logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Cermin di Dalam Kamar Mayat

Kamar Mayat
Part 4
***
Setelah dokter Hani tak terlihat lagi, aku memikirkan kata-katanya barusan. Bahwa kalau dinas di kamar mayat itu, tak seharusnya merasa takut, toh semua jenazah yang ada di sini tak bisa melakukan apa pun. Mereka hanya tidur di atas brankar. Apa jadinya kalau petugas penjaga kamar mayat adalah seorang yang penakut.
Padahal kemarin pun Pak Nengah mengucapkan kalimat yang sama dengan apa yang dikatakan oleh dokter Hani tadi. Tapi aku baru memikirkan kalimat tersebut setelah dokter Hani yang mengucapkannya. Entah kenapa. Mungkin karena saat ini aku sedang dalam posisi dinas yang sebenarnya, jadi mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalaninya.
Aku tersenyum dalam hati. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh dokter Hani tadi. Memang sudah seharusnya aku tak merasa takut, saat sedang berdinas di kamar mayat ini. Sebab itu sudah menjadi pilihanku, mau menerima tawaran pekerjaan dari pihak manajemen RS Angkasa.
Akhirnya aku mengurungkan niat untuk keluar dari kamar mayat. Aku harus berani, apa pun yang akan terjadi, seperti kata dokter Hani tadi, begitu tekadku dalam hati.
Perlahan aku berjalan menuju ke pojok ruangan, tempat dimana meja kakak seniorku berada. Meskipun jujur, aku sebenarnya masih merasa sangat takut.
Tiba-tiba tak sengaja mata ini melihat ke arah cermin yang ada di sebelah sana. Tampak ketiga mayat yang ada di atas brankar sedang duduk. Spontan aku menjerit, kemudian lari terbirit-birit ke arah pintu keluar. Buyar sudah tekad dalam hati untuk selalu berani, yang tadi sempat aku ikrarkan.
Hampir saja aku bertabrakan dengan Kak Hardiman dan Kak Yono, yang baru membuka pintu. Mereka berdua memandangku dengan heran, sambil menautkan kedua alis.
"Kamu kenapa, Ahmad? Kok lari-lari? Kayak yang habis lihat hantu aja," tanya Kak Hardiman.
Aku tak menjawab. Mata ini hanya memandang kedua kakak senior itu, yang sedang melihatku dengan keheranan. Aku lalu menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan.
"Hey! Ahmad! Kamu kenapa? Kayak yang habis lihat hantu aja," kata Kak Hardiman mengulang pertanyaannya, sembari menepuk pundakku, membuatku hampir melompat saking merasa kaget.
"Saya … saya …," ucapku terbata-bata.
"Iya, kamu itu kenapa, Ahmad?" tanya Kak Hardiman tak sabar.
Aku menelan ludah.
"Sa … saya … saya tadi lihat dari cermin, ketiga mayat itu duduk, Kak," jawabku sembari mengelap keringat yang mengalir di kedua pelipis.
Kedua kakak seniorku itu tampak mengerutkan kening, seraya melihatku dengan tatapan aneh. Mereka lantas saling berpandangan. Tak lama berselang, tiba-tiba mereka terkekeh bersamaan. Aku menatap kedua kakak senior itu dengan bingung, karena tak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.
"Ahmad … Ahmad. Ada ada aja kamu. Mana ada mayat bisa duduk sendiri. Kamu pasti salah lihat, atau sedang berhalusinasi karena ketakutan. Ya sudah, mending sekarang kamu ke musala aja sana, salat yang khusuk. Terus jangan lupa cari makan siang, biar nggak ngawur ngomongnya," kata Kak Hardiman sambil menepuk pundakku, masih dengan terkekeh.
Kak Hardiman dan Kak Yono kemudian masuk ke ruangan dalam, seraya geleng-geleng kepala. Masih sempat aku mendengar Kak Hardiman berkata.
"Ada ada aja si Ahmad. Masa mayat dia bilang bisa duduk. Dasar penakut." Sebelum aku keluar dari kamar mayat dan menutup kembali pintunya.
Aku kemudian berjalan menuju ke musala, yang letaknya ada di paling ujung bangunan RS Angkasa. Aku harus melewati beberapa ruang perawatan pasien rawat inap untuk sampai ke sana. Ruang Laki-laki, Ruang Wanita, Ruang Bersalin, Ruang Anak, dan Ruang Bedah.
Suasana di sekitar koridor RS lumayan sepi, aku hanya bertemu dengan tiga orang perawat yang sedang dinas pagi di sepanjang jalan tadi. Mungkin karena jam pelayanan pasien rawat jalan di RS ini sudah berakhir.
Ketika lewat di depan kamar OK (Operasi Kamer), aku melihat dokter Hani sedang duduk di bangku yang ada di depan ruang itu. Sejenak aku menghentikan langkah, sebab dokter Hani terus menatapku, tapi dia tak mengatakan sepatah kata pun.
Dokter Hani kok ada di depan kamar OK ya. Sedang apa dia di sana. Apa sedang menunggu seseorang? Tapi kenapa dia sendirian, aku membatin.
Aku tersenyum padanya. "Mari, Dok," kataku ramah, sambil menganggukan kepala.
Dokter Hani diam saja, dia hanya tersenyum padaku. Tiba-tiba aku merinding melihat senyumnya. Buru-buru aku meneruskan langkah menuju ke musala, tanpa menoleh lagi ke arah dokter Hani.
***
Selesai salat zuhur, aku mencari makan siang di salah satu warung yang berjejer di depan RS Angkasa. Perut ini sudah sangat lapar minta diisi, karena tadi pagi aku tak sempat sarapan dulu sebelum berangkat kerja.
Aku lalu melihat-lihat makanan apa saja yang dijual di warung-warung itu. Dan akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada warung soto Lamongan untuk menu makan siang hari ini. Dengan lahap aku menyantap soto Lamongan tersebut.
Sebelum kembali ke ruangan, aku juga membeli nasi bungkus untuk makan sore nanti. Agar tak perlu lagi keluar dari ruangan. Sebab aku dinas sampai pukul tujuh malam nanti, baru bergantian shift dengan teman sejawat yang dinas malam.
Jadwal dinas pergantian shift di kamar mayat memang berbeda dengan di ruang perawatan yang lain. Kalau di ruang perawatan yang lain jadwal dinas terbagi menjadi tiga shift, yaitu shift pagi, sore dan malam. Tapi di kamar mayat hanya ada dua shift. Shift pagi dari pukul 8 pagi sampai dengan pukul 7 malam. Dan shift malam dari pukul 7 malam sampai keesokan harinya pukul 8 pagi.
Aku bergegas menuju ke dalam RS, setelah membayar makan siang dan makanan pesananku selesai dibungkus. Dengan sedikit berlari aku menyusuri koridor menuju ke kamar mayat.
Tampak beberapa orang di depan kamar mayat, begitu aku sampai di sana. Bergegas aku masuk ke ruangan dalam.
"Ada apa, Kak. Kok banyak orang?" tanyaku pada kedua kakak seniorku.
Kak Hardiman terlihat sedang menulis di atas meja. Sedangkan Kak Yono sedang berbincang dengan seorang laki-laki paruh baya.
"Mereka datang mau mengambil jenazah itu. Mereka adalah keluarganya," jawab Kak Hardiman yang sudah selesai menulis surat kematian ketiga jenazah tersebut.
Aku bernapas dengan lega. Dalam hati aku mengucap rasa syukur. Akhirnya datang juga keluarga ketiga jenazah yang ada di kamar mayat ini, sehingga aku dan teman sejawat yang lain, tak perlu lagi untuk menguburkan mayat-mayat itu, aku membatin.
"Alhamdulillah, akhirnya akan dibawa pulang juga semua mayat itu. Jadi kita nggak perlu untuk menguburkan mereka," ucapku tanpa sadar, saking merasa senang.
"Hus! Ngomong apaan sih kamu?" kata Kak Hardiman seraya mencolek tanganku, membuatku tersadar, kalau aku sudah salah bicara.
Menyadari akan kekeliruanku, buru-buru aku menutup mulut dengan kedua tangan. Beruntung keluarga ketiga mayat itu tak ada yang mendengar ucapanku tadi.
***
Bersambung

Komento sa Aklat (409)

  • avatar
    UtamiSella

    ceritanya bikin merinding 😟😟😟

    19/07/2022

      0
  • avatar
    NAN91CHANEL

    segala Bentuk Kejahatan Akan terungkap Jadi Tuk Saling mengingat Perbuatan Kejahatan Itu akan terpecahakan masalahnya

    03/02/2022

      1
  • avatar
    Ilomfi

    cerita nya bagus dalam hal membongkar suatu misteri dan aku suka karena ada juga pesan moral nya. terimakasih author telah membuat cerita ini.

    30/01/2022

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata