logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Putri

Tanpa mengindahkan rintihan Dara. Bisma seperti sedang kerasukan menyeret tubuh Dara masuk ke dalam kamar.
Lalu dengan kasar. Bisma memangku tubuh mungil istrinya dan menghempaskan ke atas kasur.
Bagai manusia berhati iblis. Bisma tanpa berprikemanusiaan menampar pipi Dara yang kala itu terkulai lemah di kasur.
"Mas!"
Dara mengerang kesakitan. Entah setan mana yang merasuki suaminya. Tiba- tiba matanya berubah merah seakan ingin menerkam Dara dengan buas.
Tidak!
Itu bukan Bisma yang dikenal Dara. Bisma adalah pria yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Tapi pagi itu Dara merasakan ada yang aneh dengan sikap suaminya.
Sebisa mungkin Dara berdoa pada yang kuasa memohon ampunan dan pertolongannya.
Pria yang menyerupai suaminya itu. Bukanlah Bisma. Dara baru menyadarinya setelah ia melihat sorot mata Bisma yang tak biasa.
"Mas, sadar Mas, aku ini istrimu," ucap Dara melirih.
"Dengar. Jangan tunggu saya! Dua hari saya ada tugas dari kantor. Diam di rumah! Jangan kemana- mana!" ancam Bisma lalu dibantingnya pintu kamar sekeras mungkin seolah ingin mengingatkan istrinya betapa berkuasanya dirinya.
Dara terisak menahan sakit yang tak bisa lagi ia kuasai. Bathinnya begitu pedih. Suami yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati kini memberi luka pedih di dada.
Dara belum beranjak dari tempat peraduannya. Pipinya tampak memerah bekas tamparan suaminya. Bantal tempat ia tenggelamkan wajahnya sudah basah karena tetesan air mata yang mengalir deras.
Suaminya telah pergi tanpa meninggalkan uang sepeserpun pada Dara. Seharusnya pagi itu Dara menerima uang bulanan yang biasa Bisma berikan untuk keperluan dapurnya. Tapi jangankan uang. Dara malah menerima kekerasan fisik yang di lakukan suaminya.
Perlahan Dara bangkit dari kasur lalu berjalan tertatih menuju ke luar kamar untuk mengambil air minum. Perutnya mulai terasa sakit dan mual.
Dari sejak bangun. Dara belum menyentuh makanan sedikitpun, di lemari es tak ada makanan sedikitpun. Hanya ada dua buah botol berisi air putih.
Seperti biasa jika menjelang akhir bulan. Kebutuhan dapur mulai menipis. Seperti pagi itu. Dara terpaksa memakan nasi goreng yang tadinya untuk Bisma sarapan. Tetapi suaminya malah pergi terburu- buru seperti ada seseorang yang menunggunya disana. Entahlah, Dara tak tahu siapa wanita yang telah mempengaruhi sikap suaminya yang mendadak kasar.
Dengan lahap ia memakan suapan demi suapan nasi goreng buatannya. Demi menjaga asupan nutrisi untuk bayi yang ada di kandungannya.
Setelah habis lalu Dara beranjak pergi ke dapur mencuci piring bekas makannya tadi, setelah itu Dara masuk ke dalam kamar mengambil dompet di lemari. Uang hanya tersisa lima puluh ribu. Sedang Dara harus memeriksa kehamilannya.
Langkahnya melambat dan terhenti ragu. Dengan uang lima puluh ribu di tangannya, Dara harus bisa mengaturnya sampai suaminya kembali.
Dara lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya mengarah pada Poto pernikahannya bersama Bisma dulu. Saat itu begitu banyak kemesraan yang di berikan Bisma. Tapi bahagia itu lenyap dalam sekejap mata.
Kristal bening menitik di kedua sudut matanya. Sakit rasanya menghadapi cobaan hidup yang tengah di jalaninya. Dara hanya bisa mengusap dada, entah kapan suaminya berubah seperti dulu lagi. Bisma yang penuh kasih dan sayang. Bisma yang perhatian dan mesra. Kasih sayang itu perlahan redup menyisakan kepingan luka.
Dara lalu berdiri bangkit berjalan perlahan menuju kamar. Lalu melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya, yang meski di dalam rumah, Dara tak pernah melepaskannya termasuk di depan Bisma.
Memandangi wajahnya yang di tumbuhi beberapa butir jerawat di dahi dan pipinya, Dara merabanya, jerawat besar yang tidak di sentuh pun akan terasa sakit. Menambah poin ketidak cantikan di wajahnya kian meninggi.
Tangan Dara kemudian bergerak mengambil obat jerawat yang teronggok di meja rias di depannya. Untuk selanjutnya mengoleskannya pada setiap butiran- butiran jerawat yang telah menemaninya sejak haid pertama saat Dara masih duduk di bangku SMP.
"Ra," Putri melongokkan wajahnya dari sebalik pintu.
"Iya Put?" Dara segera memakai kembali kerudungnya.
Putri melangkah mendekati Dara. "Aku mau pergi, ada urusan penting Ra. Dua atau tiga hari saya kembali. Boleh minta tolong, gak?"
"Ya. Minta tolong apa Put?"
"Titip tanaman hias ku, ya?"
"Memangnya kamu mau kemana?"
"Aku mau pergi ke rumah kedua orangtuaku di Garut. Kekasihku mau melamar ku, Ra."
"Hah? Memangnya kamu sudah punya kekasih, kok aku baru tahu."
Dara mengamati penampilannya yang telah rapi. Gadis cantik dengan pipi mulus tanpa noda itu, menggunakan gaun terusan selutut warna kuning. Kakinya di alasi flatshoes dengan warna senada dengan baju.
Rambutnya di biarkan tergerai. Tas kecil yang bertaburan mute yang tersampir di lengan kanannya melengkapi penampilannya.
Satu kata untuknya. Cantik.
"Iya," Dara menjawab singkat.
"Ya sudah. Aku pergi." Putri melangkah pergi meninggalkan Dara di kamar dengan perasaan iri bercokol di hati.
Dara kemudian mengambil ponsel dan bergegas menuju rumah putri.
Putri adalah sahabat karibnya semasa sekolah di SMP dulu. Sejak Dara menikah ia menempati perumahan tipe 36 yang hanya memiliki dua kamar. Tapi tanpa di sangka ternyata Putri juga berada di blok yang sama dengan rumahnya. Hanya saja Putri tinggal sendiri di rumah.
Putri bekerja sebagai staf gudang di sebuah pabrik garmen.
Dan jika sedang ada keperluan Putri selalu menitipkan rumahnya pada Dara. Hanya sekedar menyiram tanaman hiasnya yang tumbuh subur di teras rumahnya.
Tapi pagi itu Dara merasa tak enak hati melihat kecantikan Putri. Gadis itu tak seperti biasanya berhias dan berpenampilan manis.
Dan siapa kekasih yang di maksudnya?
Sejak Dara bertetangga dengannya. Tak pernah sekalipun Putri terlihat membawa laki- laki ke rumahnya. Tapi pagi itu Putri tiba- tiba mengatakan bahwa ia mempunyai kekasih dan akan segera melamarnya.
Astaga!"
Dara mencium bau yang sama di tubuh Putri tadi. Bau parfum yang sama yang ia cium pada jaket suaminya kemarin.
Jantung Dara terpacu kuat. Keringat di dahi mulai menitik. Tangannya bergetar dingin. Mungkinkan Putri. Ah tidak! Dara tak mau berprasangka buruk mengenai sahabatnya. Ada banyak wanita yang memakai parfum yang sama. Tak mungkin Putri berbuat serendah itu.
Dara menghentikan langkahnya seketika. Pikirannya mulai berkelana tak karuan.
Dara kemudian berbalik menuju ke rumahnya, duduk di sofa dan mengambil ponsel untuk menghubungi suaminya. Sesekali ia memegang dadanya untuk menahan detak jantungnya yang semakin kuat memompa tubuhnya. Tangannya bergetar saat memegang ponsel.
Di telponnya Bisma untuk menanyakan keberadaanya. Tapi tak ada jawaban di sana.
Bisma mematikan ponselnya.
Dara menjerit histeris. Benda pipih yang di pegang nya ia lempar ke sembarang arah. Hingga benda itu hancur terbelah dua.

Komento sa Aklat (116)

  • avatar
    pubgMR X

    bagus kak

    16/05/2023

      0
  • avatar
    Raisa Aulia

    bagus

    13/05/2023

      0
  • avatar
    RiyadiAhmad

    bagus banget keren banget ceritanya keren

    10/05/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata