logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 29

Jangan Nikahi Aku, Om!
Bab 29
“Pak, makan dulu.” Elsa mengingatkan Leon yang masih fokus menatap layar.
Leon melirik Elsa yang meletakkan sekotak nasi bekal ke atas meja. Ia menghentikan aktivitas, lalu menatap Elsa dan kotak makan bergantian.
Leon menghela napas. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot-repot membawakan bekal, Sa.”
“A-anu, Pak. Ini titipan Mama, beliau memaksa membawakan bekal untuk Bapak.” Elsa merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi, jika ia tidak menyampaikan amanah, bisa dikutuk oleh mamanya. Elsa tidak mau, ia memilih menjadi anak penurut dan disayang.
“Baiklah. Terima kasih.” Leon tidak bisa berkata-kata lagi, jika menyangkut orang tua, dirinya tidak berani menolak.
Lama tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu, membuat Leon tidak tega menyakiti Mama Elsa.
“Tolong dihabiskan. Tadi mama nitip pesan seperti itu.”
Leon mengangguk pelan. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka bicarakan, Elsa berpamitan.
Leon mengacak rambut, ia tidak habis pikir dengan sikap mama Elsa. Sejak pertemuan waktu itu, beliau selalu membawakan makanan bekal melalui Elsa.
“Aku sudah tidak bisa memiliki Inggit, apakah aku harus menerima kehadiran Elsa?” tanya Leon pada dirinya sendiri.
“Ah, aku tidak mau menyakiti wanita. Jika Elsa tahu aku masih mencintai Inggit, pasti ia sangat kecewa.”
Leon bimbang dengan perasaannya. Menyakiti Elsa tidak mungkin tega, jika menerima justru akan semakin sakit, karena hatinya masih tertuju pada orang lain.
“Bagaimana ini Tuhan, aku lelah!”
Leon menelungkupkan kepala di atas meja, pikirannya sangat kacau. Jika sebelumnya Inggit masih ada di depannya, saat ini sudah menjadi istri orang.
---
“Gimana si Bos?” tanya Shey begitu melihat Elsa keluar dari ruangan Leon.
Elsa menghela napas, tanpa bersuara, ia menggeleng pelan. Wajahnya terlihat sedih.
“Jadi, Bos belum tahu kamu menyukai dia?” tanya Shey tak percaya. Ia mengguncang tubuh Elsa, karena gadis itu tak kunjung bicara.
“Mungkin tahu, ada hal disembunyikan Bos. Tapi, ya sudahlah, Shey. Mungkin memang belum jodohku.” Elsa terlihat pasrah.
“Bilang dong kalau kamu suka dia!” desak Shey.
“Enggak, Shey.” Elsa kembali ke meja dengan lunglai.
“Cinta harus diperjuangkan, Elsa!” desak Shey lagi.
Shey gemas dengan Elsa yang menurutnya terlalu pasrah dengan keadaan. Sejak dulu, Elsa memang pendiam, tidak bisa mengungkapkan perasaannya pada orang lain.
Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di pikiran Shey, bibirnya tersenyum miring, membayangkan jika rencananya berhasil.
Dengan cepat ia kembali ke ruangannya, akhir bulan banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Shey akan melancarkan aksinya esok hari.
---
Esoknya, Leon terdiam melihat sebuah kotak yang berada di atas meja. Kotak berwarna maroon dengan pita berwarna merah muda.
Leon mengernyit saat melihat sebuah kertas yang terselip di antara pita. Tangannya terulur mengambil catatan berwarna biru langit itu, lalu membukanya.
Sebuah nama yang tidak asing lagi, Elsa.
“Kenapa Elsa tidak memberikan langsung?” tanya Leon pada dirinya sendiri.
Gegas Leon membuka lipatan kertas, lalu membaca tulisan demi tulisan.
Dear, Pak Leon.
Setiap malam saya selalu memikirkan Anda, apakah sama? Jika tidak, maukah Anda berpikir bersama saya? Tolong beri kesempatan untuk mencintai Anda. Elsa.
“Elsa... “ desah Leon. Ia tak menyangka Elsa akan nekat memberi hadiah.
Leon meraih kotak, lalu membukanya. Sebuah bongkahan coklat berbentuk hati, dengan hiasan krim berwarna merah muda. Sungguh cantik.
Leon menimbang, apa yang akan ia lakukan nanti. Setidaknya ia harus mengucapkan terima kasih pada Elsa.
“Haaah... Kenapa rumit sekali hidupku?” Leon duduk sambil menerawang. Memikirkan sesuatu yang tidak ada kepastian, yaitu Inggit.
Di tempat lain, hal yang sama terjadi. Elsa termangu melihat kotak berisi coklat dengan nama pengirim Leon.
Elsa menimang kotak itu dengan bimbang, ingin ia kembalikan. Tapi tidak enak.
“Mana mungkin Pak Leon memberi coklat begini. Kerjaan siapa?” gumam Elsa.
Kemudian sebuah nama terlintas di pikirannya. Shey!
“Pasti ini kerjaan dia, aku yakin.”
Elsa melangkah dengan cepat menuju ruang produksi sambil bersungut-sungut. Setelah bertemu, segera ia menarik tangan Shey, lalu membawa gadis itu ke kamar mandi.
Shey sedikit tertatih mengikuti langkah kaki Elsa yang cepat.
“Maksud kamu apa, Shey?” Elsa menyentak tangan Shey.
Shey terkejut melihat Elsa yang begitu marah padanya.
“Ma-maksud kamu apa, Sa?” tanya Shey tergagap.
“Pengirim kotak ini kamu kan?” tanya Elsa menahan kesal. “Gak usah pura-pura. Aku tahu ini ulah kamu. Pak Leon tidak mungkin memberiku kado atau apa pun!”
“Jangan pernah iseng melakukan itu lagi, atau kita tidak berteman lagi,” lanjut Elsa dengan kesal.
“Maaf, Sa. Aku hanya ingin membantumu.” Shey menggamit lengan Elsa saat gadis ikut akan pergi.
“Membantu apa? Membantu mempermalukan aku, Iya?” hardik Elsa. Kali ini ia benar-benar marah dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Maaf, Sa.” Shey benar-benar menyesal telah melakukan itu, ia tidak mengira Elsa sangat marah.
Elsa menghela napas. “ Jangan ulangi, Shey. Aku tidak mau Pak Leon salah sangka padaku.”
“Maaf, Sa. Aku juga mengirimkan satu kotak pada Pak Leon.”
Seketika Elsa membelalakkan mata. “Apa? Hei, kamu bercanda? Gila ya kamu.”
“Maaf, Sa.” Shey menangkupkan kedua tangan ke depan wajah.
Elsa menghela napas. Ia mencoba meredakan emosinya.
“Trus gimana? Aku gak enak kalau ketemu Pak Leon!” Elsa mulai bimbang, ia merasa tidak enak. Takut Leon berpikir macam-macam tentangnya.
Tidak menunggu lama Elsa segera keluar dari toilet. Namun, tepat saat di depan pintu, ia terkejut melihat Leon sudah berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di depan dada.
“Mau ke mana?” tanya Leon dingin.
Shey terkejut melihat Leon dan Elsa di depan toilet. Tatapan Leon datar pada Elsa.
“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Elsa sedikit membungkuk pada Leon.
“Setelah pulang kerja ikut saya sebentar.” Setelah berkata seperti itu, Leon berlalu meninggalkan Elsa yang masih termangu bingung menatap kepergian Leon.
“Aku gak salah denger kan? Pak Leon ngajak kamu keluar, Sa,” pekik Shey senang.
“Jangan senang dulu, Shey. Kita gak tahu Pak Leon mau ngomong apa.”
Elsa dan Shey kembali ke ruangan masing-masing setelah Shey berkali-kali meminta maaf.
Tak terasa, waktu istirahat telah tiba. Elsa bergegas merapikan meja dan meraih mukena yang selalu ia simpan di laci.
Sudah menjadi kebiasaan Elsa melaksanakan salat tepat waktu. Itulah salah satu kelebihan Elsa, ia tidak pernah meninggalkan ibadah. Dalam setiap pertemuannya dengan Tuhan, ia selalu menyelipkan nama Leon di dalamnya.
Cinta memang tidak harus memiliki, tetapi Elsa berharap Tuhan mengabulkan doanya berjodoh dengan Leon.
Tanpa disadari Elsa, Leon mengintip aktivitasnya di mushola. Mata Leon terlihat kagum menatap berapa kusuknya Elsa berdoa. Tiba-tiba hatinya merasa damai melihat Elsa. Entah magnet dari mana, mata Leon seolah tidak ingin berpindah dari Elsa. Apakah ia sedang jatuh cinta? Entah.
---
Sore menjelang, Elsa merapikan meja kerja dan bersiap pulang. Sesekali ia melirik pintu ruangan Leon. Sejak tadi, pintu itu tidak terbuka sama sekali.
“Apa ada masalah dengan Pak Leon?” gumam Elsa.
Elsa tidak berani masuk setelah kasus sekotak coklat tadi, malu rasanya bertemu lagi dengan Leon.
Ceklek!
Leon keluar dari ruangan, ia melirik Elsa sekilas. “Motormu tinggal saja di kantor, kamu bareng naik mobil.”
Elsa tidak sempat menjawab, karena Leon sudah berlalu menuju tempat parkir.
“Apa aku tidak salah dengar? Naik mobil bersama Pak Leon? Astaga, apa aku bermimpi?”
Elsa menepuk-nepuk kedua pipi, lalu mencubit, memastikan bahwa semua itu tidak mimpi.
“Au, sakit. Ternyata aku gak mimpi. Ada apa ya Pak Leon mengajak keluar?” gumam Elsa.
Tanpa menunggu waktu, Elsa menyusul langkah Leon menuju tempat parkir.
Elsa melihat Leon berjalan dengan tegap, dan sesekali menyapa beberapa karyawan saat berpapasan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Selama perjalanan, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Leon fokus menyetir mobil, dan Elsa fokus mengontrol detak jantungnya yang tidak karuan.
Setengah jam kemudian, mobil terparkir sempurna di depan sebuah restoran seafood.
“Ayo masuk!” ajak Leon saat melihat Elsa tak kunjung membuka pintu.
Leon memilih kursi paling ujung, dan memilih beberapa menu terbaik.
“Jadi, ada apa Pak Leon mengajak saya kemari?” tanya Elsa memberanikan diri, karena Leon tak kunjung bersuara.
“Tidak ada,” jawab Leon singkat.
“Aneh.”
“Kamu bilang apa?” tanya Leon.
“Tidak ada, Pak.” Elsa menjawab dengan gugup.
Kembali mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Elsa tidak berani bersuara, ia tidak mau Leon salah sangka padanya.
“Makanlah!” ucap Leon saat makanan datang.
Elsa makan dengan kaku, ia masih bingung dengan sikap Leon sekarang. Berbeda dengan Leon yang makan dengan lahap.
Beberapa menit kemudian, mereka menghabiskan makanan di meja, tersisa segelas jus dan makanan penutup.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan, Elsa. Terkait hadiah coklat yang di atas mejaku.”
Elsa mendongak menatap Leon saat mengatakan akan membahas hadiah konyol dari Shey tadi pagi.
“I-itu dari Shey, Pak. Maafkan saya.” Elsa merasa tidak enak pada Leon.
“Bukan itu, tapi tentang kita.”
Elsa membelalakkan mata, tak percaya dengan ucapan Leon.
“ki-kita, ada apa dengan kita, Pak?” tanya Elsa terbata-bata.
“Apakah kamu mau membantu menyembuhkan luka masa lalu saya?”
“Ma-maksud Pak Leon apa?” tanya Elsa tidak mengerti.
“Aku tahu kamu menyukai saya, dan saya menghargai itu. Karena saya memiliki luka di masa lalu, maukah kamu membantu saya mencintai kamu sepenuhnya?”

Komento sa Aklat (136)

  • avatar
    CakrawatiResi

    mesekipun saling mebguntungkan tapi kita jangan llupa akan menghargai dan jangan menyakiti hati orang lain

    10/01/2022

      4
  • avatar
    Urie Djhrt

    penasaran banget, ceritanya susah di tebak , i like it 🤭. semoga cepat terbit bab selanjutnya.... semangat

    05/01/2022

      1
  • avatar
    RahmadaniReva

    semagat

    3d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata