fokus menonton pertandingan bola tersebut, melonjak kaget.
"Ko, ada apa toh? Kenapa kamu sampe keringetan begitu?!" tanya Paijo melihat raut ketakutan terpancar jelas di wajah Joko.
Pria yang masih menyandarkan punggungnya pada daun pintu warung tersebut, menelan ludahnya sulit. Sebelum akhirnya Joko memiliki keberanian untuk memberitahukan pada para petugas ronda, bahwa tadi ... ia baru saja melihat hantu wanita yang menyeramkan.
Paijo yang paham betul Joko tengah dikuasai ketakutan, lantas menuangkan segelas air putih dari sebuah teko kemudian disodorkannya pada Joko yang baru saja disuruhnya untuk duduk di tengah tiga teman rondanya, agar lelaki itu dapat lebih tenang.
Sementara itu ... dari ujung jalan, Devian yang tengah mengendarai sepedanya dengan sebuah boneka beruang yang duduk manis di dalam keranjang sepeda itu, sontak menekan kuat rem tangan di stang sepedanya. Kala kedua netra Devian menemukan sebuah warung yang masih buka.
"Persediaan lolipopku 'kan udah habis di rumah, beli ah! Heh, beruang. Tunggu di sini sebentar ya!" celoteh pemuda itu menepuk dua kali kepala beruangnya sebelum bergegas mendatangi warung milik Joko.
"Pak! Mau beli permen lolipop ada gak?" tanya Devian sembari mengedarkan pandangannya ke meja warung yang diisi penuh oleh beberapa macam toples permen dan jelly. Anak remaja itu langsung menjentikkan jarinya lincah, saat ia menemukan permen kesukaannya ada di antara toples yang diamatinya sejak tadi. "Pak, beli lima ya? Ini uangnya," seloroh Devian setelah mengambil beberapa permen dari dalam toples berwarna bening itu.
Setelah membayar dengan uang pas, Devian yang hendak pergi dari warung tersebut mendadak mengurungkan niatnya. Bersamaan dengan indera pendengarannya yang menangkap bahasan ganjil dari obrolan pemilik warung dan para bapak-bapak yang berkerumun mengitarinya.
"Kuntilanak?" Devian berucap lirih. Belum sempat pemuda itu menanyakan kebenaran dari penampakan yang Joko lihat. Suara erangan wanita yang menjerit kesakitan, lebih dulu membuat Devian, Joko dan keempat warga lainnya terkejut.
"Suara apaan tuh?!"
"Sumi! Itu suara istriku, Mase. Itu suara Sumi!" seru Joko menghambur masuk ke dalam rumahnya yang menyambung dengan warung tersebut.
Karena takut sesuatu terjadi dengan istri Joko, Paijo langsung mengajak ketiga temannya untuk melongok masuk. Sedangkan Devian yang baru saja melihat sekelebat bayangan putih melintas di depannya, ikut menerobos masuk ke dalam rumah si pemilik warung.
"Sumi! Kamu kenapa toh? Sumi!!" ekspresi wajah Joko tampak cemas mendapati sang istri tengah meringis kesakitan di atas ranjang.
"Sakit, Mas! Perutku sakit sekali!" keluh wanita bertubuh sintal itu meremas perutnya kuat. Joko yang panik, mulai kebingungan mencari minyak angin di tiap laci meja rias di kamarnya. Sedangkan Paijo dan teman-temannya mulai sibuk mencetuskan cara lain untuk menyembuhkan sakit perut wanita itu, seperti dikompres dengan air hangat sampai ada yang mengusulkan untuk memanggil seorang dukun saja.
Devian yang sedari tadi hanya berdiam diri di luar kamar, langsung menyelinap masuk. Memeriksa keadaan Sumi dengan menekan kuat ibu jari kakinya. Joko yang tadi sedang mengolesi minyak angin di perut istrinya, menatap penuh heran pada ABG di sampingnya.
"Punya pohon sirih di pojok luar rumah 'kan? Ambil satu helai daunnya lalu dicuci, tolong bawain juga secuil garam dan segelas air putih," pinta Devian. Membuat Joko dan yang lainnya tertegun. "Kenapa pada diam? Ayo cepat! Istrimu lagi dijahili Kuntilanak penunggu pohon kersen di belakang warungmu!" sentak Devian, membuat Joko terhenyak. Sejurus kemudian, lelaki jangkung itu beringsut pergi.
Sembari mencari benda-benda yang Devian minta, Joko tak henti-hentinya bertanya dalam hati. Bagaimana Devian bisa tahu sampai sedetail itu tentang pohon sirih yang ditanam istrinya di sudut rumah mereka, hingga masalah kuntilanak penunggu pohon kesren itu. Padahal sejak tadi, saat masih di dalam warung, Joko hanya menceritakan ketakutannya yang baru pertama kali melihat sosok kuntilanak secara langsung pada Paijo dan petugas ronda lainnya.
"I-ini, Lek. Ini benda yang kamu minta." Masih dipenuhi dengan rasa penasarannya terhadap siapa Devian, Joko terus mengamati dengan serius aktivitas Devian yang tengah membacakan penggalan-penggalan ayat suci Al-Qur'an di depan segelas air yang dicampurnya dengan sehelai daun sirih yang ditenggelamkan ke dalam gelas. Sedangkan secuil garam dapur tadi, Devian lempar ke arah jendela kayu di kamar Joko dan di bawah ranjang yang ditempati Sumi. Setelah selesai membacakan doa, Devian meminta Sumi untuk meminum air tersebut.
Dalam hitungan kurang dari lima menit saja, erangan kesakitan yang Sumi teriakan tadi berangsur reda. Seiring rasa nyeri luar biasa di perutnya yang mulai menghilang.
"Kalo gak pengen diganggu sama makhluk seperti itu lagi. Ada baiknya besok, pohon kersen yang ada di belakang rumah kalian, ditebang aja," saran Devian yang juga menasihati Sumi agar lebih menjaga diri lagi saat tengah datang bulan. Tanpa menunggu lama, pemuda berhidung pendek itu bergegas keluar dari rumah kediaman Joko. Meninggalkan tanda tanya besar untuk Joko dan istrinya juga para petugas ronda yang penasaran akan jati diri Devian.
Selain penyuka janin jabang bayi di dalam perut atau yang baru lahir. Jin yang sering disebut Kuntilanak juga sangat menyukai darah menstruasi para wanita. Jangankan darah yang tertinggal di dalam pembalut, darah menstruasi yang mengalir di dalam got saja akan ia jilati hingga habis. Maka dari itu, untuk para wanita ... disarankan saat datang bulan agar dapat lebih ekstra lagi menjaga kebersihan. Cucilah pembalut yang akan dibuang hingga bersih. Karena kalian tidak akan pernah tahu, sakit perut yang kalian alami saat menstruasi itu karena memang sakit alami, atau sakit karena ulah kuntilanak yang menjilati sisa darah kalian.
Devian mulai kembali menggoes sepedanya santai, menyusuri gang kecil yang sempit guna memotong jalan agar lebih cepat sampai di rumah. Devian kembali menghentikan laju sepedanya kala sesosok gadis yang berlari kecil sembari terisak tangis, keluar dari dalam rumah yang memiliki pagar papan setinggi satu meter, tidak jauh dari jalan yang akan Devian lalui.
Pandangan mata pemuda yang memiliki paras baby face itu terkunci, ketika sosok gadis yang sempat dilihatnya malah berlari ke arah rimbunnya pepohonan bambu.
"Tadi itu ... manusia 'kan?" gumam Devian kembali mengayuh pedal kendaraan roda duanya. Kala Devian melintas tepat di depan rumah kayu bertingkat di ujung tikungan, ia tak sengaja mendengar percekcokan sepasang suami istri dari dalam rumah yang tengah memperdebatkan sekolah asrama luar kota mana yang cocok untuk dimasuki oleh putri semata wayang mereka.
Setelah mendengar pertengkaran tersebut. Sedikit banyaknya, Devian jadi mengerti alasan kenapa gadis yang sempat dilihatnya tadi, melarikan diri masuk ke dalam kebun bambu yang memang tidak jauh dari lingkungan sekitar rumahnya itu.
Devian yang mencemaskan keadaan gadis itu di dalam kebun seorang diri, tengah malam begini, memutuskan untuk mencarinya. Seiring teriakan ayah dan ibu gadis itu yang baru menyadari putrinya sudah tidak ada di dalam rumah. Dengan meninggalkan begitu saja sepeda berikut boneka beruangnya di pinggir jalan, Devian menerobos masuk ke dalam lahan kosong tersebut.
Hanya bermodalkan cahaya bulan yang tengah purnama. Devian bergerak dengan sangat hati-hati menelusuri rimbunnya pepohonan bambu yang sesekali ditemui tengah dimainkan oleh beberapa makhluk astral penunggu tempat tersebut. Seperti halnya yang dilakukan hantu wanita berwajah pucat dengan luka menganga di punggungnya yang sudah disinggahi banyak belatung itu, tengah duduk berayun di salah satu batang pohon bambu yang roboh.
Suara burung hantu yang terdengar menakutkan, membuat suasana tempat itu kian mencekam. Beberapa makhluk kerdil yang berlarian mengitari Devian, membuat pemuda yang memiliki kemampuan istimewa itu tampak sedikit kesulitan melalui jalan setapak yang ia jelajahi. Karena tak jarang, anak kecil bertanduk yang bukan dari golongan manusia itu menarik-narik tangan atau menahan kaki Devian agar tidak pergi meninggalkan mereka yang ingin mengajak Devian bermain.
Langkah kaki Devian berhenti berayun, seiring indera pendengarannya yang menangkap suara isak tangis seseorang. Merasa yakin suara itu berasal dari arah kirinya, Devian lantas mengintip dari celah dedaunan bambu yang menghalangi pandangannya. Dari jarak dua meter tempat pemuda itu berada Devian dapat melihat jelas, seorang gadis tengah duduk memeluk lututnya sendiri yang ditemani sesosok tuyul yang duduk berjongkok di samping gadis itu.
"Kalo aku gak bisa tinggal sama mereka lagi saat masuk SMA. Ngapain coba mereka ngedaftarin aku di sekolah asrama? Di luar kota lagi. Tau gitu 'kan mending aku masuk ke SHS aja. Kalo mereka capek ngurusin dan ngehadepin kelainanku ini, kenapa mereka gak bunuh aku aja coba? Emang dulu, waktu sakit ... aku yang minta buat disembuhin? Nggak, kan?! Emang dulu, waktu aku dimasukin ke rumah sakit jiwa, siapa yang minta dikeluarin dari tempat itu? Bukan aku, kan?! Kalo hidupku kayak gini terus, mending aku diadopsi sama keluargamu aja!" ungkap Helga membuat tuyul yang menemaninya langsung menoleh. Dan Devian yang juga mendengar curhatan gadis cantik itu langsung mengangkat tinggi sepasang alisnya.
Meski tak membuka mulutnya, Devian dapat mendengar tuyul itu mengajak Helga ke rumahnya. Belum sempat gadis pendiam itu menerima ajakan teman ghaibnya, Devian sudah lebih dulu meraih lengan Helga dan diremasnya sedikit kuat.
"Pergi sana! Jangan dekati dia lagi. Karena dia gak akan jadi sepertimu, apalagi bergabung dengan anggota keluargamu yang abstrak itu. Tidak akan pernah!" gertak Devian mengusir sosok tuyul yang tadi mengajak Helga pergi bersamanya.
Dengan merungkut takut melihat delikan mata Devian, tuyul itu berlari cepat meninggalkan tempatnya bertemu Helga, kemudian menghilang ditelan kegelapan.
"Heh! Kamu udah gila ya? Gimana bisa segitu gamblangnya kamu curhat sama makhluk yang bukan manusia? Kamu pikir dengan bermigrasi ke alam mereka, hidupmu bakal jauh lebih enak? Buang jauh-jauh pikiran pendekmu itu. Karena kamu, cuma akan jadi budak seksnya para genderuwo si hidung belang kebun bambu ini doang. Kalo pun kamu diangkat jadi anak mereka, kamu mau dikasih makan kotoran manusia dan ulat pohon? Kamu siap jadi orang yang benar-benar hilang kewarasannya di usia semuda ini?" omel Devian panjang lebar yang hanya direspon gelengan kepala oleh Helga. Selain menceramahi keputusan gegabah dari gadis remaja yang sebaya dengannya itu, Devian juga mulai mengorek lebih rinci alasan kenapa Helga sampai pergi dari rumahnya.
Alih-alih menjawab tiap pertanyaan dari pemuda yang baru pertama kali ditemuinya itu, Helga malah lebih sering bergumam dalam hati. Bertanya-tanya tentang siapa Devian, dan kenapa tiba-tiba saja dia muncul di tempat angker seperti sekarang ini.
"Apa jangan-jangan dia siluman babi ngepet ya?" pikir Helga dengan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mengamati sosok lain yang kadang menampakan wajah buruknya walau hanya sekejap.
"Enak aja! Segini cakepnya dibilang babi ngepet!" sembur Devian membuat Helga mendelik kaget.
"Hah? Kok dia bisa tahu apa yang aku pikirin sih? Apa jangan-jangan dia ...."
"Bisa baca pikiran kamu?" terka Devian membuat Helga semakin syok. "Haha ... ya nggaklah. Aku gak bisa baca pikiranmu, aku asal nebak aja tadi sambil ngelihat ekspresi muka kamu itu," imbuh Devian yang tetap tak ditanggapi dengan satu pun kata yang terlontar dari mulut Helga.
Di tengah kebingungan Helga akan kemampuan istimewa yang dimiliki Devian. Tiba-tiba saja, semerbak aroma singkong bakar terendus oleh indera penciuman Devian. "Waduh, bahaya nih ... sang penguasa tempat bakalan muncul kayaknya. Hei, ayo kita pergi dari sini!"
GRRRRR ....
Suara geraman seperti hewan buas yang tengah mengintai mangsanya, tiba-tiba saja muncul dari arah Tenggara. Membuat Devian dan Helga yang hendak pergi dari kebun bambu itu saling beradu pandang, sedetik kemudian mereka berdua kompak menoleh ke sumber suara. Dari tempat gelap yang mereka amati, suara geraman itu kembali terdengar seiring dengan munculnya sepasang mata merah berukuran besar di sana. Belum sempat Devian dan Helga menebak wujud makhluk seperti apa yang akan mendatangi mereka, sebuah tangan berukuran besar yang ditutupi bulu lebat berwarna hitam sudah lebih dulu keluar dari kegelapan, dan langsung mencengkram kuat kelima pohon bambu di atas kepala sepasang remaja itu sekaligus.
Melihat pohon yang diremas tangan raksasa itu seperti hendak roboh, Devian dan Helga langsung mengambil langkah seribu sambil meneriakan, "GENDERUWOOO!!!"
Selain mendeteksi kehadiran para makhluk astral dengan berdirinya bulu roma di tubuh kita atau suhu udara yang mendadak berubah sangat dingin atau sangat panas di sekitar kita. Sebenarnya, kedatangan hantu juga identik dengan aroma wewangian yang ikut serta tercium saat kehadirannya tiba di sebuah tempat. Seperti misalnya, aroma singkong bakar yang tercium di sebuah lahan kosong di malam hari. Aroma seperti itu biasanya identik dengan keberadaan jin bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam lebat yang umumnya sering kita sebut sebagai genderuwo. Selain wujudnya yang seperti monster, genderuwo juga tipe hantu yang hidung belang. Karena ia dapat menikahi berbagai macam makhluk yang berbeda jenis dengannya. Termasuk manusia.
Devian berlari kencang dengan menggandeng kuat tangan Helga yang diseretnya. Setelah berhasil keluar dari kebun bambu tersebut, dengan napas yang masih tersendat-sendat, Devian menawarkan diri untuk mengantarkan Helga pulang menggunakan sepedanya. Awalnya, gadis berpipi tirus itu tampak ragu untuk menerima ajakan Devian. Namun, ketika Devian memberi tahu bahwa ia akan membantu Helga membujuk orangtuanya agar bersedia memasukkan Helga ke Supranatural High School, barulah gadis itu mau diantarkan pulang.
Guna mengusir rasa sepi dalam perjalanan menuju rumah gadis yang tengah diboncengnya,  Devian mencoba untuk dapat lebih mengenal gadis istimewa itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan klasik yang kebanyakan tidak dijawab oleh Helga; gadis istimewa yang dianggapnya sangat menarik, karena warna aura yang terpancar dari tubuh Helga baru pertama kali ini Devian lihat.
"Akhirnya nyampe juga. Masuk gih sana!" titah Devian pada gadis di belakangnya yang masih memegangi perut pemuda itu.
Dengan gerakan ragu, Helga turun dari sepeda yang dinaikinya kemudian berjalan lemah memasuki pelataran rumahnya.
Seperti teringat sesuatu, Devian berlari kecil mendatangi Helga yang seolah enggan masuk ke dalam rumahnya sendiri. "Ingat, habis ini langsung hubungi Kak Sonita aja ya? Nomornya ada kok dalam selebaran dari SHS. Nanti biar dia yang ngasih pengertian sama orangtua kamu, biar mereka bisa paham terus ngizinin kamu buat sekolah dan tinggal di asrama SHS deh. Oh iya! Ini ...," ulas Devian seraya memberikan boneka beruang yang sejak tadi disembunyikan di belakang punggungnya pada Helga. "Aku kasih boneka itu buat kamu aja deh. Soalnya gak ada manfaatnya juga kalo aku bawa pulang. Mulai sekarang, jangan curhat sama hantu lagi, ya? Tumpahin aja semua keluh kesahmu sama beruang berhoodie ini, oke?" sambung Devian yang menggerakkan kakinya mundur. Namun baru beberapa langkah mengayunkan tungkainya ke belakang. Devian kembali bergerak maju.
Helga mengangkat satu alisnya bingung mendapati Devian sudah kembali berdiri setengah meter di depannya. Devian mengulas senyumnya canggung. Sembari menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal, remaja lelaki itu berujar, "Hehe ... kelupaan. Tolong kasih nama boneka ini Coco ya?"
"Coco?" Helga mengulangi nama yang Devian berikan dengan kernyitan samar di dahinya.
"Iya, Coco. Kepanjangan dari ... Cowok Cool yang ngasihnya. Hehe ...," seloroh Devian disambut tawa geli Helga yang menggelengkan kepalanya pelan; karena Helga baru pertama kali ini bertemu dengan anak lelaki sepercaya diri Devian.
"Nah ... gitu dong! Ketawa. Kamu keliatan lebih cantik kalo ketawa," puji Devian menyusutkan tawa gadis di hadapannya. Setelah mengatakan hal itu, Devian melangkahkan kakinya keluar dari pekarangan rumah Helga.
Sebelum bersiap pergi bersama sepeda kesayangannya, pemuda itu lebih dulu melambaikan tangannya ke arah Helga yang masih setia memperhatikannya dari teras rumah.
Bersambung

Komento sa Aklat (77)

  • avatar
    damaniklina

    semakin baca kebawa saya semakin suka dengan jalan ceritanya. cerita yang bagus.

    03/02/2022

      0
  • avatar
    Riska Batubara

    bagus

    23/03

      0
  • avatar
    Nur Alif

    bagus

    23/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata